Selangkah Menuju Paroki Baru

1226
Bakal paroki: Gereja Stasi St Albertus Harapan Indah.
[HIDUP/Stefanus P. Elu]

HIDUPKATOLIK.com – Tahun ini, jumlah paroki di Keuskupan Agung Jakarta akan bertambah. Rencana, dua stasi dikukuhkan statusnya jadi paroki. Umat diharapkan tidak hanya mengejar status administratif, tapi perlu mengedepankan kemandirian iman.

Awal Maret lalu, Pastor Rekan Paroki St Mikael Kranji, Bekasi, Romo Yustinus Kesaryanto memberkati tiang-tiang pancang untuk pembangunan pastoran Stasi St Albertus Harapan Indah, Bekasi, Jawa Barat. Pembangunan gedung pastoran sekaligus gedung sekretariat yang sampai sekarang masih berlanjut ini merupakan langkah konkret persiapan Stasi Harapan Indah men jadi paroki.

Dalam agenda 2015 Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Mgr Ignatius Suharyo dijadwalkan akan meresmikan Stasi Harapan Indah menjadi paroki pada Kamis, 14 Mei 2015, tepat Pesta Kenaikan Tuhan. Bakal paroki ini akan menjadi paroki ke-64 di KAJ. Gedung gereja Stasi Harapan Indah telah diberkati Mgr Suharyo, 26 Juni 2011, setelah melalui proses persiapan sejak 1990.

Pada 17 Desember 2009, gedung gereja yang saat itu masih dalam proses pembangunan sempat dirusak massa. Tapi, umat tak gentar. Hanya selang satu minggu kemudian, umat tetap antusias merayakan Ekaristi Natal. Bersamaan dengan itu, Ketua Panitia Pembangunan Gereja St Albertus, Laksamana Pertama Christina Maria Rantetana mencari cara untuk mengatasi masalah ini. Bersama sejumlah umat, ia semakin mempererat jalinan persaudaraan antarwarga masya rakat di sekitar Gereja St Albertus akan di dirikan.

Saat ditemui di ruang kerjanya di Stasi Harapan Indah, Jumat, 20/3, Romo Kesar mengisahkan dinamika persiapan umat Stasi Harapan Indah menyambut hari peresmian itu. Katanya, “Ada beberapa hal yang kami siapkan, misal pembentukan dewan paroki dan penetapan wilayah pastoral Harapan Indah. Dan, yang paling penting adalah pembekalan umat perihal kehidupan berparoki,” kata imam yang pernah bertugas di Bomomani, Papua ini.

Romo Kesar menuturkan bahwa selama ini kegiatan-kegiatan katekese terus digiatkan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Terakhir, pada Selasa, 17/3, stasi mengadakan pendalaman iman khusus bagi umat yang telah lanjut usia yang dipandu Bambang Sumantri. Selain itu, katekese juga diadakan di wilayah-wilayah berbarengan dengan Misa wilayah setiap bulan. Sementara, untuk pelayanan sakramental di Gereja Harapan Indah, Romo Kesar berbagi waktu. Senin sampai Rabu, ia tinggal di Paroki Kranji sebagai tempat tugas administratif. Kamis hingga Minggu, Romo Kesar tinggal dan melayani umat Stasi Harapan Indah.

“Kalau pas di Harapan Indah, ya saya melayani Sakramen Pernikahan, Tobat, Ekaristi, dan sakramen lain, ditambah kunjungan ke wilayah dan lingkungan. Akhir-akhir ini, saya sering mengadakan rapat secara intens bersama dewan paroki,” kata imam yang bakal bertugas sebagai Kepala Paroki Harapan Indah ini.

Perihal penentuan batas cakupan wilayah bakal paroki baru ini, Romo Kesar bersama Dewan Stasi Harapan Indah sudah bertemu dengan pastor dan dewan paroki dari beberapa paroki tetangga, seperti Paroki Salib Suci Cilincing, Paroki St Gabriel Pulogebang, Paroki St Clara Bekasi Utara, dan Paroki Kranji sebagai paroki induk.

Penetapan wilayah pastoral ini amat penting dan mendesak, karena ternyata ada beberapa lingkungan, misal dari Paroki St Clara, yang tidak masuk dalam wilayah pastoral bakal paroki baru ini. Selama ini, karena akses jalan lebih mudah menuju Gereja St Albertus Harapan Indah, banyak umat Paroki St Clara yang memilih untuk merayakan Ekaristi di Gereja Stasi St Albertus Harapan Indah. Di gereja berdaya tampung 1000 umat ini, perayaan Ekaristi hari Minggu diadakan tiga kali; Sabtu petang pukul 17.00 WIB dan Minggu pagi pukul 06.00 serta pukul 08.30 WIB.

Karena itu, lanjut Romo Kesar, umat yang sering merayakan Ekaristi di gereja stasi ini akhirnya mendapatkan pelayanan sakramen dan tercatat sebagai umat Stasi Harapan Indah. Ternyata, setelah mereka duduk bersama untuk membagi batas wilayah, ada beberapa lingkungan dari Paroki St Clara yang harus dikembalikan. Pun ada beberapa wilayah dari Paroki Kranji yang akan masuk menjadi bagian dari wilayah calon paroki ini. Sekarang, umat Stasi Harapan Indah berjumlah sekitar 8000 orang, tersebar di 10 wilayah yang terdiri dari 41 lingkungan.

Sebentar lagi resmi menjadi paroki. Romo Kesar berharap agar umat bakal Paroki Harapan Indah tidak menjadikan peresmian itu sebagai target akhir. Peresmian hadir sebagai titik awal pergulatan umat untuk mandiri sebagai paroki. “Justru di situlah umat ditantang untuk mencari dan menemukan model yang akan menjadi kekhasan paroki baru ini. Misal, dengan lebih mendalami pergulatan iman dan hidup St Albertus Agung yang menjadi pelindung Gereja ini, sehingga menjadi nafas iman umat,” jelas Romo Kesar.

Beriringan dengan itu, ajakan Arah Dasar KAJ “Makin Beriman, Bersaudara, dan Berbelarasa” mesti menjadi spirit hidup untuk mewujudkan Gereja yang damai dan shalom. Damai berarti memberikan keteduhan secara batiniah, sementara shalom berarti adil dalam pelayanan umat dan membangun relasi sosial. “Dengan demikian, Gereja bukan lagi sebatas bangunan fisik dan status teritorial, melainkan tempat umat manusia menimba inspirasi dan semangat hidup,” lanjut Romo Kesar.

Yang ke-65
Hanya selang empat bulan, status paroki termuda yang ditempati bakal Paroki St Albertus Harapan Indah akan tergeser. Adalah Stasi St Maria Imakulata Citra Garden yang akan menggantikannya. Stasi yang masuk dalam wilayah pastoral Paroki Trinitas Cengkareng, Jakarta Barat ini, bakal dikukuhkan statusnya menjadi paroki pada Sabtu, 22 Agustus 2015.

Jika menengok ke belakang, perjalanan Stasi St Maria Imakutala ini dimulai sejak 1999. Kala itu, umat Paroki Trinitas Cengkareng hampir menembus angka 20.000 jiwa. Dari jumlah itu, 10.000 di antaranya tinggal di wilayah sekitar Stasi St Maria Imakulata. Maka, Dewan Paroki Trinitas mulai mencari tanah untuk mendirikan sebuah gereja sebagai pusat pelayanan sakramen bagi umat di situ.

Pada 2010, surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja St Maria Imakulata diperoleh. Proses pembangunan gedung gereja dengan bubungan berbentuk oval ini dimulai. Bentuk oval merujuk kepada rahim seorang perempuan: tempat kehidupan manusia bermula. Dua tahun kemudian, tepat pada 8 Desember 2012, gereja berkapasitas sekitar 850 umat ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Fauzi Bowo, dan diberkati Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo.

Setelah itu, detak hidup menggereja terus tumbuh dan berkembang di tengah umat. Dinamika pastoral dan pengelolaan administratif sebagai sebuah stasi pun semakin matang. Akhirnya, dipikirkanlah untuk meningkatkan status stasi ini menjadi paroki. “Kita sudah siap! Kegiatan sakramental seperti perayaan Ekaristi, katekese, serta kegiatan-kegiatan kegerejaan yang lain sudah berjalan baik. Umat juga sudah mandiri,” ujar Ketua Dewan Stasi St Maria Imakulata Romo Peter Kurniawan Subagyo OMI.

Imam Misionaris Oblat Maria Imakulata ini menilai, pencapaian Stasi St Maria Imakulata tidak lepas dari partisipasi semua umat. Kerja keras berupa jalinan persahabatan dengan umat beragama lain di sekitar Stasi St Maria Imakulata masih terjaga dari awal proses pendirian gereja hingga saat ini. Dan, tentu saja itu semua juga merupakan jawaban dari doa novena umat kepada Bunda Maria, pelindung stasi ini.

Senada dengan Romo Peter Subagyo, seorang pengurus Seksi Hubungan Masya rakat Stasi Maria Imakulata, Titi Suhartono, mengatakan, kemandirian dan partisipasi umat Stasi St Maria Imakulata telah teruji. Bahkan, ia memakai istilah umat sentris. Karena menurutnya, selama ini, semua kegiatan di Stasi St Maria Imakulata, seperti liturgi, katekese, dan yang lain, dipersiapkan dan melibatkan banyak umat. Tugas imam di stasi ini menjadi fasilitator bagi umat, serta me ngoreksi jika terjadi kekeliruan dan meluruskan bila ada ketimpangan.

Sementara, Ketua Seksi Dana Stasi Imakulata Julius Husein, menandaskan bahwa semua kegiatan pencarian dana, sejak perencanaan pendirian gedung gereja hingga proses menuju paroki baru,tidak menemukan kendala berarti. “Selalu ada jalan bagi kami untuk peduli kepada Gereja.”

Stasi kategorial
Selain dua stasi di atas, ada juga Stasi St Agustinus Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Stasi ini berada dalam naungan reksa pastoral Paroki St Antonius Padua Bidaracina, Jakarta Timur. Yang unik dari stasi ini adalah sebagian besar umatnya anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU). Keberadaan Stasi St Agustinus Halim Perdanakusuma telah mendapat pengesahan Uskup Agung Jakarta pada 1 November 2013.

Stasi ini juga telah memiliki gedung gereja. Bangunan gereja ini berdiri sebagai bentuk perhatian pimpinan TNI AU dalam hal pembinaan personel bidang mental dan rohani. Ia didirikan khusus untuk anggota TNI AU beragama Katolik yang berdomisili di kompleks Landasan Udara Halim Perdanakusuma dan sekitarnya. Keharusan pembangunan rumah ibadah bagi TNI AU tertuang dalam surat keputusan Kepala Staf TNI AU, Kep/19/XI/1991 tertanggal 4 November 1991. Keputusan ini juga berlanjut ke penunjukan dan pembebasan tanah untuk pembangunan gedung gereja bagi anggota TNI AU yang beragama Katolik.

Pastor Stasi St Agustinus Halim Perdana kusuma Romo Bernadus Hari Susanto mengatakan, meski aturan sudah ada, bukan berarti proses pendirian gedung gereja berjalan mudah. Ada banyak halangan dan rintangan yang mesti di lalui dalam proses pendirian gedung gereja. Namun, dengan komunikasi intensif yang di lakukan terus-menerus, akhirnya pendirian gereja ini terwujud. Pada 30 Juni 1994, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Rilo Pambudi, di dampingi Mgr Vincentius Kartosiswoyo meletakkan batu pertama pembangunan Gereja St Agustinus. Satu tahun kemudian, Uskup Agung Jakarta waktu itu Mgr Leo Soekoto SJ memberkati bangunan gereja ini.

Mayoritas umat Stasi St Agustinus Halim Perdanakusuma adalah anggota TNI AU. Tak heran, kemudian hirarki kepangkatan di lingkungan TNI pun terbawa ke dalam struktur kepengurusan stasi. Misal, dewan stasi biasanya diisi oleh mereka yang berpangkat marsekal atau kolonel. Sementara pengurus seksi dipegang oleh mereka berpangkat sersan atau kopral. Dalam rapat-rapat stasi, ungkapan “Mohon zin” atau “Izin bicara”, selalu mengawali pembicaraan saat memberi usul atau pendapat.

Hal unik juga kerap terjadi ketika perayaan Ekaristi. Anggota TNI AU yang berpangkat rendah tidak akan mengambil posisi di bagian depan. Tempat itu kebanyakan diisi oleh mereka yang sudah berpangkat tinggi. Namun, menurut Romo Hari, kecenderungan itu sudah mulai berkurang akhir-akhir ini. “Dalam situasi tertentu, mereka yang masih berpangkat yunior pun bisa memangku jabatan kepengurusan stasi,” ujar Romo Hari.

Meskipun stasi ini terletak di dalam kompleks pangkalan TNI AU, ia tetap membuka diri bagi masyarakat di sekitar. Misal, ketika terjadi banjir, gereja ini menjadi tempat berlindung warga sekitar yang terdampak banjir. Romo Hari mengatakan, “Dengan menampung para korban banjir, terbuka kemungkinan untuk terjalin dialog dengan antarumat beragama lain serta dengan masyarakat sekitar gereja.”

Sebenarnya, ada banyak wilayah di KAJ yang kerap disebut stasi. Umat sering menyebut wilayah-wilayah tersebut dengan sebutan stasi. Bisa jadi, sebutan stasi itu dilekatkan kepada satu wilayah tertentu, lantaran berlokasi jauh dari pusat paroki, telah memiliki gedung gereja sendiri, atau karena pelayanan sakramental secara rutin dilakukan di wilayah tersebut. Meskipun secara administratif belum mendapat pengesahan dari keuskupan. Dalam Pedoman Dasar Dewan Paroki KAJ 2014, disebutkan bahwa pendirian sebuah stasi harus melalui usulan Dewan Paroki induk, serta mendapat pengesahan dari uskup.

Perihal administratif memang penting. Tapi disamping itu, jauh lebih penting adalah mengupayakan kematangan iman umat untuk secara mandiri mengelola persekutuan umat, membangun paguyuban umat Allah. Perubahan status dari stasi menjadi paroki menjadi titik awal untuk menata langkah secara mandiri sebagai persekutuan umat Allah yang hadir bagi Gereja, serta bagi masyarakat.

Stefanus P. Elu
Laporan: Odorikus Holang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini