Jawaban Doa di Tengah ABK

655
Mita mengajar artikulasi untuk seorang siswi.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Ketika teman-teman seusianya membidik perusahaan prestisius, dia justru mencurahkan tenaga dan perhatian bagi penyandang disabilitas.

Mulai pertengahan tahun lalu, Anastasia Renanti Mitasari bergabung di Lembaga Pendidikan Anak Tuna Rungu (LPATR) Dena Upakara Wonosobo, Jawa Tengah. Mita, sapaannya, menjadi salah satu pengajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sana. Padahal, alumna Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini berencana melamar kerja di perusahaan atau bank.

Bagi seorang fresh graduate seperti Mita, wajar bila ia memilih perusahaan prestisius. Selain gaji yang menggiurkan, rekam jejaknya di perusahaan terkenal dapat menjadi batu pijakan untuk mengembangkan karier pada masa mendatang. Namun, manusia boleh merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan. Mita justru masuk ke sebuah institusi yang tak banyak diminati seorang sarjana baru.

Jawaban Doa
LPATR Dena Upakara sebetulnya bukanlah dunia baru bagi Mita. Ibunya pernah menjadi staf pengajar di sana. Bahkan, sang ibu pulalah yang membimbing dan mendorong Mita untuk melamar ke lembaga pendidikan yang dikelola para suster dari Tarekat Putri Maria Yosef (PMY).

Tak hanya sang ibu, ayah Mita ternyata alumnus LPATR Don Bosco semula menjadi satu dengan LPATR Dena Upakara. Lembaga itu dikelola para Bruder FIC). Sang ayah juga penyandang tunarungu, dan hingga kini mengabdi di almamaternya. Dengan latar pendidikan, dan juga peran orangtua, Mita mudah masuk ke LPATR Dena Upakara.

Mita mengakui, pada bulan pertama di sana, ia sempat stres. Jauh sebelumnya, di tempat ini, Mita melakukan penelitian untuk skripsinya. Namun demikian, Mita butuh waktu untuk menyesuaikan diri, terutama menerima tanggung jawab dan profesi sebagai guru untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Awal masuk, Mita mendapat tanggung jawab sebagai guru bantu. Ia mengajar bagi para siswi P2 atau setara taman kanak-kanak. Sebagai anak semata wayang, yang tak pernah merasakan kehadiran orang lain dalam rumah selain orangtua, Mita merasa terganggu dengan kehadiran dan kehebohan anak-anak.

Seiring waktu, Mita mulai menyadari dan merasakan, ternyata anak-anaklah yang pertama-tama menerima kehadirannya. Mereka juga amat merasa nyaman berada bersama Mita. Karya dan rahmat Tuhan, ujar Mita, justru bekerja melalui kehadiran dan perhatian mereka untuk dirinya. “Mereka anak-anak yang tulus. Dari situ saya bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang hanya basa-basi,” katanya.

Mita pun meyakini, mengajar anak-anak berkebutuhan khusus merupakan jawaban Tuhan atas doa-doanya selama kuliah. Dia pernah berdoa, bila lulus kuliah nanti, bisa bekerja di tempat yang bermanfaat bagi orang lain. Kini, ia sungguh-sungguh membuktikan permohonan yang pernah dia panjatkan kepada Tuhan. Tuhan, lanjutnya, juga mengajarkan dirinya untuk bersyukur. Bahwa dia dipakai sebagai alat-Nya untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khusus. “Tuhan menempatkan saya di tempat yang memang saya butuhkan, bukan di tempat yang saya inginkan,” tandasnya.

Belajar Bersyukur
Mita tak menepis, dirinya sempat iri melihat teman-teman kuliahnya ngantor di perusahaan besar, dan mendapat fasilitas aduhai. Tapi keinginan itu perlahan pupus. Mita mantap memilih jalan panggilan sebagai guru anak-anak berkebutuhan khusus. “Lebih membahagiakan ketimbang duduk di belakang meja dan berhadapan dengan komputer.”

Mita juga banyak menimba makna hidup selama berada di LPATR Dena Upakara. Bila selama ini dia tumbuh menjadi anak manja, yang keinginannya selalu dituruti, tapi kini lewat anak-anak didiknya, Mita disadarkan untuk selalu mensyukuri kehidupan, meski dalam keterbatasan. Kebahagiaan itu, katanya, ada di dalam hati, bukan datang dari luar diri. “Berbagi ilmu kepada mereka membuat diri saya merasa berharga,” ujarnya.

Tak gampang menjadi guru bagi ABK. Bayangkan, berhadapan dengan siswa umum saja kadang mumet, apalagi setiap hari harus bertemu dengan anak-anak berkebutuhan khusus, yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus, pasti lebih ruwet. Ditambah lagi jika ada anak-anaknya rewel. Butuh energi dan kesabaran ekstra, katanya.

Mita punya cara untuk menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Dia memberikan kue atau permen ketika mereka sulit teratasi. Mita menyediakan sendiri kue atau permen. Ibunya juga mendukung kebutuhan itu. Sang ibu juga memuji putrinya sebab banyak siswi dekat dengannya. Beda dengan dirinya dulu, mungkin karena galak, sehingga jarang ada siswi yang berani mendekatinya.

Mita membantah anggapan umum bahwa para penyandang tunarungu adalah orang-orang yang memiliki ego tinggi. “ABK sama dengan manusia lain yang menganggap dirinya sempurna. Manusia yang mengaku sempurna saja tidak semua sabar. Bahkan ada juga yang keras kepala,” tegas dara kelahiran Yogyakarta, 27 April 1994 itu.

Di samping berhadapan dengan anak-anak tunarungu, Mita juga terbiasa berkomunikasi dengan ayahnya terbatas dalam pendengaran. Mita tak kesulitan, sebab ayahnya terbiasa menggunakan bahasa oral dan bukan isyarat.

Mita kerap mendapat pertanyaan dari teman-teman seangkatannya. Sebagai lulusan dengan peringkat cum laude, apakah dirinya tak ingin pindah kerja ke tempat lain? Tak hanya itu, dirinya juga kerap mendapat tawaran menjadi karyawan perusahaan besar dan memiliki jaringan luas. Hingga kini Mita menolak. Dia merasa, di LPATR Dena Upakara adalah ladang panggilannya.

Terus Berkarya
Kini, Mita menjadi pengajar artikulasi. Kepercayaan itu merupakan suatu prestasi dan kebanggaan baginya. Sebab, mayoritas guru artikulasi adalah mereka yang telah punya jam terbang tinggi. Sementara dirinya baru satu tahun di tempat itu. Dialah guru artikulasi termuda. Menurut Kepala Sekolah LPTAR Dena Upakara, Antonius, sebagai lulusan Fakultas Psikologi, Mita dinilai cocok menjadi pengajar artikulasi, walaupun usianya masih muda dan belum lama mengajar.

Ada tantangan baru yang dihadapi olehnya menjadi pengajar artikulasi. Mita harus berhadapan dengan siswa-siswi “super”. Mereka adalah anak-anak yang terlahir dengan organ bicara terganggu, misal mulut berputar-putar ketika berbicara, atau bentuk rahang yang tak sempurna, ada juga siswa low vision. “Semua saya serahkan kepada Yesus. Yang pasti saya ingin tetap berkarya di sini,” pungkas umat Paroki St Paulus Wonosobo, Keuskupan Purwokerto ini.

Anna Marie Happy

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini