Sadar dan Berbuah

244

HIDUPKATOLIK.com – Dewasa ini di paroki-paroki, umat semakin berpartisipasi aktif dalam perayaan liturgi, khususnya Misa hari Minggu. Umat Lingkungan dan komunitas kategorial secara bergilir melaksanakan tugas pelayaan seperti ikut dalam paduan suara, lektor, pemazmur, dan penyambut jemaat. Tentu saja dalam perayaan liturgi, semua harus turut terlibat aktif berdoa dan ikut bernyanyi. Sementara kita hadir dalam perayaan liturgi dan mendapat tugas pelayanan yang harus kita berikan kepada jemaat, itu tentu saja baik. Akan tetapi “melakukan sesuatu untuk jemaat” bukan yang utama, melainkan kehadiran dalam perayaan liturgi. Kehadiran pribadi dalam sebuah perayaan liturgi merupakan pelayanan yang paling utama (Henry Noumen). Bunda Gereja “sangat menginginkan,
supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi” (SC, 14). Namun demikian, partisipasi aktif menjadi liturgi dirayakan dengan penuh kesadaran.

Kehidupan modern ditandai dengan otomatisme. Lihat saja banyak hal dilaksanakan secara otomatis: di rumah, di kantor, lalu lintas, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, dan lain-lain, yang semua hanya dengan tekan tombol saja, terjadilah apa yang kita inginkan. Boleh jadi sikap otomatis ini mempengaruhi ketika kita merayakan liturgi. Secara otomatis begitu saja kita melaksanakan kewajiban hari Minggu; ikut-ikutan mendaraskan rumus-rumus doa yang bahkan sudah dihafal, menyanyikan lagu-lagu yang sudah biasa asal saja enak melodinya peduli amat dengan makna syairnya. Semua umat berlutut, berdiri dan membungkuk, maka kita pun ikut-ikutan juga.

Kedangkalan merupakan ciri khas masyarakat modern-sekular, mempengaruhi cara kita berliturgi. Semuanya serba cepat dan tergesa-gesa. Dari dirinya sendiri, “masyarakat yang ditentukan oleh business, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta uang sudah tidak berkaitan dengan doa dan agama. Orang yang hidup di dalamnya memang banyak yang sudah tidak berdoa. Hidup mereka lebih banyak ditentukan oleh HP dan televisi, bukan oleh upacara-upacara keagamaan” (Tom Jacobs SJ. 2004. Teologi Doa. Yogyakarta: Kanisius, hal 17).

Ketika merayakan liturgi, kita berdoa pertama sekali untuk memuji Allah, bersyukur dan menyembah Allah Pencipta. Doa bukan pencarian dari kehidupan sehari-hari dengan segala tantangannya. Dalam doa kita sungguh sadar bahwa kita adalah makhluk ciptaan Tuhan. Dengan doa kita menghayati hidup bersama Tuhan dan memperjuangkan kehidupan bersama-Nya. Tidak cukup kita mohon bantuan Tuhan tetapi yang utama adalah mempercayakan diri kepada Tuhan. Dalam doa kita mengungkapkan iman dari lubuk hati yang terdalam. Hidup kita merupakan pemberian, anugerah dari Allah. Kita berdoa Allah Bapa, dengan perantaraan Putra-Nya Yesus Kristus dan oleh Roh Kudus. Dengan demikian kita berdoa dengan sadar karena “kita semua mengenal dengan baik bahaya mendaraskan rumusan-rumusan doa rutin sementara pikiran kita seluruhnya berada di suatu tempat yang lain sama sekali” (Paus Benediktus XVI. 2008. Jesus dari Nazaret. Jakarta: Gramedia, hal 139-140).

Liturgi yang dirayakan dengan penuh kesadaran akan menjadikan umat sehati-sejiwa dalam kasih. Umat mendapat berkat dan diutus untuk mengamalkan kasih bagi sesama dalam masyarakat. Dengan menerima komuni kudus, kita sejatinya bersatu dengan Tuhan untuk membawa damai bagi dunia. Menyambut Tubuh Kristus berarti menerima Kristus, yang adalah biji gandum yang jatuh dan dikorbankan agar menghasilkan buah. Kematian diubah dengan kasih, kekerasan dikalahkan dengan cinta. Kasih lebih kuat daripada kematian.

Agar Ekaristi berbuah, ketika Liturgi Sabda, mata kita tertuju pada mimbar Sabda sambil mendengarkan Bacaan Pertama, Bacaan Kedua, dan Evangeliarium yang diikuti dengan homili. Jangan lagi baca teks. Dalam liturgi, umat mendengarkan Sabda Tuhan, bukan membaca Sabda Tuhan. Ketika Liturgi Ekaristi, pusat perhatian kita tertuju ke altar, dalam keheningan kita mendengar dan dalam hati berdoa bersama imam Doa Syukur Agung, “umat menggabungkan diri dengan Kristus dalam memuji karya Allah yang agung dan dalam mempersembahkan kurbam”(PUMR, 78).

RD Jacobus Tarigan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini