Nekat Membawa Berkat

959
Rafael David.
[HIDUP/Stefanus P. Elu]

HIDUPKATOLIK.com – Sepuluh tahun ia merintis karier di Singapura sebagai desainer. Posisi ‘puncak’ sudah ia raih. Tapi ia malah memilih pulang ‘kampung’. Mimpi punya usaha di Indonoesia pun kini menjadi kenyataan.

Medio 1996, Rafael David menuntaskan kuliahnya. Ijazah strata satu sebagai arsitek ia genggam, setelah lima setengah tahun mengerahkan semua tenaga dan waktu. Terlebih mengerahkan hati untuk mencintai dunia arsitektur. “Karena sebetulnya kuliah arsitektur bukan pilihan saya. Itu usulan dari kakak. Awalnya saya hanya mau jadi insinyur. Tapi ya saya ikuti saja,” ujar Rafael saat ditemui dua pekan lalu.

Di kantornya, ABODAY yang berlokasi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Rafael mengurai perjalanan kariernya sebagai seorang desainer arsitek. Mengenakan kaos hitam di padu celana jeans biru tua, ia berseloroh, “Mau tanya apa nih. Pengalaman saya biasa aja.”

Modal Nekat
Seperti yang dikemukakan di atas, pilihan untuk kuliah jurusan arsitektur bukan opsi yang dicita-citakan Rafael. Dan itulah yang berbuntut panjang selama masa kuliah. “Saya tidak menemukan kegembiraan di situ. Sampai saya sempat berpikir untuk berhenti kuliah,” ujarnya mengenang masa lalunya.

Sampai suatu ketika, lanjutnya, ia bertanya kepada dosen demikian, “profesi apa yang masih terkait dengan arsitek tapi yang lebih mengarah ke ekonomi?” Ternyata, jauh di lubuk hatinya, Rafael menyimpan asa untuk mengasah profesi di bidang hitung-hitungan duit. Lantas dosennya menganjurkan agar ia menggeluti dunia property management. Anjuran itu menghembuskan semangat baru bagi Rafael. Ia bangkit untuk menyelesaikan kuliahnya, meski ia sendiri belum tahu apa pekerjaan yang ia geluti usai kuliah nanti.

Usai wisuda sebagai arsitek pada 1996, Rafael masih saja bingung mau kerja apa. Ia pun meminta orang tuanya untuk berlibur ke Singapura. Sambil menikmati liburan, Rafael mencari-cari kerja di sana. Akhirnya ketemu juga. “Waktu itu cari kerja sebagai desainer muda masih lumayan gampang. Setelah izin ke orang tua saya mulai bekerja sebagai desainer di sana,” ujar suami dari Georgine Ira Arbiani ini.

Semula Rafael bernazar bahwa ia hanya akan bekerja selama lima tahun di Singapura. Setelah itu ia akan pulang ke Indonesia dan merintis usaha sendiri. Selain itu, ia juga ingin lebih dekat dengan keluarga. Namun, setelah dipertimbangkan matang-matang, niat untuk lekas pulang ‘kampung’ di tahun kelima ia batalkan. “Kalau pulang 2001, saya mau usaha apa? Mau jual pecel lele?,” ujarnya sambil tersenyum.

Akhirnya, Rafael nekat memperpanjang waktu kerjanya di tanah rantau. Tak tanggung-tanggung, hanya dalam kurun waktu sekitar setahun karier Rafael melejit tajam. Posisi sebagai Principal Designer di AXIS Architects Planners Singapura ia rengkuh di 2002. “Dengan posisi itu saya langsung bertemu klien dan langsung bertanggung jawab di bawah pemilik perusahaan. Itu posisi tertinggi bagi seorang desainer,” kata Rafael.

Tetapi karier cemerlang dengan pendapatan ‘wah’ itu tak bisa juga mengaburkan rasa cinta akan tanah air. Perjumpaannya dengan dua teman seasal Indonesia, semakin menguatkan hasrat untuk pulang. Sebelum benar-benar pulang, ia mulai merancang usaha yang akan dirintis setelah tiba di Indonesia. “Termasuk pastikan bahwa kita dapat klien dulu baru kita putuskan untuk pulang. Kantor pertama kami buka di Bali. Setahun kemudian kami pindah ke Jakarta,” ujar Rafael yang resmi kembali ke Indonesia pada 2006.

Usaha yang dirintis tiga sekawan itulah yang masih mereka hidupi hingga sekarang. Usaha itu diberi nama ABODAY. Kata ini merupakan akronim dari nama mereka: “abode for david (Rafael David), ary (Ary Indra) dan yap (Johansen Yap).”

Berhenti jadi Karyawan
Menurut Rafael, dorongan terbesar untuk meninggalkan pekerjaan mapan di negeri seribu satu larangan itu adalah ingin berhenti jadi karyawan. Ia tetap memegang teguh niat semula ketika baru merintis karier di Singapura bahwa suatu saat ia ingin punya usaha sendiri. Dan pengalaman kerja di Singapura memberinya sejuta ilmu dalam memupuk ABODAY saat ini.

Katanya, “Saya belajar banyak hal di sana. Misalkan, kedisiplinan, cara membuat kontrak dengan klien, penanganan masalah di perusahaan, dan yang tidak kalah penting adalah transparansi kerja.”

Di Indonesia, lanjut Rafael, transparansi kerja antara pengusaha dan pemerintah masih jadi problem besar. Aturan terlalu banyak sampai tumpang tindih. Kalau pun aturannya jelas, tetap saja harus ada amplop supaya urusan lancar. Sementara di Singapura, peraturan jelas, bisa diakses lewat media online, dan tidak ada transaksi gelap. Aturan dibuat untuk dijalankan dan memperlancar kerja.

Meski masih banyak hal yang perlu dibenahi di Indonesia, Rafael tak menyerah. Buktinya, sudah sembilan tahun ayah dua anak ini menjejakkan tangan kreatifnya di Indonesia lewat ABODAY. Hotel Morriseey Menteng, Jakarta Pusat, merupakan bukti kelihaian Rafael dalam mengolah ilmu dan pengalamannya.

Rafael berharap agar orang-orang muda di Indonesia mau menumbuhkan semangat entrepreneur-nya masing-masing. Pikirkanlah usaha atau daya kreatif apa yang bisa kita hasilkan untuk membantu roda ekonomi negeri ini. “Jadi karyawan di perusahaan tertentu juga baik, tapi itu belum cukup. Kalau bisa jangan lama-lama. Kita ciptakan usaha sendiri sehingga daya serap terhadap tenaga kerja makin tinggi,” kata umat Paroki St Monica Bumi Serpong Damai ini.

Melibatkan Alam
Di hasil-hasil desain bangunan yang dikerjakan Rafael, unsur kesatuan bangunan dan alam sangat kental. Hampir semua desain bangunan yang dikerjakan Rafael, ada bagian tertentu dari dinding yang memakai kaca transparan. Ini terlihat juga di kantor kerja Rafael di Kemang. Dinding bagian depan semuanya memakai kaca polos.

Menurut Rafael, ia dan rekan-rekannya sangat senang dengan vegetasi. Selain itu, dengan mengintegrasikan pohon atau taman dalam sebuah bangunan akan membuat bangunan itu hidup. “Tembok kan unsur yang keras dan mati. Sementara taman atau pohon itu kan  lunak dan hidup. Jadi tembok yang mati bisa dihidupkan oleh taman. Harus ada yin  dan yang sehingga seimbang,” ujarnya.

Ketika ditanya, “Masihkah belum mencintai profesi arsitek karena bukan merupakan cita-cita awal?” Rafael menyela, “Ya nggaklah. Bagaimana mungkin saya bisa berkarier sembilan belas tahun di dunia desain arsitektur kalau saya tidak mencintainya? Sekarang saya menikmati hari-hari saya. Syukur bahwa keluarga juga bisa menerima pekerjaan saya yang Sabtu dan Minggu juga kadang tetap ngantor.

Rafael Dafid
TTL : Cimahi, Jawa Barat, 15 September 1971
Istri : Georgine Ira Arbiani
Anak: Jeremiah Nasada Taruli Pasaribu Antonia Rayya Ulinami Pasaribu

Pendidikan:
• SMA Kanisius Jakarta
• Arsitek di Universitas Parahyangan Bandung
• Arsitek Yunior di Architect Design Team (ADT) Singapura, 1996-1997
• Arisitek Yunior di Forum Arsitek Singapura, 1997-1998
• Arsitek di Internasional Desain Singapura, 1998-1999
• Arsitek di AXIS Architects Planners Singapura, 1999-2002
• Prinsipal Designer di AXIS Architects Planners Singapura, 2002-2006
• Salah satu pendiri ABODAY Jakarta, 2006 – Sekarang

Stefanus P. Elu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini