Berdamai dan Berjuang Bersama Kanker

402
Pasutri Ignatius Aribowo Soedjadi - Helena Menta Dumaris Simarmata.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Kanker mendera, ia berjuang. Sisa hidupnya ingin ia persembahkan untuk orang lain. Ia ingin membahagiakan keluarga. Tuhan punya rencana.

Pada awal 2014, Helena Menta Dumaris Simarmata merasa tenggorokan dan telinganya bermasalah. Perempuan yang mengawali karir sebagai reporter di majalah Kartini sejak 2001 ini pun pergi memeriksakan diri ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Setelah menjalani pengobatan, gangguan itu hilang. Namun, tak lama berselang tenggorokannya sakit lagi.

Helen, sapaannya, mencoba untuk mencari informasi dengan berselancar di dunia maya. “Setelah mencari-cari di internet, muncul kecurigaan dalam diri saya, jangan-jangan apa yang saya alami lebih dari sekadar sakit tenggorokan. Akhirnya, saya meminta pada dokter THT untuk melakukan biopsi. Hasilnya, saya positif menderita kanker nasofaring (rongga hidung dalam),” kisah Helen.

Nasofaring merupakan salah satu bagian dari faring atau tekak. Faring adalah saluran yang terletak antara rongga hidung serta rongga mulut dan kerongkongan. Penyebab kanker nasofaring atau Nasopharynx Cancer (NPC) bersifat multifaktor. Namun, penyebab utamanya adalah Virus Epstein Barr (VEB), yang juga menjadi penyebab kanker lainnya. Virus itu sebenarnya menyerang penderita kanker nasofaring sejak penderita berusia muda atau anak-anak.

Terguncang
Mendengar hasil pemeriksaan dan diagnosa dokter bahwa dirinya terkena kanker nasofaring, ada rasa khawatir yang menyelimuti. “Meski sudah menduga, hasil positif kanker itu tetap membuat saya terguncang. Saya menangis hebat di pelukan suami. Yang ada dalam pikiran saya waktu itu, hidup saya sebentar lagi berakhir. Saya akan segera mati,” ujar istri Ignatius Aribowo Soedjadi atau yang akrab dipanggil Ai ini.

Setelah pulang dari tempat praktik dokter, Helen mengikuti Misa Malam Paskah seorang diri pada 19 April 2014. Sang suami tidak bisa ke gereja bersamanya karena ada pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan. Selama mengikuti Misa, perasaan Helen bercampur aduk. Ia diserang ketakutan dan kepedihan yang luar biasa. Di sisi lain, ia juga merasa dikuatkan karena kemenangan Kristus atas dosa dan maut. “Bilur- bilur Yesus sudah menyembuhkan saya. Seharusnya saya tidak perlu takut akan bayangan kematian. Yesus berkuasa akan maut,” ungkap perempuan yang kini bekerja sebagai penulis lepas ini. Namun, ia tak dapat mengingkari ketakutan yang mendekapnya. Dua pikiran yang bertolak belakang itu silih berganti muncul dan timbul tenggelam di benak Helen sepanjang Misa berlangsung.

Usai mengikuti Misa Malam Paskah, Helen merasakan adanya kekuatan baru yang melingkupi dirinya. Dengan mantap, perempuan kelahiran Jakarta, 2 September 1976 ini memutuskan untuk berjuang melawan kanker dengan pengobatan medis. Motivasi terbesarnya untuk sembuh adalah ia ingin lebih lama bersama dengan suami dan putri semata wayangnya. Ia juga tidak mau berputus asa karena kanker yang mendera tubuhnya.

“Selain itu, saya dikelilingi oleh keluarga dan sahabat yang luar biasa. Mereka terus menguatkan saya. Saya juga merasa ‘berhutang’ kepada Tuhan. Saya sudah diberi hidup, jadi sudah sepantasnya saya menghidupi hidup ini. Live the life I have to the fullest, ” tekad Sarjana Sastra Jerman, Universitas Indonesia ini optimis.

Mulailah perjalanan perjuangan Helen. Berbagai pengobatan ia jalani, di antaranya radiasi. Sekitar satu setengah bulan, ia menjalani pengobatan radiasi luar. Selama satu setengah bulan itu pula wajah sampai dadanya tidak boleh terkena air sama sekali agar tidak terbakar. Ia tidak boleh mencuci muka. Mandi hanya membasahi badan dari pinggang ke bawah. Untuk keramas, Helen hanya melakukannya dua kali selama menjalani pengobatan radiasi tersebut. “Itu pun harus dilakukan di salon agar bisa sambil tiduran dan air tidak mengenai wajah,” kenangnya.

Proses radiasi luar membuat mulut dan tenggorokan Helen seperti luka. Akibatnya alumna SMA Santa Ursula Jakarta ini mengalami kesulitan untuk menelan. Jangankan makan, untuk menelan ludah saja butuh perjuangan sungguh tidak mudah. Setiap tetes ludah yang ia telan akan selalu menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.

“Untuk makan, semua harus diblender. Itu pun menelannya harus susah payah dan tak jarang sambil menangis menahan sakit,” ujar perintis Majalah Girlfriend Indonesia ini. Karena rasa sakit itu pula, Helen sempat tidak bisa tidur selama beberapa minggu. Dalam sehari, Helen kerap hanya bisa terlelap sekitar 15 menit, lalu terbangun lagi karena tidak sadar menelan ludah yang membuatnya kesakitan dan terbangun.

Proses radiasi tersebut juga membuat anak bungsu dari lima bersaudara ini kesulitan berbicara. Hampir satu bulan Helen tidak bisa berbicara tanpa merasa kesakitan. Sebagian besar proses komunikasi ia lakukan lewat tulisan. Suaminya meletakkan satu bel di kamar, supaya Helen bisa membunyikan kalau ingin memanggil orang.

“Di masa-masa ini, kesabaran suami dan ibu saya dalam merawat saya sungguh luar biasa. Memang selama perawatan, saya tinggal sementara di rumah orangtua bersama suami dan anak. Ibu saya yang mengurus semua makanan saya, mulai dari membeli, mengolah, memblender, dan lain-lain,” tutur umat Paroki St Thomas Kelapa Dua Depok, Keuskupan Bogor ini. Orangtua dan sang suami juga secara bergantian mengurus putri Helen, termasuk mengantar dan menjemput sekolah, serta memenuhi kebutuhan sehari-hari putri semata wayang mereka.

Berserah
Sakit kanker yang terus mendera tak menghalangi Helen untuk bisa memberikan diri bagi orang lain. Saat ini, ia bergabung dalam Komunitas Senyum Besar. Komunitas ini terbentuk pada Oktober 2014 di Jakarta. Sejak awal terbentuk, ia sudah bergabung dalam komunitas ini. Bersama rekan-rekannya, Helen menggalang dana untuk membantu teman yang terkena kanker hati. Namun kemudian, teman tersebut meninggal dunia sehingga dana yang terkumpul dialihkan untuk anak-anak sang teman. “Saat ini kami sedang menggalang dana lagi untuk anak berusia tiga tahun yang terkena kanker,” ungkapnya. Helen kadang-kadang juga diminta menjadi pendongeng di restoran cepat saji.

Di tengah perjuangannya bergumul dengan sakit kanker, Helen berserah kepada Tuhan. Ia bersyukur karena sakit kanker yang singgah di tubuhnya pun ternyata membantunya untuk mengerti lebih baik tentang Tuhan. Imannya makin bertumbuh subur meski harus melalui perjalanan panjang yang tak mudah.

Lambat laun, Helen juga menyadari bahwa setiap orang pasti meninggal. Hanya masalah cara dan waktu saja. Dalam refleksinya, Helen sungguh mengimani bahwa Tuhanlah yang punya kuasa atas kematian. Setiap orang memiliki waktunya sendiri-sendiri. Separah-parahnya penyakit, kalau memang belum waktunya orang meninggal, pasti tidak akan mampu mengakhiri hidup seseorang. Sebaliknya, seseorang dengan kondisi fisik yang prima pun bisa meninggal secara mendadak, entah karena kecelakaan, sakit, atau bahkan tersedak.

“Yakinlah kalau Tuhan pasti dan selalu punya rencana terindah buat kita, meski mungkin kita sering belum tahu apa rencana tersebut. Imani bahwa Tuhan memberi yang terbaik. Jadi, hiduplah selama kita memang masih diberi hidup oleh Sang Pencipta,” demikian Helen.

Ivonne Suryanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini