Beriman Lewat Karawitan

384
Anggota Sekar Leo Agung bersama Kepala Paroki Romo Kunradus Badi Mukin CSsR.
[Dok. Sekar Leo Agung]

HIDUPKATOLIK.com – Seni membantu manusia untuk mengolah rasa dan budi. Dengan seni gamelan, umat dikenalkan juga dengan keragaman budaya Nusantara.

Setiap Senin dan Jumat sore, lantunan merdu alat musik gamelan terdengar sayup dari pagar depan halaman Gereja St Leo Agung Jatiwaringin, Keuskupan Agung Jakarta. Saat masuk halaman gereja, lantunan musik itu semakin jelas merdu. Sebuah komposisi klasik Jawa yang tercipta puluhan tahun silam seketika memenuhi setiap sudut gereja.

Sebagai sebuah paroki, umat yang berdinamika di Paroki Jatiwaringin berasal dari beragam suku di Indonesia. Jawa menjadi suku yang cukup dominan di paroki ini. Hal ini menjadi alasan dibentuknya Komunitas Seni Karawitan Leo Agung (Sekar) di paroki yang terletak di tepian Kalimalang, Bekasi ini.

Dimulai pada 2012, sekelompok orang yang memiliki kecintaan pada karya-karya klasik gamelan bersepakat untuk berlatih gamelan bersama. Sejak itulah, Sekar resmi lahir dan menjadi salah satu kegiatan bagi umat di Paroki Jatiwaringin. Sejak saat itu pula, gending-gending karya maestro gamelan Jawa selalu memenuhi kompleks gereja dua kali seminggu.

Swadaya Bersama
Awal terbentuknya Sekar Leo Agung, tidak bisa lepas dari kelompok Kliwonan dan Kasepuhan Paroki Jatiwaringin. Dua kelompok ini menyadari, bahwa umat paroki memiliki budaya yang heterogen. Ada Jawa, Sumatera, NTT, NTB, Tionghoa, dan Bali. Mereka memiliki keinginan untuk melestarikan budaya-budaya yang ada di tengah umat ini, sembari menguri-uri kebudayaan Jawa.

Kehadiran Sekar menggambarkan salah satu budaya yang menjadi bagian paroki. Dua kali seminggu, mereka latihan bersama di gereja. Dalam setiap sesi latihan, mereka menghabiskan waktu dua jam, untuk semakin memperdalam kemampuan dalam memainkan langgam-langgam Jawa. Herman Y. Muhada mengatakan, terkadang waktu yang digunakan lebih dari itu. Sebagai tempat berlatih, mereka menggunakan salah satu tempat yang berada dekat halaman parkir kendaraan roda dua Gereja St Leo Agung.

Tiap kali latihan pada hari Senin, tidak kurang dari 20 orang datang untuk mengikuti latihan. Saat latihan, tergambar jelas komunikasi kekeluargaan yang begitu kental. Sesekali, canda, tawa, dan mimik muka bahagia tergambar dengan alami. Agak sedikit berbeda dengan anggota yang latihan pada hari Jumat, yang diperuntukkan untuk ibu-ibu, sekurangnya lebih dari sepuluh orang yang rutin datang untuk latihan sembari melepas rindu satu dengan anggota lainnya.

Beberapa dari peserta latihan tak datang dengan tangan kosong. Mereka berinisiatif membawakan makanan dengan sukarela. “Makanan seperti camilan dan berbagai minuman, seperti minuman jahe hangat, teh, dan wedang uwop bisa dinikmati bersama-sama,” kata Herman.

Sekretaris Sekar ini mengatakan, rasa kekeluargaan antaranggota juga terjalin pada kehidupan di luar latihan. Herman memberi contoh, jika ada anggota Sekar yang sedang sakit, semua mendoakan dan menjenguk bersama ke rumah sakit di mana anggota itu dirawat. Selain mendoakan dan berkunjung ke rumah anggota yang sakit, kekeluargaan yang terjalin, bagi Herman juga sangat terasa saat pertemuan di gereja. “Jika dalam satu minggu, kami tidak hadir latihan atau bertemu, seperti ada yang kurang lengkap. Seperti ada kerinduan yang menggebu dalam benak kami untuk bertemu,” ujar Herman.

Apa yang diungkapkan Herman juga diamini Ketua Sekar F.X. Suwarno. Tampaknya semangat awal berdirinya Sekar terus dijaga oleh setiap anggota. Warno menambahkan, yang membuat anggota setia datang latihan adalah ikatan kekeluargaan yang terlanjur mengakar dalam Sekar. “Meskipun kami sudah usia lanjut, kami tetap setia hadir untuk latihan bersama dan berkumpul untuk saling menguatkan,” ujar Warno.

Pelestarian Budaya
Tempat latihan yang digunakan oleh Sekar dibangun atas swadaya bersama. Para donatur dan umat yang memiliki kepedulian rela menyumbang sedikit rezekinya. Selain bangunan, kelengkapan alat-alat musik gamelan juga merupakan hasil swadaya dan sumbangan donatur. Sejak awal dirintis, ada saja orang yang menyumbang untuk membeli alat-alat musik itu. Herman dan Warno menduga, donatur itu juga memiliki kecintaan yang sama terhadap budaya Jawa. “Saat ini, alat-alat musik yang dimiliki Sekar terbilang lengkap, ada slendro dan pelog.”

Warno mengatakan, untuk saat ini instrumen yang mereka miliki bukan dari bahan kualitas terbaik, seperti perunggu dan kuningan. Bahan pembuatan alat-alat musik tersebut masih beralas besi. “Meskipun bukan dari bahan-bahan yang terbaik, tetapi suara yang dihasilkan cukup mumpuni untuk belajar gamelan. Kualitas suara yang dihasilkan dari alat musik gamelan yang ada, kita jaga dengan rutin mengkalibrasi dari masing masing alat.”

Warno menyadari, dukungan Paroki sangatlah besar. Paroki Jatiwaringin memberikan izin untuk menggunakan sebidang tanah untuk dijadikan tempat latihan komunitas ini. Warno menambahkan, dukungan moril sangatlah besar dirasakan. Ia mengatakan, jika ada pentas, untuk biaya pementasan juga kerap dibantu. “Untuk memenuhi biaya, biasa kami swadaya dulu dari para anggota. Jikalau kurang, baru kita membuat proposal ke Paroki dan biasanya dana tersebut dapat kami terima.”

Herman berharap, dengan terbentuknya Sekar, kecintaan akan ada kebudayaan lain juga akan muncul. Sehingga akan ada juga komunitas budaya lain dari umat di paroki ini. “Adanya kelompok lain yang berasal dari umat Paroki Leo Agung bukan untuk menjadikan sebuah persaingan, namun guna mengeluarkan kreasi sesuai dengan keragaman yang dimiliki umat di paroki ini.”

Baik Warno ataupun Herman menyadari, saat ini tantangan yang dialami adalah masalah regenerasi anggota. Sebagian anggota sudah sepuh dan sudah banyak yang sudah pensiun. Usaha untuk mempromosikan komunitas ini sudah dilakukan. Namun, nampaknya harus berusaha lebih keras lagi. “Sejak terbentuk, belum ada orang muda yang sungguh-sungguh menggeluti dan konsisten untuk berlatih,” ujar Herman.

Seiring berjalan waktu, baik Warno maupun Herman, tidak patah arang. Keduanya tetap mempromosikan dan mengenalkan kegiatan ini. “Kami terus menawarkan kepada Bina Iman Anak, Remaja, dan bahkan terus mempromosikan kegiatan ini kepada orang muda Katolik Paroki Leo Agung.”

Kesadaran untuk melestarikan budaya memang dapat lahir dalam beragam situasi. Selain untuk melestarikan budaya, komunitas Sekar Leo Agung juga untuk mengupayakan agar paroki mempunyai daya pikat yang lebih. Rencana, paroki ini akan mengadakan Misa inkulturasi secara rutin. “Kami berharap, Paroki Leo Agung dikenal dengan Gereja Inkulturasi. Di tengah kota metropolitan seperti Jakarta, ini yang terus kami upayakan.”

Christophorus Marimin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini