HIDUPKATOLIK.com – Baginya, politik adalah jalan yang ditunjukkan Tuhan. Di dalamnya ada semangat, ada gairah ada perasaan bekerja dengan hati. “Ketika ia tidak berkontribusi kepada sistem politik, maka ia juga menanggung dosa dari sistem politik itu sendiri.”
Tujuh tahun silam, tanpa sengaja Paulus Julius Yunarto Wijaya bertemu dengan Bima Arya Sugiarto. Kala itu, pria yang kerap di sapa Toto ini sedang menempuh studi magister manajemen jurusan marketing di Universitas Indonesia. Sementara, Bima baru saja kembali ke tanah air setelah menempuh studi doktor ilmu politik di Australian National University Canberra, Australia. Bima adalah dosen Toto di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Parahyangan Bandung. Bima menjadi sosok dosen favorit bagi Toto. Sebaliknya, Toto adalah mahasiswa kesayangan Bima.
Dalam pertemuan tak terencana itu, Bima memberi tawaran kepada Toto. Saat itu, Bima sedang membangun sebuah lembaga riset dan konsultan politik. Bima ingin agar Toto bergabung dengan lembaga tersebut. Toto tak langsung mengiyakan lantaran, pada saat bersamaan, Toto sedang membangun usaha mandiri dan bekerja di sebuah bank.
Dalam lubuk hati, Toto tertarik bergabung dengan lembaga yang sedang dibangun Bima. Namun, ia tak mau kehilangan penghasilannya. Jika bergabung bersama Bima Arya, ia pasti harus merintis karir dari nol. Kesadaran ini membuat Toto masuk dalam dilema.
Mengucap kaul
Kala kanak-kanak, sang ayah membiasakan Toto membaca koran setiap hari. Dari bacaan itu, Toto berkenalan dengan dunia sosial, ekonomi, dan juga politik. “Papa saya mantan aktivis mahasiswa Atma Jaya,” kisah pria kelahiran Jakarta, 34 tahun silam.
Darah aktivis dari sang ayah rupanya menitis dalam tubuh Toto. Ketika belajar di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Toto aktif terlibat dalam kegiatan mahasiswa. Ia bergabung dalam Aliansi Demokrasi untuk Rakyat (Aldera) dan Unit Studi Ilmu Kemasyarakatan (USIK). “Kerjanya advokasi masyarakat, pendampingan, bikin kelompok diskusi, bikin sekolah malam, bahas buku-buku filsafat dan teori sosial. Di sini saya mendapatkan banyak ilmu.”
Gairah untuk memasuki dunia politik bergejolak dalam darah Toto. Setelah berdiskusi dengan keluarga, segera ia menghubungi Bima, lalu mengiyakan tawaran bergabung membangun lembaga riset dan konsultan politik, Charta Politika. “Saya meyakini, ini jalan Tuhan. Ada passion di sana, ada gairah, ada panggilan, ada semangat, ada perasaan bekerja dengan menggunakan hati, dan tentu ada dukungan dari keluarga,” ujar umat Paroki St Bonaventura Pulomas, Jakarta Timur ini.
Berkarya di lembaga riset dan konsultan politik, membuat Toto kerap ber singgungan dengan partai politik. Namun sejak awal, ia berkomitmen tidak akan masuk dalam dunia politik praktis. “Bahkan, saya sudah mengikrar kaul di depan orangtua dan keluarga bahwa saya tidak akan masuk partai politik, meski ada beberapa partai yang menawari,” tegas ayah dua anak ini. Menjadi pengamat politik menurut Toto, memiliki beban untuk berkontribusi bagi perbaikan sistem politik. “Ketika ia tidak berkontribusi kepada sistem politik, maka ia juga menanggung dosa dari sistem politik itu sendiri.”
Syarat pengamat
Toto memulai karir di Charta Politika sebagai seorang analis politik. Tujuh tahun berkarya di tempat ini, kini ia menjabat sebagai direktur eksekutif. Selain melakukan riset dan analisa politik, Charta Politika memiliki program pendidikan, pelatihan, serta pendampingan bagi anggota legislatif. Program itu bertujuan melatih anggota legislatif agar mereka memahami kedudukan dan fungsinya.
Wajah Toto kerap menghiasi layar kaca televisi. Ia sering diundang dalam diskusi-diskusi politik. Tahun lalu, ketika Pemilu dan Pilpres, hampir tiap hari wajah Toto muncul di televisi. Pandangan dan analisanya kerap menjadi rujukan untuk menentukan pilihan politik.
Ia menyadari, menjadi pengamat dan konsultan politik memang berimplikasi kepada popularitas dan membuka jejaring politik. Sebenarnya, modal ini cukup untuk terjun kepolitik praktis. Tapi, Toto menolak. “Saya sudah mengucap kaul tidak masuk partai politik!” jawabnya lugas.
Bagi Toto, menjadi seorang pengamat politik mensyaratkan kemandirian secara finansial. Maka, selain berkarya melalui Charta Politika, Toto mengelola sebuah lembaga konsultan public relations. “Saya tidak mau menjadi pengamat politik yang bisa dibeli. Orang mau beli berapapun, nggak bisa! Karena kantong saya sudah cukup. Sebagai pengamat politik, saya betul-betul independen!”
Politik, bagi pria yang selalu meluangkan waktu akhir pekan bagi keluarga ini, merupakan sektor dan variabel yang kuat dan besar dalam meraih pengaruh luas dalam kehidupan masyarakat. Ia mengundang umat Katolik, terutama orang muda Katolik, untuk berkontribusi bagi banyak orang melalui jalur politik. Keterlibatan itu bisa di mulai dengan masuk organisasi atau langsung menjadi anggota partai politik. “Seperti dalam Pemilu 2014 yang lalu. Banyak orang muda yang ambil bagian dalam proses politik.”
Paulus Julius Yunarto Wijaya
TTL : Jakarta, 27 Juni 1981
Istri : Ivone Kurniawan
Anak : Alvaro Hanz Wijaya dan Alvito Dean Wijaya
Pendidikan:
• SD St Maria Fatima Jakarta
• SMP St Maria Fatima Jakarta
• SMA Fons Vitae I Marsudirini Jakarta
• Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung
• Program Magister Manajemen Universitas Indonesia Jakarta
Pekerjaan:
• Analis Charta Politika (2008-2010)
• Direktur Riset Charta Politika (2010-2012)
• Direktur Eksekutif Charta Politika (2012-sekarang)
Edward Wirawan