Memerangi Korupsi

117

HIDUPKATOLIK.com – Sejak awal tahun, masyarakat dibuat lelah dengan masalah di seputar konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Berawal dari pentersangkaan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri (Kapolri) pilihan Presiden Joko Widodo. Kemudian berlanjut dengan reaksi balik kepolisian yang mentersangkakan dua pimpinan KPK hingga penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) tentang tiga orang pelaksana tugas pimpinan KPK, ditambah penetapan Komjen Polisi Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri yang baru.

Dari kejadian ini, tentu ada berbagai hal menarik yang dapat dikaji dan diambil hikmah. Memang, relatif sulit mengubah pandangan orang mengenai strategi pemberantasan korupsi di Indonesia, yang sejak sekitar satu dekade lalu dikuasai KPK sebagai ikon pemberantasan korupsi di Indonesia. Wacana tersebut demikian kuat sehingga telah mengaburkan pandangan banyak orang, termasuk kalangan terdidik yang melek hukum untuk menganggap KPK sebagai lembaga yang tak bisa salah; orang-orangnya juga tak boleh dipersalahkan. Maka, ketika KPK menjadi lembaga yang terkesan jumawa dan tidak mengindahkan etika kenegaraan, publik melihat sebagai hal yang lumrah.

Standar ganda dengan demikian terjadi. Dalam lembaga penegakan hukum lain, publik menuntut kinerja penegakan hukum setinggi mungkin, walaupun anggaran dan kewenangan tak memungkinkan. Hal tersebut tidak dituntut terhadap KPK. Berbagai kewenangan luar biasa yang dimiliki KPK, selain dianggap sebagai yang tidak wajar secara hukum acara, justru dipergunakan untuk merendahkan lembaga penegakan hukum lain. Publik pun nampak setuju-setuju saja.

Maka, kasus yang menimpa KPK terakhir ini sebenarnya telak memukul hegemoni KPK. Putusan Hakim Sarpin Rizaldi yang menganggap tidak sah pentersangkaan Budi Gunawan oleh KPK, betapapun terdapat kontroversi dari putusan itu, memperlihatkan bahwa KPK bukan lembaga tanpa kesalahan. Demikian pula langkah Polri yang mentersangkakan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, juga betapapun terdapat kontroversi, memperlihatkan sisi lemah dari orang-orang yang memimpin KPK.

Menarik bila melihat penggunaan kata “kriminalisasi”. Kriminalisasi yang sering diartikan sebagai pentersangkaan mengada-ada, amat dihidupkan saat bidikan kepolisian mengarah kepada pimpinan KPK. Demikian pula terhadap beberapa aktivis antikorupsi. Pesannya jelas, bahwa betapapun pihak-pihak itu memiliki kesalahan, tidak boleh dibawa ke ranah hukum.

KPK dan publik memang “belajar” dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang submisif terhadap wacana KPK sebagai ikon tersebut. Jika diingat kasus deponeering  terhadap pimpinan KPK, Bibit R. Samad dan Chandra Hamzah, ini satu contoh buruk yang terjadi pada masa SBY. Publik mengharapkan, pada saat konflik KPK-Polri kembali terjadi, Presiden Jokowi melakukan langkah serupa. Sayang, Jokowi bukan SBY!

Alhasil, Jokowi mendapat persepsi negatif dari publik, terutama menyangkut pemberantasan korupsi. Padahal, Jokowi hanya berusaha mendudukkan substansi permasalahan yang selama ini melenceng. Pertama, agar KPK kembali fokus dengan kegiatan pencegahan sebagaimana diamanatkan UU. Kedua, agar KPK melakukan fungsi supervisi dan koordinasi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan. Ketiga, agar kewenangan KPK yang luar biasa tersebut bisa dikendalikan secara ketat. Keempat, membuat manajemen penanganan perkara yang lebih baik, sehingga orang yang sudah ditersangkakan segera diperiksa lebih intensif. Bagi komunitas umat Katolik Indonesia, adakah hikmah yang bisa diambil? Kemungkinan banyak umat Katolik yang juga termasuk pendukung fanatik KPK, yang segera saja protes apabila KPK “disentuh”. Saya melihat, situasinya tidaklah seburuk itu! Presiden Jokowi memiliki komitmen yang sama terkait pemberantasan korupsi, hanya dengan cara yang agak berbeda.

Adrianus Meliala

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini