HIDUPKATOLIK.com – Teladan St Fransiskus Asisi betul-betul terimplementasi dalam diri Mgr Adrianus Sunarko OFM. Tanah tambang akan menjadi ladang penggembalaannya yang baru.
Sebelum hamil anak kedua, Maria Tukinah bermimpi mendapatkan burung angsa. Namun, di leher angsa itu terdapat luka. Dalam mimpi itu, Maria memegang angsa itu dan memasukkan ke dalam kandang. Siapa sangka, anak yang dikandung itu lalu terpanggil menjadi seorang imam. Anak itu pun lahir dan dinamainya Adrianus Sunarko.
Kesadaran akan makna mimpi yang pernah dialami Maria, terungkap sekian tahun kemudian. Angsa yang dimasukkan ke kandang dalam mimpi itu menjadi nyata ketika Narko, panggilan akrab Adrianus Sunarko, akhirnya bergabung dalam Ordo Fratrum Minorum (OFM). “Pas masuk OFM, baru saya berpikir, oh pantas ternyata masuk di biara. OFM kan hidupnya di biara,” tutur Maria.
Benih Panggilan
Narko kecil tidak asing dengan kehidupan menggereja. Tempat tinggalnya tak jauh dari gereja. Ia pun aktif menjadi misdinar. Sejak kecil, orangtuanya sudah membiasakan buah hati mereka mengikuti Misa pagi. Demikian juga dengan Narko. Imam kelahiran Merauke, Papua, 7 Desember 1966 ini, sejak kecil sudah terbiasa mengikuti Misa pagi.
Ketertarikan Narko dalam pelayanan, sudah terlihat sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pernah suatu kali ketika bertugas di gereja, koster yang biasa mempersiapkan anggur Misa tidak hadir. Lalu Narko berinisiatif mempersiapkan. Dengan girang, ia kembali ke rumah dan bercerita dengan bangga kepada sang ibu bahwa ia menjadi koster.
Maria juga bercerita, Narko kecil dan kakaknya yang kini menjadi Vikaris Jenderal Keuskupan Ketapang, Romo Laurentius Sutadi, sering mendapat tugas menggembalakan ternak. Sebanyak 113 ekor kambing menjadi tanggung jawab mereka setiap hari. Maria menduga, jangan-jangan ini menjadi tanda bahwa Sutadi dan Narko kelak akan menjadi penggembala umat.
Usai menyelesaikan sekolah dasar di Merauke, Narko hijrah ke tanah kelahiran ibunya di Sedayu, DI Yogyakarta. Maria dan suaminya, Ignatius Sumedi Sutodiwiryo yang berprofesi sebagai guru, dipindahkan ke tempat tugas yang baru. Boleh jadi, ini adalah rahmat, mengingat keduanya juga memimpikan pendidikan yang baik bagi semua buah hatinya. “Pendidikan di Merauke masih jauh kualitasnya dibanding Yogyakarta,” kenang Maria.
Di sedayu, Narko lalu masuk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pangudi Luhur, Sedayu, yang lokasinya tak jauh dari rumah. Awal masuk sekolah, ia mengalami kesulitan berkomunikasi, terutama dengan bahasa Jawa. Meski orangtuanya berasal dari Jawa, hanya sedikit kosa kata bahasa Jawa yang dipahami Narko. Sejak kecil, Narko tinggal di Merauke. Kegiatan belajar pun terganggu dan berpengaruh terhadap nilai-nilainya yang di bawah rata-rata. “Dulu itu, nilai selalu dibacakan oleh guru di depan kelas. Jadi semua tahu siapa yang mendapat nilai jelek atau bagus. Nah, beliau (Mgr Sunarko-Red) itu nilainya jelek, kecuali pelajaran bahasa Inggris,” kisah Redemtus Hertanto, teman SMP Mgr Sunarko.
Namun Hertanto mengungkapkan, pengalaman itu seakan menjadi cambuk bagi Narko. Dengan ketekunan dan kerajinan, ia meminjam catatan temannya untuk mengejar ketertinggalan. Alhasil, pada tugas berikut, nilai yang didapat Narko melejit di atas rata-rata. “Nilainya serba seratus. Memang Mgr Sunarko itu pintar. Namun, ia tidak pernah sombong.” Sosok cerdas inilah yang masih diingat Hertanto. Bahkan, kisah Hertanto, Narko pernah mewakili sekolah untuk lomba cerdas tangkas di TVRI Yogyakarta. “Apalagi soal-soal bahasa Inggris, dilahap habis semua,” kenang Hertanto.
Masuk OFM
Narko yang cerdas, menghadapi sebuah pilihan yang sulit setelah lulus SMP. Ketika itu, Sutadi kakaknya, sudah terlebih dahulu masuk Seminari Menengah St Petrus Kanisius Mertoyudan, Jawa Tengah. Benih panggilan pun rasanya bersemi di hati Narko. “Ada faktor ikut-ikutan juga lah. Kelihatannya menarik sekolah di Seminari,” tuturnya. Narko pun menyusul sang kakak.
Lulus Seminari Narko memilih menambatkan panggilan ke OFM. “Bersama empat teman, saya memutuskan masuk OFM. Meskipun saya belum pernah bertemu romo atau biarawan OFM. Lebih kenal dari baca-baca buku, tertarik dengan semangat St Fransiskus Asisi,” ungkapnya.
Frater Narko mengawali jalan panggilan dalam Ordo Saudara Dina dengan menjalani masa Postulat di Yogyakarta selama satu tahun, dilanjutkan masa Novisiat satu tahun. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta selama empat tahun. Setelah menamatkan studi filsafat, Frater Narko menjalani praktik pastoral selama satu tahun di Flores. Selanjutnya, ia menempuh studi teologi di Fakultas Teologi Wedhabhakti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sebagai puncak kesetiaannya kepada ordo, Frater Narko mengikrarkan kaul kekal sebagai seorang Fransiskan pada 15 Agustus 1994. Setahun kemudian ia ditahbiskan pada 8 Juli 1995.
Konsistensi Romo Sunarko dalam ilmu teologi kemudian membawanya terbang ke Jerman pada 1996. Di sana, ia nyantrik di Albert-Ludwig Universitat Friburg hingga pulang ke Tanah Air dengan menggondol gelar Doktor Teologi pada 2002.
Hari-hari setelah itu, Romo Narko mengabdikan dirinya sebagai dosen Teologi di almamaternya STF Driyarkara. Tak hanya itu, Romo Narko dipercaya menjabat Minister Provinsi OFM Indonesia selama delapan tahun atau dua periode berturut-turut sejak 2010 sampai saat ia dipilih menjadi Uskup Pangkalpinang. Ia juga menjadi Ketua Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Indonesia sejak 2014.
Semasa menjadi Minister Provinsi OFM, Romo Narko yang selalu meminta saudaranya sesama Fransiskan dan meminta mereka pergi ke tempat tugas baru. Kini, ia sendiri harus taat untuk berkarya di Keuskupan Pangkalpinang. “Dulu saya yang menugaskan saudara-saudara untuk bertugas di tempat baru. Meski kadang berat, namun mereka diminta agar taat. Sekarang, saya yang harus menunjukkan ketaatan itu,” ujarnya.
“Si Angsa dari Merauke” dan penggembala kambing itu, kini menjadi gembala utama. “Ini tugas baru dan di tempat baru yang sama sekali saya tidak tahu. Saya harus banyak belajar,” ujar Mgr Sunarko.
Marchella A. Vieba