Jalan Terjal Meraih Emas Perkawinan

872
Menjaga Komitmen: Pak Wid dan Bu Wid bersama keluarga mereka.
[HIDUP/Maria Pertiwi]

HIDUPKATOLIK.com – Merayakan pesta emas perkawinan merupakan salah satu anugerah yang disyukuri pasutri ini. Mereka terus belajar untuk menghidupi janji perkawinan yang mereka ikrarkan di depan altar.

Widiatmo lahir dari keluarga Katolik. Ia dibaptis dengan nama Fransiskus Xaverius (FX). Berdoa bersama dan mengikuti perayaan Ekaristi menjadi kebiasaan yang dihidupi keluarganya. “Saking kentalnya kekatolikan dalam diri Bapak saya, Bapak dijuluki ‘Paus’ oleh umat di Gereja St Yusuf Bintaran, Yogyakarta,” kenangnya.

Orangtua Wid menanamkan nilai-nilai kekatolikan dalam diri anak-anak mereka. Mereka juga berharap buah hatinya bisa mendapatkan pasangan hidup yang seiman. Namun, harapan itu pupus kala Wid berkenalan dengan Suparni pada 1961.

Waktu itu, Nani –sapaannya– merupakan seorang Muslim dan berasal dari keluarga Muslim yang taat. Seiring waktu, benih-benih kasih makin tumbuh subur di antara mereka. Tatkala mengetahui Wid dan Nani menjalin kasih, keluarga mereka masing-masing tidak menyetujui. Masing-masing keluarga itu memiliki tradisi keagamaan yang sama-sama mengakar.

“Ketika kami memutuskan untuk serius dalam hubungan kami, muncul kekhawatiran dalam diri kami terkait perbedaan agama kami masing-masing. Ini mau dibawa ke mana nantinya. Apalagi Ibu dan Bapak saya berpesan, kalau saya harus menikah dengan yang Katolik,” kisah Pak Wid.

Hal serupa juga dialami Nani. Keluarganya ingin Nani menikah dengan orang yang seiman. Bahkan keluarganya sudah menyiapkan calon pendamping hidup bagi Nani. Namun, Nani menolak calon suami pilihan keluarga.

Komitmen Bersama
Di tengah keinginan kuat untuk tetap menikah dan kekhawatiran yang mengiringi langkah Wid dan Nani, Wid menemui seorang romo yang menjadi pembimbing rohaninya, (alm) Romo Venantius Soekasoemarta SJ. Ia menceritakan situasi dan permasalahan yang dihadapi. “Romo mengatakan akan memberikan dispensasi bagi kami,” kenang Pak Wid.

Mendengar perkataan Romo Soekasoemarta, ada kelegaan dan kegembiraan yang menghiasi hati Wid dan Nani. Lalu mereka pun mengambil langkah selanjutnya. Mereka bersepakat untuk memberi pengertian kepada keluarga mereka masing-masing mengenai keinginan dan rencana untuk mengarungi biduk rumah tangga bersama. “Pasangan saya ini juga mengatakan kepada saya bahwa ia mau untuk mengikuti pelajaran agama Katolik setelah menikah,” ujar Wid.

Akhirnya pada 1964, mereka menikah di Catatan Sipil. Pada masa itu, meski berbeda agama, mereka masih bisa menikah. Pak Wid dan Bu Wid, demikian sapaan mereka setelah menikah, merasa bersyukur karena bisa menyatukan kasih dan hati mereka. “Di hadapan negara, kami sudah sah sebagai pasangan suami-istri, meski menurut Gereja belum,” ungkap Pak Wid yang disambut anggukan oleh Bu Wid.

Setelah menikah, Bu Wid masih menetap di Yogyakarta. Sementara itu, Pak Wid tinggal di Jakarta karena pekerjaannya. “Karena Bapak di Jakarta, saya berusaha sendiri untuk mempelajari bagaimana menjadi orang Katolik, mempelajari agama Katolik. Susah payah saya pelajari …,” kata Bu Wid.

Beberapa waktu usai mengikuti pelajaran persiapan untuk menjadi Katolik, pada 1965, Bu Wid menerima Sakramen Baptis dan memilih “Theresia” sebagai nama baptisnya. Saat itu, Pak Wid dan Bu Wid juga menerima Sakramen Perkawinan secara Katolik. Hari itu, 19 April 1965, kemudian dirayakan oleh Pak Wid dan Bu Wid sebagai hari perkawinan mereka.

Setahun berselang, 1966, Pak Wid memboyong sang istri ke Jakarta. Mereka berusaha untuk mengayuh laju biduk perkawinan mereka bersama Bila badai menghampiri, pasutri ini berusaha untuk tetap bisa bergandeng tangan, agar biduk mereka tidak tenggelam oleh badai. “Permasalahan, perselisihan juga kami alami. Kadang kami sama-sama menonjolkan ego masing-masing,” ungkap Pak Wid.

Namun di tengah perselisihan dan permasalahan yang terjadi, Pak Wid dan Bu Wid kemudian belajar untuk menghilangkan ego masing-masing seiring roda waktu bergulir. “Kita mesti saling belajar terus- menerus,” tandas perempuan kelahiran Yogyakarta, 30 Januari 1941 ini.

“Menikah itu gampang, tetapi bagaimana membangun, merawatnya seumur hidup …. Berpegang teguh pada janji perkawinan itu menjadi komitmen kami berdua sebagai suami-istri,” imbuh Pak Wid.

Berserah dalam Doa
Dalam menghadapi tantangan dan permasalahan hidup sehari-hari, khususnya hidup perkawinan, Pak Wid dan Bu Wid membawa semua dalam doa-doa. Keluarga berserah kepada Tuhan, dan berusaha untuk berdoa bersama saat bangun tidur pada pagi hari. Lalu mereka pun menutup hari dengan berdoa bersama pada malam sebelum tidur. “Kebiasaan ini juga saya peroleh dari didikan orangtua saya untuk kami anak-anaknya,” ujar laki-laki kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, 9 Juni 1941 ini.

Pasutri ini juga mengajak keempat buah hati mereka untuk menghidupi kebiasaan doa dalam keluarga masing-masing. “Doa pagi itu untuk mengawali suatu karya, kita mempersembahkan karya kita kepada Tuhan. Ketika malam hari sebelum tidur, kita berdoa untuk mensyukuri berkat yang kita peroleh sepanjang hari itu. Dengan berdoa bersama, berdoa berdua dengan suami atau istri, kita bisa menyatukan diri. Kita bisa saling mendukung …,” papar Pak Wid.

Selain berdoa bersama, Pak Wid dan Bu Wid berusaha untuk mengikuti Misa Harian. “Ini juga mendukung dalam hal iman dan kehidupan keluarga,” tandas umat Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini.

Pasutri ini juga berusaha untuk ambil bagian dalam kegiatan di lingkungan dan Gereja. Sejak 1976, Bu Wid terlibat sebagai anggota Legio Mariae. Ia juga ambil bagian dalam kegiatan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI). Tiga tahun terakhir ini, perempuan yang menjadi guru SMP Negeri 107 Jakarta (1980-2005) ini melayani sebagai Ketua Presidium Maria Bunda Penebus, Legio Mariae Paroki Pasar Minggu.

Sementara itu, Pak Wid melayani sebagai Ketua Presidium Ratu Para Bangsa sejak satu tahun yang lalu hingga kini. Ia juga membantu dan mendampingi paduan suara di Seminari Wacana Bakti Jakarta bersama musisi lain seperti Didik SSS. Biasanya ia mendampingi seminaris yang berlatih orkestra pada sore hari. Setiap Rabu, saat Hari Seni, ia mengajar di SMA Gonzaga Jakarta. “Fokus saya lebih kepada pembinaan vokal. Saya menerima ini sebagai suatu bentuk pelayanan. Apa yang saya bisa, saya berikan,” ungkap Pak Wid. Ia juga kerap diminta untuk melatih koor di lingkungan dan di paroki lain.

Emas Perkawinan
Pak Wid dan Bu Wid berusaha untuk saling mendukung dan menguatkan. Mereka bersyukur atas emas perkawinan yang mereka rayakan pada 19 April 2015 ini. “Kita berusaha untuk saling menerima apa adanya dan terus saling belajar. Kami masih terus belajar meski sudah menikah 50 tahun,” tutur Pak Wid. “Suamiku adalah idolaku …. Dia adalah bapakku, suamiku, teman berantem,” imbuh Bu Wid sambil tersenyum. Mereka terus berjuang untuk memegang teguh komitmen dan janji suci perkawinan mereka.

Bu Wid juga mengungkapkan, “Resep mengapa bisa tetap bertahan hingga 50 tahun perkawinan adalah saling percaya, ingat janji di depan altar. Ini sekarang kami seperti menjadi pengantin baru lagi. Ini mau honeymoon lagi.”

Salah satu kutipan dalam Kitab Suci yang turut menguatkan Pak Wid dan Bu Wid dalam mengarungi hidup perkawinan mereka ialah “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kolose 3:14).

Maria Pertiwi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini