Budi Bahasa

184

HIDUPKATOLIK.com – Jakarta, Maret 2015. Kita menyaksikan peristiwa kurang sedap, yakni pertikaian antara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Sumpah serapah saling dilontarkan. Untunglah, tak ada kursi melayang. Ketua DPRD DKI Jakarta khawatir, kosa kata sang gubernur yang “tidak sopan” menjadi contoh buruk bagi siswa sekolah. Sebaliknya Ahok berpendapat, “Komunikasi yang santun itu tidak mencuri uang rakyat. Kalau baik kepada semua orang, lalu mencuri bersama, saya lebih baik dicap tidak sopan.”

Budi bahasa Ahok yang cenderung blak-blakan, tanpa sensor, mengantar emosi melalui kosa kata Kapten Haddock, tokoh yang terkenal dengan sumpah serapah dalam komik Tintin, mengusik tata krama panggung politik saat ini. Sejak Indonesia dipimpin the Smiling General, kita diajari bertutur bahasa santun dan menggunakan eufemisme. Eufemisme adalah gaya bahasa yang membuat yang kurang enak menjadi sedap didengar telinga. Kelaparan menjadi kurang gizi, dipecat menjadi dirumahkan. Eufemisme bukan lagi gaya bahasa, tapi cara menyembunyikan kotoran di bawah keset, yang menjadi kebiasaan dan praktik sehari- hari. Kita menyusupkan uang suap sambil tersenyum ramah, “ini sekadar uang rokok.”

Sopan santun yang kurang sehat, jika dipadukan dengan “tenggang rasa” yang keliru, akhirnya berujung status quo. Kita pun pura-pura tak melihat praktik buruk, mematikan rasa, dan bekerja seperti biasa. Dengan alasan esprit de corps atau nasionalisme yang sempit, kita enggan “menepuk air didulang”. Jika solidaritas kelompok melebihi hati nurani, maka praktik-praktik buruk pun dilakukan secara berjamaah, dosa dan keuntungan ditanggung bersama. Terjadilah korupsi sistemik yang menyangkut “Famili 100”. Masuk dalam struktur yang penuh dengan kebobrokan, muncul perasaan tak berdaya: apalah arti satu orang, melawan seribu? Di sisi lain, kenyamanan membuat kita malas berubah.

Jadi, Ahok benar, sopan santun yang “sejati” harus bertumpu kepada etika. Sepuluh perintah Allah adalah landasan hakiki kesopanan. Tutur bahasa semestinya merefleksikan integritas diri, bukan kata-kata manis menutupi atau melupakan perbuatan yang terlarang, seperti mencuri, menginginkan hak orang lain, atau berbohong.

Jika begitu, apakah kita perlu mengubah konsep “budi-bahasa”, dari kesopan santunan yang penuh toleransi terhadap korupsi dan praktik buruk kepada kelugasan bicara untuk menyuarakan kebenaran? Tunggu dulu! Pertanyaannya, apakah caci maki merupakan satu-satunya cara? Bayangkan 1000 Ahok kecil dan Ahok remaja yang siap menunjuk hidung siapa saja di mana-mana?

Seorang teman bertanya, apa yang akan terjadi jika Yesus memakai pendekatan konfrontatif 2000 tahun lalu untuk menghadapi kaum Farisi yang kompak mempertahankan status quo? Jangan-jangan, Sang Penyelamat sudah jauh-jauh hari disingkirkan sebelum menyampaikan ajaran kasih dan kebenaran. Belajar dari Kitab Suci, kebenaran yang sangat mendasar dan radikal, dapat disampaikan melalui “budi bahasa” yang telak, namun tak merendahkan atau menghina. Yang disasar bukan orang, tapi kejahatan dan perbuatan. Alih-alih menyalahkan kaisar yang menarik pajak, Yesus menunjukkan prinsip yang penting untuk memilah relasi kita dengan aturan hukum sekuler dan hukum Ilahi. Menghadapi penarik riba yang menyengsarakan rakyat, Yesus tidak melabeli dia dengan sebutan nista, tapi bersedia makan di rumahnya untuk mengubah dia dari maling dan pencuri menjadi penderma. Ada kala kemarahan diperlukan, seperti ketika Yesus mengobrak-abrik praktik komersialisasi di Bait Allah. Kemarahan itu ditujukan untuk mengembalikan harkat lembaga kepada fungsi yang sesungguhnya. Itulah tantangan kita. Kita dipanggil menghadirkan budi bahasa yang transformatif untuk meninggikan martabat manusia, agar sesuai dengan citra Sang Pencipta..

Melani Budianta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini