Sang Mulut Emas, Teladan Gereja Katolik

921
Teladan Hidup: Relikui St Yohanes Krisostomus dipindahkan dari Kapel Martir Basiliscus, Comana ke Gereja Para Rasul Kudus, Konstatinopel.
[en.wikipedia.org]

HIDUPKATOLIK.com – Ia dikenal sebagai pengkhotbah ulung. Sang Mulut Emas ini gigih mengkritik pola hidup asusila para imam dan relasi intim gembala umat dengan kaisar. Uskup Konstatinopel ini pun diasingkan dan wafat di pembuangan.

Santo Yohanes Krisostomus adalah Bapa Gereja dan orator ulung. Berkat kecerdasan serta refleksi yang mendalam, ia menghasilkan banyak karya yang sangat mengagumkan, salah satunya Treatise Concerning The Christian Priesthood (Risalah Imamat Kristiani). Dalam karyanya itu, ia menguraikan ten tang hidup dan karya imam.

Tulisan-tulisan Uskup Konstatinopel itu juga menjadi referensi para pengkhotbah dan orator modern. Tak jarang mereka sering mengutip karya sang uskup untuk memberi rasa dan menguatkan pesan. Selain itu, berbagai karyanya dalam bentuk homili punya andil kuat dalam membela iman kristiani.

Berkat teladan hidupnya yang saleh, khotbah dan karyanya yang berbobot, Gereja menjulukinya Sang Mulut Emas, dalam Bahasa Yunani: Chrysostomos. Gereja Orthodoks dan Katolik Roma mengakuinya sebagai Bapa dan Doktor Gereja, serta pelindung para pengkhotbah.

Murid Cerdas
Keberhasilan Yohanes sebagai pengkhotbah dan orator ulung tidak terlepas dari peranan keluarga–terutama sang ibu, Anthusa, teladan iman bagi anaknya. Yohanes lahir dan tumbuh dalam keluarga bangsawan. Ayahnya, Secundus, merupakan perwira terkenal Kerajaan Siria yang wafat kala Yohanes masih belia. Sejak kematian ayahnya, tanggung jawab keluarga dipikul oleh ibunya.

Ketika Yohanes beranjak dewasa, Athusa mengirim Yohanes kesekolah terbaik di Antiokhia. Yohanes dididik oleh Libanius. Kepadanya, sang guru memperkenal kan pengetahuan klasik Yunani dan seni retorika. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Libanius berharap muridnya itu bisa menggantikan perannya.

Pengaruh kuat pemikiran pagan pada zaman itu mendorong Anthusa dengan sungguh membekali Yohanes, tak hanya bekal intelektual tapi juga penghayatan hidup. Anthusa senantiasa memberikan nasihat Injil kepadanya. Meski sudah hidup dalam tradisi kesalehan kristiani sejak kecil, Yohanes baru dipermandikan pada usia 20 tahun.

Pengkhotbah Ulung
Usai mengikuti pendidikan di Antiokhia, Yohanes menjadi orator. Ia bekerja sebagai pengacara. Profesi itu memberikan jaminan masa depan cemerlang. Pidato dan pembelaan Yohanes di muka umum membuat banyak orang berdecak kagum.

Libanius pun angkat jempol atas kepiawaian si murid. Meski demikian, Yohanes tidak merasa puas, karena praktik jual beli kasus masih marak di meja hijau. Baginya, praktik kotor itu berasal dari setan. Oleh karena itu, ia menjauh dari lingkungan pengadilan. Lantas, ia memutuskan menjadi biarawan. Sayang, bundanya keberatan.

Anthusa merasa tak mampu tinggal sendirian sepeninggal suaminya.

Yohanes adalah kekuatan serta penghiburan baginya. Yohanes urung niat. Ia menuruti keinginan bundanya, tidak menjadi biarawan selama bundanya masih hidup. Tetapi, pelan-pelan ia membiasakan hidup seperti biarawan. Yohanes kerap menjalani praktik asketis ketat.

Bersama beberapa teman, ia mendalami hidup membiara dan belajar teologi dalam bimbingan Diodorus dari Tarsus, pimpinan Sekolah Teologi Antiokhia. Ia juga pernah dibimbing Rahib Cartesius. Setelah itu, selama enam tahun, Yohanes menyendiri sebagai rahib di pegunungan Antiokhia. Sekembalinya ke kota, ia menerima tahbisan diakon dari tangan Patriakh Antiokhia, Mgr Meletius. Pada 386, Patriakh Flavian I dari Antiokhia menahbiskan Yohanes menjadi imam.

Sebagai imam muda, Yohanes ditugaskan mewartakan Injil di Antiokhia. Keahliannya berpidato ia manfaatkan untuk karya pewartaan. Khotbahnya menarik dan mendalam. Ia mengurai makna Kitab Suci dan mengaitkannya dengan kehidupan konkret.

Ketika terjadi pertikaian antara rakyat Antiokhia dengan Kaisar Teodosius Agung, Yohanes terpanggil untuk mendamaikan. Dalam satu seri khotbahnya yang berjudul Homilies on the Statues, Yohanes menghibur rakyat dan mengajak dua kekuatan untuk memperbaiki perbuatan buruk masing-masing. Khotbah ini meyakinkan banyak orang dari berbagai kalangan. Yohanes berkarya di Antiokhia selama sekitar 17 tahun. Dalam rentang waktu itu, ia menulis banyak khotbah dan ulasan Kitab Suci.

Penjaga Moral
Pada 397, Yohanes dipaksa menjadi Uskup Konstatinopel. Ia ditahbiskan menjadi uskup oleh Uskup Alexandria Mgr Theophilus, atas titah Kaisar Arkadius. Peran Yohanes sebagai pemimpin Gereja Konstatinopel tidak mudah. Satu sisi, ia mendapatkan pujian dari umat dan kaisar atas kepandaiannya berkhotbah. Tetapi pada sisi lain, kaisar membecinya karena tekadnya yang kuat untuk mereformasi cara hidup para imam.

Mgr Yohanes mengkritik relasi para imam dengan kaisar. Bagi pemimpin Gereja lokal, relasi kedua pihak tidak memberi keuntungan satu sama lain. Ia menyakini, relasi tersebut bahkan bisa menjadi skandal untuk para gembala umat. Sang uskup juga bersuara tentang pola hidup para imam dan biarawan yang mewah dan asusila. Dalam Sinode Efesus pada 401 ia memecat enam imam yang terlibat dalam praktik simoni (jual beli sakramen).

Mgr Yohanes mendapat perlawanan keras dari sejumlah kaisar, terutama Eudoxia yang kemudian mendapat dukungan dari Kaisar Teofilus serta para imam yang tidak setia dengan ajaran iman dan moral kristiani. Lewat Sinode Oak yang tak dihadiri Mgr Yohanes, mereka menuduh sang uskup telah merusak iman dan moralitas serta menghujat kaisar.

Kaisar Eudoxia lantas menyuruh pasukannya untuk mengasingkan Mgr Yohanes ke Hieron, Muara Pontus. Namun, sang uskup tak lama berada di pembuangan. Kaisar memulangkannya ke Antiokhia, karena khawatir rakyat akan marah. Meskipun setelah itu, Mgr Yohanes diasingkan lagi ke Cucusus, daerah pinggiran Cilicia dan Armenia.

Akhir Penderitaan
Cuaca buruk dan musim dingin membuat Mgr Yohanes terserang berbagai penyakit. Beruntung, Uskup Cucusus merawatnya hingga sembuh. Selama di sana, Mgr Yohanes menerima berbagai kunjungan dan surat dari teman-temannya. Mengetahui sang uskup kerap menjalin kontak dengan dunia luar, kaisar me merintahkan para prajurit untuk membuang Mgr Yohanes ke Arabissus dan Pityus.

Malang tak dapat ditolak. Kondisi raga Mgr Yohanes kian melemah akibat perlakuan keji Kaisar Eudoxia. Ia wafat dalam perjalanan pada 14 September 407. Jasadnya dimakamkan di Kapel Martir Basiliscus, Comana.

Tiga puluh tahun kemudian, pada 27 Januari 438, relikui Mgr Yohanes di semayamkan di Gereja Para Rasul Kudus, Konstatinopel. Gereja Katolik mengenang sang uskup setiap 13 September. Se Gereja Orthodoks memperingatinya setiap 13 November.

Manaek Martinus Sinaga OCarm

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini