Mengelola Paroki

217

HIDUPKATOLIK.com – Sebuah paroki mengundang saya menjadi narasumber dalam pembekalan anggota dewan paroki yang baru. Selain anggota dewan paroki, peserta pembekalan tersebut juga dihadiri dua pastor paroki. Dalam pembekalan itu, saya mengatakan bahwa mengelola sebuah paroki berlaku hukum Pareto. Dalam konteks perusahaan, hukum Pareto menjelaskan angka 80:20, yang berarti omzet penjualan perusahaan 80 persen berasal hanya dari 20 persen pelanggannya. Sementara, 20 persen omzetnya justru diperoleh dari 80 persen total pelanggannya. Dengan hukum Pareto ini, saya mengatakan bahwa dalam mengelola paroki, 80 persen tergantung dari pastor paroki. Hanya 20 persen “wewenang” yang dimiliki pengelola paroki, dalam hal ini anggota dewan paroki dan pengurus yang lain.

Ketika saya menjelaskan makna hukum Pareto untuk konteks paroki, semua peserta diam. Diam itu memiliki dua makna: setuju atau tidak setuju. Ketika saya menambahkan penjelasan ini untuk konteks Indonesia, di mana seorang imam menjadi sosok yang sangat dihormati, panutan, “wakil” Tuhan, dan ditambah budaya paternalistik yang kuat, peserta yang diam saya maknai bahwa mereka setuju dengan pernyataan saya.

Walaupun “wewenang” pengelola paroki hanya 20 persen, tapi bila digunakan dengan benar akan memiliki pengaruh signifikan. Tak menutup kemungkinan “wewenang” yang 80 persen itu akan mengikuti dan menyetujui yang 20 persen. Bagaimana cara agar “wewenang” ini optimal dipergunakan?

Para pengelola paroki adalah pemimpin. Minimal, mereka memimpin satu unit. Sementara mengelola unit yang ada di paroki tergantung kepada para pemimpin. Memakai pendekatan pakar pengembangan diri, Stephen Covey, ada empat tingkat kepemimpinan.

Pertama, kepemimpinan personal. Syarat kepemimpinan personal ini adalah terpercaya. Ia harus menjadi orang yang layak dipercaya. Layak dipercaya ini muncul dari dua sumber: integritas pribadi dan kompetensi. Integritas pribadi berbicara tentang moral, etika, kebaikan universal, dan nilai luhur lain. Sementara kompetensi tak lain menyoal kemampuan teknikal yang dimiliki untuk mendukung pekerjaan.

Kedua, kepemimpinan interpersonal. Ini berbicara tentang memimpin orang lain. Syarat mutlak kepemimpinan interpersonal adalah saling percaya. Dalam konteks paroki, tak lain umat percaya kepada pemimpin, karena pemimpin ini memiliki integritas dan kompetensi. Sedangkan pengelola paroki percaya kepada umat, karena umat merupakan sasaran pelayanan. Saling percaya ini merupakan spirit untuk membentuk tim yang solid.

Ketiga, kepemimpinan manajerial. Stephen Covey mengatakan, kepemimpinan manajerial ini berbicara pemberdayaan. Sang pemimpin wajib memberdayakan unit atau divisinya, agar bisa memberikan kontribusi optimal kepada organisasi yang lebih besar, dalam hal ini paroki. Selain itu, mereka juga memiliki keahlian prima untuk melayani umat. Sang pemimpin juga wajib menciptakan para pemimpin baru untuk menggantikannya kelak.

Keempat, kepemimpinan organisasional. Sang pemimpin harus berbicara tentang visi besar dan rencana strategis organisasi. Sang pemimpin menjelaskan kepada seluruh anggota organisasi atau umat, tentang visi organisasi atau paroki lima atau sepuluh tahun mendatang.

Kepemimpinan tingkat satu sampai tiga menjadi kewajiban dari para pengurus paroki. Sementara kepemimpinan tingkat empat menjadi tanggung jawab dari pastor paroki. Berbasis hal tersebut, maka wajib bagi pastor paroki untuk memilih orang yang layak dipercaya. Orang-orang yang layak dipercaya ini, dengan integritas dan kompetensi, relatif akan sukses memimpin orang lain maupun divisinya.

Lalu apa peran pastor paroki? Tak lain menjalankan kepemimpinan organisasional. Pastor paroki berbicara tentang visi dan rencana strategis paroki dalam jangka menengah dan panjang. Lalu, eksekusinya menjadi pekerjaan jangka pendek yang diserahkan kepada para pengelola paroki yang layak dipercaya.

A.M. Lilik Agung

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini