HIDUPKATOLIK.com – Berprofesi sebagai tukang ojek, namun ia lebih dikenal sebagai “tukang mabuk” karena kesehariannya dilalui dengan mabuk-mabukan. Ia bertobat dan memperbaiki kesalahan dengan kesediaan untuk memerankan tokoh Yesus.
Menyongsong Paskah 2012, Orang Muda Katolik (OMK) Paroki St Thomas Morus, Maumere, Nusa Tenggara Timur membuat tablo Jalan Salib seperti tahun sebelumnya. Kala itu, OMK yang biasa berperan sebagai Yesus berhalangan padahal waktu pentas sebentar lagi. Tak ada OMK yang berani menawarkan diri menjadi Yesus.
Di tengah kebingungan itu, Yohanes Vianey Wora menawarkan diri untuk peran tersebut. Awalnya ia ditolak, OMK dan dewan paroki khawatir tidak ada umat yang hadir pada ibadat Jumat Agung. Di masa remaja, Yopi, sapaannya memang dikenal tukang mabuk dan pembuat onar. Alhasil pastor parokipun menjernihkan situasi ini, maka jadilah Yopi memerankan tokoh Yesus.
Dengan peran itu, Yopi berharap bisa melatih kesabaran dan belajar bertanggung jawab. Meskipun para algojo memukul, menendang, bahkan mengejeknya di luar skenario, ia berusaha bertahan dengan perannya.
“Ketika algojo memukul saya, kebanyakan mereka berteriak seperti mengejek. Teriakan mereka bukan berdasarkan naskah tapi mereka meneriaki sifat saya yang dulu. Ada yang berteriak, ‘Dasar tukang mabuk’, ‘Sudah bertobat kau? Pemabuk tidak pantas jadi Yesus …’,” kisah ayah tiga anak ini. Mendengar teriakan itu, Yopi berniat membuang salib yang dipanggul dan mengajak mereka berkelahi. Tapi ia mengurung kan niat itu.
Tukang Mabuk
Ketika remaja, sepanjang hari Yopi menghabiskan waktu dengan menenggak moke atau arak tradisional Flores. Tak jarang ia terkulai lemas di emperan toko, got, atau pinggir jalan dengan pakaian penuh bercak muntah dan berbau, muka dan matanya merah.
Ia kerap meneriaki orang yang lewat di dekatnya. “Kau lihat apa? Kau tidak senang saya mabuk?” teriak Yopi sambil mengepalkan tangan. Kebanyakan orang, terutama anak-anak merasa takut tatkala berpapasan dengannya.
Julukan “Yopi si tukang mabuk” pun melekat kepadanya meskipun waktu itu ia berprofesi sebagai tukang ojek. Masyarakat mengenalnya sebagai pembuat onar, yang tak segan memukul dan menyakiti siapapun. Ia sering meminta uang secara paksa kepada supir angkutan umum dan perempuan yang lewat di dekatnya.
“Kalau mata saya sudah merah, orang tidak akan mengganggu saya. Mereka tahu ‘otak saya lagi miring’…” kata kelahiran Maumere, 25 Februari 1974 ini. Setiap ada kekacauan, masyarakat sering menuding Yopi biang keroknya walau itu ulah orang lain.
Pembuktian Diri
Awalnya, Yopi tak peduli seperti apa anggapan masyarakat terhadap dirinya. Hingga suatu malam, pada 1997, saat akan pulang, dipersimpangan jalan menuju rumahnya, ia mendengar tangisan balita. Ibu anak itu mulai kesal karena sang anak terus menangis. Yopi kaget saat mendengar ibu itu mengancam anaknya, “Diam atau nanti ibu panggil Yopi, si pemabuk! Biar dia datang tangkap kamu!” Mendengar ancaman ibunya, anak itu tiba-tiba berhenti menangis.
Yopi terpukul, ia berpikir dialah satu-satunya orang Maumere yang tidak pernah berbuat baik. “Saya duduk sebentar karena tiba-tiba semua tulang sendi saya gementar. Badan saya kaku dan saya tak bisa berkata sepatah kata pun,” kenang Yopi.
Lalu ia melanjutkan perjalanan pulang. Di rumah, menjelang tidur, ibunya mengingatkan supaya Yopi jangan lupa berdoa.
“Malam itu saya pun berdoa: ‘Tuhan, kuatkan saya agar besok saya bisa mencari uang dengan halal’,” ujar nya. Pengalaman di persimpangan jalan begitu menyentak hati Yopi dan membuatnya ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Keesokan harinya, ia bekerja sebagai tukang ojek. Ia tidak mabuk-mabukan. Tetapi, masyarakat enggan untuk menggunakan jasa Yopi. Banyak calon penum pang takut disakiti kalau menumpang ojek Yopi.
“Sakitnya lagi, ketika tidak ada ojek lain, hanya saya sendiri, orang enggan untuk diantar. Mereka akan menunggu ojek lain yang lewat. Mereka rela menunggu berjam-jam … Saat saya menawari ojek, orang berkomentar lebih baik jalan kaki ketimbang diantar pemabuk,” kisah Yopi.
Anak-anak sekolahpun tidak mau Yopi menjadi tukang ojek langganan mereka. Di Maumere, ada kebiasaan anak sekolah mempunyai tukang ojek langganan yang mengantar mereka ke sekolah. Menghadapi penolakan demi penolakan, Yopi stres. Ia ingin kembali ke masa lalunya. Ia merasa sulit untuk bertobat dan berbuat baik. “Lebih baik saya menjadi pemabuk, kemana-mana tidak ada yang melarang. Tidak perlu kerja. Duduk dan uang datang dengan sendirinya.”
Merasa tertekan dengan keadaan, Yopi memutuskan untuk pergi dari tanah kela hirannya, Maka pergilah dia ke Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores. Di sana, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Menengah (STM) Boawae. Kebiasaan mabuk-mabukan ia tinggalkan. Ia berjuang untuk bisa menyelesaikan pendidikan. Tahun 1999, ia lulus STM.
Kobar semangat untuk melanjutkan pen didikan tinggi meletup dalam dirinya. “Motivasi saya masuk perguruan tinggi mau membuktikan bahwa pemabuk bisa berubah,” tandas laki-laki yang menempuh studi Ahli Madya (D3) di Politeknik Pertanian (Politani), Kupang ini. Sembari kuliah, Yopi menjalani pekerjaan sebagai tukang ojek untuk menyambung hidup. Orang tuanya jarang mengirim uang.
Menjadi Lebih Baik
Tahun 2002, ia lulus kuliah dan bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berfokus dalam usaha tani rakyat selama satu tahu. Lalu Yopi kembali ke kampung halamannya dengan harapan ingin mengubah image negatif dirinya. Namun, ia tak kunjung mendapat pekerjaan. Ia kembali menjadi tukang ojek.
Saat itu, orang masih takut kepada Yopi. Orang juga tidak percaya Yopi telah menyelesaikan kuliah. Malahan mereka berpikir Yopi membeli atau mencuri ijazah. Ia menerima semua itu dengan lapang dada. Ia tetap berusaha untuk mencari langganan ojek.
Usahanya perlahan membuahkan hasil. Ia mendapatkan dua pelanggan anak SD. Setiap kali mengantar, ia memastikan anak-anak ini sudah masuk kelas, baru ia pergi. Ia juga membantu anak-anak untuk belajar dan saat mereka kesulitan me ngerjakan pekerjaan rumah. Bahkan, ia pernah diminta oleh orangtua anak-anak itu untuk mengambilkan raport mereka. “Saya dianggap sebagai wali anak-anak.”
Perlahan, image negatif tentang Yopi memudar dari benak masyarakat di kampung halaman Yopi. Ia pun mulai terlibat di kegiatan OMK Paroki St Thomas Morus. Disana, ia bertemu dengan pujaan hati, Karti Agustina. Setahun merajut kasih, pada 2004 mereka menikah. Walaupun sudah menikah, Yopi masih mengikuti kegiatan OMK di parokinya.
Sejak Jalan Salib Paskah 2012- 2015, Yopi mendapat kepercayaan untuk memerankan tokoh Yesus dalam tablo. Hal itu menjadi salah satu pengalaman yang bermakna dalam hidup Yopi. Biarpun ia pernah mengalami ejekan, tendangan, pukulan dari algojo yang tidak sesuai dengan skenario, ia me nerimanya.
Para algojo itu adalah OMK yang pernah diperlakukan kasar oleh Yopi. Mereka mengambil kesempatan dalam tablo untuk membalas perbuatan Yopi dahulu. Akibatnya badan Yopi lebam, bahkan tulang rusuk kirinya retak dan membuat ia susah bernapas selama dua bulan. Yopi menerima perlakuan itu dengan lapang dada. “Yesus lebih sakit daripada saya. Kalau cuma sakit seperti ini, tidak ada apa-apanya,” tandasnya.
“Saya percaya Tuhan itu menjanjikan keselamatan pertama-tama kepada seorang penjahat. Ini seperti dalam Lukas 23:43, ‘… Hari ini juga engkau akan bersama saya dalam Firdaus abadi’.” Yopi bertobat karena janji Tuhan itu.
Bagi Yopi, memerankan tokoh Yesus menjadi salah satu bentuk silih atas perbuatan tidak baik yang ia perbuat. Ia ingin memperbaiki kesalahan dan kejahatannya dengan kebaikan. “Saya membiarkan mereka melampiaskan emosi dengan memukul saya. Mungkin dengan begitu bisa menghapus sedikit kesalahan saya dulu,” demikian Yopi bercerita.
Yustinus H. Wuarmanuk