Calon Imam, Teladan Kaum Muda

452
Beato Pius Luigi Campidelli.
[passionisten.de]

HIDUPKATOLIK.com – Doa dan kerja, rutinitas hariannya. Sayang, TBC mengubur impiannya menjadi imam. Wafat usia muda, keutamaan kristiani dan teladan hidupnya layak menjadi model kaum muda saat ini.

Keutamaan kristiani dan keteladanan hidup yang ia hayati merupakan alasan Takhta Suci menggelarinya beato pada 17 November 1985. Dalam World Youth Day pertama di Roma, pada Maret 1986, Bapa Suci Yohanes Paulus II menyebutkan Luigi Campidelli sebagai teladan hidup bagi orang muda. Bapa Suci juga menyatakan, meskipun kehidupan Beato Luigi amatlah biasa, kekayaan rohaninya begitu dalam dan patut untuk terus digali oleh kaum muda masa kini.

Pius Luigi Campidelli menjawab “ya” bagi kehendak Allah dalam hidupnya. Ia berusaha mewartakan Kabar Baik dalam praktik hidup harian. Wajah dan semangatnya memancarkan harapan dan kegembiraan dalam hidup. Ia sangat menghargai Gereja, tanah air, dan masyarakat dimanapun berpijak.

Tekun Bekerja
Keluarga Campidelli tergolong sebagai petani miskin. Orangtuanya, Giuseppe dan Filomena Campidelli tinggal di Trebbio, Keuskupan Rimini, Italia Tengah. Pasangan suami istri ini dikaruniai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Namun, salah satu putri mereka meninggal saat masih bayi. Sementara Luigi adalah anak keempat, yang lahir pada 29 April 1868.

Meskipun kondisi ekonomi keluarga Campidelli sangat terbatas, mereka termasuk keluarga Katolik yang saleh. Sejak kecil, Luigi dan saudara-saudarinya sudah dibekali nilai-nilai keutamaan kristiani dengan baik. Mereka mengawali berbagai kegiatan dengan doa. Saban hari, mereka meluangkan waktu untuk berdoa Rosario bersama. Setiap hari Minggu, Giuseppe bersama keluarganya berjalan kaki kegereja untuk ikut Ekaristi.

Pada Agustus 1874, sang ayah mengalami demam tifoid. Penyakit itu akhirnya merenggut nyawanya. Kematian Giuseppe memaksa Filomena untuk membesarkan lima anak seorang diri. Beruntung, saudara kandung suaminya, Michael membantu mereka dengan mengolah lahan pertanian. Dari hasil pertanian itu, Filomena dan anak-anaknya bisa menyambung hidup.

Kala beranjak dewasa, Luigi melanjutkan pekerjaan pamannya. Setiap hari ia bersimbah peluh mengolah lahan peninggalan sang ayah. Gigino –sapaannya– tak mengeluh. Saat anak-anak seusianya asyik bermain, ia justru bekerja membanting tulang. Suatu hari, ia sakit karena kelelahan. Namun, penyakit itu tak sedikitpun menyurutkan kobaran semangatnya. Setelah sembuh, ia tak lagi mengolah pertanian, tetapi menggembalakan ternak, membuat keju dan anggur.

Gigino menemukan nilai-nilai kristiani dari keluarga, masyarakat, dan sekolah. Selain itu, ia pun menumbuhkan kesadaran moral dan intelektual. Ia bukanlah anak yang memiliki bakat alam. Ketekunan dan ketaatanlah yang memampukannya meraih cita-cita. Karena kualitas kepribadiannya, Gigino kerap dipercaya sebagai ketua kelas.

Pergaulan dengan teman sebaya membuatnya mengerti tentang hal baik dan buruk. Interaksinya dengan masyarakat dan lingkungan sekitar mengajarinya mengenal arti kemiskinan serta berbagai persoalan pelik yang mendera sesama. Pesan sang ibu selalu terngiang di dalam telinganya. Filomena berharap, Gigino kelak mampu membantu sesama, terutama yang berkekurangan.

Pada usia 10 tahun, Gigino menerima Komuni Pertama. Peristiwa ini memecut semangatnya untuk terlibat pelayanan dalam Gereja. Ia pun ikut menjadi misdinar. Setiap hari sebelum memulai aktivitas, ia bergegas ke gereja untuk mengikuti Misa dan melayani imam.

Gigino sudah mempraktikkan nilai-nilai Injili kendati usianya masih belia. Kala itu, ketika teman-teman sebayanya memiliki kebiasaan berbohong dan berkelahi, ia justru menjadi pribadi yang jujur, cinta damai, dan mampu menjadi teladan di antara mereka.

Tak diduga, Gigino pun sudah memainkan peran sebagai katekis bagi teman-teman sebayanya. Bahkan, ia sering berdiskusi dengan teman-temannya mengenai ketegangan antardaerah. Hal ini yang membuatnya sangat mencintai daerahnya. Oleh sebab itu, dia acap menyuarakan persatuan dan perdamaian, serta mendesak Gereja untuk turun tangan menyelesaikan konflik yang terjadi di tengah umatnya.

Buah Perjumpaan
Suatu hari, anggota tarekat Pasionis (Congregatio Passionis Iesu Christi, CP) berkunjung ke Poggio Berni, Rimini. Keluarga Campidelli bersama umat ikut ambil bagian dalam hajatan akbar itu. Mereka menghadiri Misa yang dipersembahkan oleh para imam CP. Perayaan dibuat secara konselebrasi. Usai Ekaristi dilanjutkan dengan sharing seputar karya dan pola hidup CP. Sharingpara Pasionis ini membuat Gigino tertarik. Dalam hati, ia berniat untuk bergabung dengan tarekat itu.

Gayung bersambut. Cita-cita Gigino mendapat restu dari sang ibu. Selang beberapa hari, Gigino bersama ibunya pergi ke Biara CP. Mereka disambut dengan ramah oleh anggota komunitas CP. Sayang, karena usianya masih 12 tahun, pimpinan biara meminta Gigino untuk melanjutkan studinya dulu. Begitu studinya rampung, ia bisa datang kembali dan bergabung dengan CP.

Tak lama setelah lulus, Gigino mendapat surat dari pimpinan CP. Surat tersebut merupakan undangan agar ia masuk Novisiat Pasionis. Pada 27 Mei 1883, ia mengenakan busana religius CP untuk pertama kalinya. Ia lalu mengubah namanya menjadi Pius Liugi Campidelli dari St Aloysius Gonzaga.

Kehidupan barunya sebagai anggota CP tidak mudah. Gigino harus bangun tidur pukul 02.00 dini hari untuk melakukan ibadat di kapel; lalu dilanjutkan doa batin. Setelah istirahat sebentar, pada pukul 06.00, komunitas CP berdoa lagi dan ditutup dengan Ekaristi. Lima kali sehari ada nyanyian puji-pujian kepada Tuhan, ditambah dua jam meditasi. Selain olah rohani, ia juga diajari mengenal spiritualitas dan kaul-kaul kebiaraan.

Di biara, Gigino tetap harus bekerja di taman, kebun, dan urusan rumah tangga biara. Semua dijalaninya dalam kesunyian, disertai matiraga. Fr Pius menjalani semua aktivitas hariannya dengan kesungguhan hati. Di antara teman biara, ia dikenal punya devosi mendalam kepada Hati KudusYesus, Yesus Tersalib, dan Bunda Maria. Keutamaan hidup rohaninya begitu terpatri dalam hati banyak orang.

Meski demikian, Fr Pius belum diizinkan mengikrarkan kaul kebiaraan karena usianya masih terlalu muda. Namun, seluruh anggota komunitas CP di Soriano mengizinkan Pius menempuh studi filsafat dan teologi bersama teman-temannya yang telah mengikrarkan kaul.

Fr Pius baru diperkenankan mengikrarkan kaul pada 30 April 1884. Dengan perayaan sederhana yang dihadiri anggota komunitas CP, ibu, saudara-saudari, dan teman- temannya, ia mengikrarkan kaul kekal sebagai anggota CP, dan melanjutkan formasi sebagai calon imam.

Pada 17 Desember 1887, Gigino bersama para frater Diosesan Rimini ditahbiskan menjadi diakon di Katedral St Colomba Rimini. Sayang, penyakit TBC mengubur harapannya untuk bisa ditahbiskan menjadi imam. Beberapa bulan sebelum di tahbiskan, Pius wafat.

Tetap Bahagia
Sebelum kematiannya, ibu dan saudara-saudarinya membesuknya. Dibantu bebe rapa rekan sekomunitas, Diakon Pius menemui keluarganya. Tubuhnya kurus dan kerap sulit bernafas. Namun, ia tetap memancarkan senyum kebahagiaan bagi keluarga. Sebelum berpisah, ia memeluk sang bunda dan berkata: “Teguhkanlah hatimu, Mama, kita akan berjumpa lagi di surga.”

Pada 2 November 1889, Pius hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Sambil memegangi salib kecil di tangan, ia menyerahkan hidupnya bagi Gereja, Bapa Su ci, tarekat, pertobatan para pendosa, dan tanah airnya. Saat mencoba bangkit dari tempat tidur, ia berseru dengan mata terkatup perlahan-lahan, “Lihat, Bunda Maria datang!” Ia pun wafat pada usia 21 tahun. Gereja memperingati Beato Pius dari St Aloysius Gonzaga ini tiap 2 November.

Fransiskus Nong Budi CP/Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini