Seabad Baptisan Bumi Lodar Kou

836
Mgr Yohanes Aerts dan Pater Petrus Drabbe MSC bersama para Kepala Sofyanin (1923).
[Dok. MSC Maluku]

HIDUPKATOLIK.com – Seabad Gereja Katolik masuk Pulau Fordata, Maluku Tenggara Barat dihayati sebagai karya Ilahi lewat para misionaris.

Pater Hendri Geurtjens MSC suatu kali pernah bertanya kepada orang-orang Fordata, Maluku Tenggara Barat, tentang asal-usul mereka. Majalah Annalen, tahun 1919 memaparkan bahwa orang-orang Fordata menyatakan diri berasal dari Pulau Babar, Maluku Barat Daya, Maluku. Ada sumber lain juga mengatakan, orang-orang Fordata dahulu kala tinggal di pesisir barat Pulau Yamdena. Akan tetapi, mereka melarikan diri karena gangguan lalat yang merajalela di Yamdena. Dalam pelarian itu, mereka tiba di Pulau Fordata.

Majalah Annalen juga menyebutkan, orang-orang Fordata saat ini bukan penduduk pertama. Konon, Pulau Fordata didiami orang-orang kerdil yang tinggi badannya beberapa desimeter saja. Kampung mereka terletak di puncak Bukit Vutlanit. Suatu hari, datanglah orang-orang Seira dengan perahu. Mereka melihat beberapa orang kerdil yang sedang menangkap ikan. Sangkanya, mereka adalah anak-anak sehingga mereka berseru, “Tolong panggil orangtuamu untuk membantu kami menarik perahu ke darat.”

Tak lama kemudian, orang-orang Seira melihat segerombolan orang-orang kerdil datang dan menarik perahu sampai ke Bukit Vutlanit. Masyarakat meyakini, selokan berbentuk perahu di atas Bukit Vutlanit saat ini adalah bukti kehebatan masyarakat pertama di Pulau Fordata.

Sayang, bangsa perkasa itu telah musnah karena wabah cacar. Dalam perkembangan, “Negeri Orang Kerdil” itu mengalami perkembangan pesat. Salah satu perkembangan yang bisa dirasakan adalah keterbukaan menerima iman Katolik. Sejarah mencatat, dua kampung yang pantas disebutkan sebagai saksi iman adalah Desa Awear dan Desa Sofyanin.

Lahan Subur
Dalam Buku Restorasi Misi Katolik di Kepulauan Tanimbar 1888-1994, Mgr Andreas Peter Cornelius Sol MSC menulis, bahwa sekitar tahun 1914-1915, para misionaris telah tiba di dua desa tersebut. Karena itu, selama 1916, dua penduduk desa ini terus mengumpulkan kayu-kayu besi tanpa lelah. Kayu-kayu itu kelak digunakan untuk membangun rumah pastoran dan gereja. Di satu sisi, kedatangan misionaris menjadi berkat bagi dua desa itu, tetapi di sisi lain menjadi “cambuk” mematikan bagi misi Gereja Protestan.

Maka ketika para misionaris berkarya, orang Awear dan Sofyanin sudah bangga menyebut diri Katolik. Memang sejak dikunjungi para misionaris, para penginjil dari Ambon sudah masuk di dua desa ini. Tetapi masyarakat dua desa ini sudah terlanjur mencintai Katolik.

Frits Herman Pangemanan, penulis buku Masuknya Gereja Katolik di Awear mengatakan, dalam beberapa kali, Pater Joseph Klerks MSC dan Pater Eduard Cappers MSC mengunjungi umat Katolik di dua desa ini. Karya dua imam Tarekat Misionaris Hati Kudus (Missionarii Sacratissimi Cordis Iesu/MSC) ini atas undangan Prefek Apostolik Nederlandsch Nieuw Guinea yang saat itu berkedudukan di Langgur, Pater Matthias Nayyens MSC. Corak pastoral saat itu adalah mempromosikan mission extensive, memperluas wilayah pelayanan hingga sejauh mungkin, meski seluruh wilayah itu belum di layani secara intensif.

Sementara, tua adat Awear, Hendrikus Belyaki Oratmangun berkisah, sekitar tahun 1915, masyarakat Desa Rumyaan (Romean) yang beragama Protestan pernah meminta agar diterima menjadi Katolik. Tetapi usulan ini tak diterima para misionaris, sebab kala itu, masih terjadi “pastoral sikut-sikutan” antara para penginjil dengan misionaris.

Dalam suasana demikian, seorang tuan tanah Awear bernama Manuby memberanikan diri ke Olilit, Yamdena. Ia mengungkapkan keinginan mewakili masyarakat dua kampung ini untuk segera diutus seorang guru agama. Keberanian Manuby ini ditanggapi positif. Pater Zegers MSC lalu mengirim surat kepada Pater Klerks dan Pater Petrus Drabbe MSC agar seorang di antara mereka segera ke Fordata bersama seorang guru agama.

Awal Maret 1917, Pater Drabbe MSC menjadi misionaris pertama yang diutus untuk menetap di Fordata. Ia bersama guru Henrikus Dumatubun, ayah almarhum Pater Engelbertus Dumatubun MSC. Hendrikus mengakui, kedatangan Pater Drabbe membuat Orang Kaia (Kepala Desa) Romean dan Rumgevur berniat melaporkannya ke pemerintah di Larat. Pater Drabbe di tuduh mengacaukan masyarakat Fordata. “Kepala Desa Awear, Surukvutu, mengetahui maksud itu lalu memerintahkan supaya Pater Drabbe diungsikan ke Olilit,” kisah Hendrikus.

Baptisan Pertama
Kendati hidup dalam bayang-bayang Protestan, iman masyarakat Awear dan Sofyanin tak pudar. Pater Drabbe berpesan agar ketika dirinya kembali maka akan dimulai pembangunan fisik. Kata Hendrikus, janji itu semakin membuat masyarakat dua desa ini lebih bersemangat menanti kedatangan Pater Drabbe. Setelah suasana tenang, Pater Drabbe kembali ke Bumi Lodar Kou, ‘Negeri Kecil’. Ia mulai mengajar anak-anak dan orang tua. Dalam waktu singkat, 50 anak perempuan dan 20 anak laki-laki siap dibaptis.

Di Fordata dibenarkan kata-kata St Paulus, “Saudara-saudara, berdoalah untuk kami, supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2 Tes 3:1). Agar firman itu beroleh kemajuan, Pater Drabbe bersurat kepada Pater Zegers agar segera mengirimkan seorang guru lagi. Tak lama, Paulus Renjaan dari Desa Sathean, Kei Kecil, Maluku Tenggara diutus ke Fordata. Pater Henri Nollen MSC dari Langgur juga mengirim Benediktus Renjaan agar melayani sekolah di Awear dan Sofyanin.

Kehadiran Pater Drabbe membuat kaum Protestan menyadari Pulau Fordata telah ke colongan. Para penginjil pun menjelajah pulau-pulau Tanimbar Utara dan Babar. Selama enam minggu, mereka membaptis kilat tanpa pengajaran agama.

Selama September hingga Oktober 1917, Pater Drabbe dan para guru sibuk mempersiapkan baptisan. Dalam persiapan itu ditetapkan dua hari untuk pembaptisan, yaitu 20-21 Oktober 1917. Dalam Buku Induk Liber Baptizatorum (LB) I Sofyanin-Awear No. 456-477 dikatakan, pada hari pertama, Pater Drabbe membaptis 21 anak. Sedangkan hari kedua dibaptis 69 anak. Semua anak yang dibaptis berusia antara usia bayi hingga empat tahun.

Buah Iman
Dalam buku karangan Pater Nieuwenhuis MSC berjudul, Een Kwart Eeuw Apostolaat (Karya Kerasulan Selama Seperempat Abad, 1903-1928) dikatakan, sampai 1910, penduduk Pulau Yamdena selalu berada dalam keadaan siap siaga perang. Pada malam hari, pintu masuk kampung dijaga pemuda bersenjata. Pada siang hari, pemuda-pemuda itu memakai waktu berjam-jam untuk menyisir, merias, dan mengeringkan rambut mereka yang panjang. Adapun pekerjaan harian mereka adalah menyadap nira, membuat sopi (minuman keras), mencungkil kelapa dan menjemurnya, menangkap ikan, memburu babi hutan, dan kerap kali bekerja di kebun. Selebihnya waktu mereka gunakan untuk menari, dan berbicara tentang masalah perkawinan.

Gambaran hidup ini juga menjadi gambaran masyarakat Pulau Fordata sebelum masuknya Gereja Katolik. Kehadiran Gereja pelan-pelan mengubah pola pikir masyarakat Fordata.

Tahun ini, 2017, genap seabad Gereja Katolik masuk Pulau Fordata. Seabad benih Katolik telah menghasilkan buah-buah iman. Salah satunya adalah kehadiran imam pribumi pertama asal Tanimbar khususnya Awear, yaitu Romo Lambertus Somar MSC.

Pastor Somar mengawali jajaran 10 imam yang berasal dari dua desa ini. Memaknai seabad kehadiran Gereja, Romo Somar mengatakan, ada berbagai hal yang membuat iman orang Awear dan Sofyanin sangat kuat, salah satunya budaya Fordata yang dekat dengan Tuhan. Masyarakat Lodar Kou mudah mengabdi kepada arwah leluhur dan Ubilaa, “Tuhan yang Besar”. Rasa hormat kepada leluhur dan “pribadi lain” membuat mereka mudah menerima kehadiran para misionaris.

Faktanya, lanjut Romo Somar, Pater Klerks dan Pater Cappers kemudian Pater Drabbe diterima dengan baik oleh masyarakat Awear dan Sofyanin. Kehidupan perang antar-soa, potong kepala, kehadiran suanggi (black magic), pertengkaran tanah, wabah cacar dan tuberkolosis menjadi bagian tak terpisahkan dari misi para misionaris. “Para misionaris mengubah pola pikir dan penghayatan yang baik kepada masyarakat.”

Sementara imam pertama dari Desa Sofyanin, Pastor Gerardus Ohoduan MSC mengatakan, sebad Gereja Katolik masuk Sofyanin tak lain sebagai warisan Gereja yang tak ternilai. Ia mengaku, ketertarikannya menjadi imam karena warisan misionaris yang dikecap dari orangtuanya. Lewat keteladanan orangtua, ia bisa menjadi imam yang terus melayani. Keteladanan ini juga membuatnya setia selama 20 tahun mengabdi umat di pedalaman Keuskupan Agung Merauke. “Menjadi seperti Pater Drabbe pada zaman sekarang tentu berbeda. Tetapi sosok mereka memberi motivasi para imam dari Awear dan Sofyanin untuk mengantar umat kepada keselamatan,” ujarnya.

Sr Tekla Ngoranratu PBHK setuju bahwa panggilan menjadi biarawati adalah buah dari pastoral kehadiran para misionaris. Biarawati dari Desa Sofyanin ini mengatakan, kisah-kisah dan panutan para misionaris secara tak langsung menyuburkan iman. Dari satu generasi ke generasi berikutnya, sosok para misionaris menjadi kekuatan tersendiri. Ia pun mengajak orang muda agar berani menjadi misionaris-misionaris zaman modern. “Semoga banyak orang muda dari dua desa ini terpanggil meneruskan misi para misionaris pada zaman sekarang.”

Tentu masih banyak imam, suster, dan awam dari dua desa ini yang akan memberi kesaksian serupa. Tetapi pastilah Pater Drabbe dan para misionaris lainnya sudah tersenyum di surga sana. Wulan owun warat rsiganti ira naak rir varea wol tablufang, “Bulan dan tahun terus berganti tetapi perjuangan para misionaris tidak akan dilupakan.” Di atas di Bumi Lodar Kou, iman Katolik sudah teruji hebat.

Nama-Nama Baptisan Pertama
Paulus Loermaslebit ( lahir 1912)
Stanislaus Yoerkena (lahir 1916)
Paulus Lebarmasa (lahir 1916)
Herman Yosef Yowaroe (lahir 1915)
Krisentine Jabaloea (lahir 1916)
Timoteus Yaobanit (lahir 1914)
Thomas Obewankei (lahir 1914)
Daniel Sairlela Biblefan (lahir 1917)
Andreas Lebitnalek (lahir 1914)
Eduardus Yoearkena (lahir 1914)
Willem Dailola (lahir 1912)
Yulius Djaoe (lahir 1916)
Yulianus Melawnamat (lahir 1915)
Godefridus Siroat (lahir 1916)
Moses Karai (lahir 1915)
Marcelinus Teka (lahir 1916)
Karel Mangleroe (lahir 1916)
Yahanis Baptista Rataoewai (lahir 1916)
Philipus Loeid (lahir 1916)
Augustinus Totoer (lahir 1915)
Elias Koebalit (lahir 1914)

Yusti H. Wuarmanuk

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini