Mencari Allah lewat Pujian Taize

2525
Para bruder dan peziarah berdoa bersama di Taize.
[taize.fr]

HIDUPKATOLIK.com – Banyak umat merasakan buah-buah rohani setelah mengikuti doa dengan nyanyian Taize. Kehadiran komunitas ekumene dalam Taize yang telah berkarya selama 75 tahun ini, memberikan makna iman kristiani.

Sekitar pukul 09.00, 22 Mei 2013, cuaca cerah. Untuk pertama kali, Dina Elisye Siahaan menjejakkan kaki di Bandara Udara Internasional Saint- Exupéry, Lyon, Perancis. Dari sini, Dina bersama seorang rekan melanjutkan perjalanan ke Taize, desa kecil yang terletak di Kota Cluny. “Sekitar dua jam perjalanan dari Lyon dengan bus. Kami tiba di Taize sebelum makan siang,” kisah Dina.

Dina, yang kala itu berstatus mahasiswi Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, datang ke Taize untuk mengalami kehidupan di desa, tempat muasal gaya berdoa yang dirintis Bruder Roger Louis Schutz- Marsauche. Selama tiga bulan, ia tinggal di desa yang terletak di atas bukit itu. Ritme kehidupan doa yang mirip tradisi monastik dengan lagu-lagu bersyair singkat dan dimadahkan berulang-ulang ini, ia lakoni tiga kali sehari; pagi, siang, dan malam. “Saya belajar banyak hal tentang doa yang sederhana, yaitu masuk dalam keheningan dan meresapi tiap kata yang dilafalkan secara berulang-ulang,” kenangnya saat ditemui di STT Jakarta, Kamis, 4/6.

Sepulang dari Taize, Dina tergerak membagikan pengalaman imannya. Dina mengkoordinasikan doa dengan nyanyian Taize di STT Jakarta. “Kita selalu mengadakan ibadat dengan nyanyian Taize setiap Rabu kedua dalam bulan, pukul 17.30 WIB. Kita terbuka untuk siapa saja, dari denominasi Gereja manapun,” ujar Dina.

Selain di STT Jakarta, Koordinator Doa dengan Lagu Taize STT Jakarta ini sering diundang membantu memfasilitasi jenis doa serupa di Gereja-gereja lain, termasuk Gereja Katolik. Paroki St Yakobus Kelapa Gading dan Paroki Kalvari Lubang Buaya adalah paroki yang pernah ia datangi. Hingga kini, kerja sama itu masih berlanjut. Di kalangan Gereja Protestan, sudah banyak Gereja yang menerima gaya doa yang mengutamakan keheningan dan kesederhanaan ini.

Kian dikuatkan
Pengalaman serupa pernah dialami umat Paroki St Yakobus Kelapa Gading, Timotius Prassanto. Kala menempuh pendidikan di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Timotius terpilih sebagai mahasiswa yang berkunjung ke Taize, pada 2008. Tiba di Taize, Timotius disambut seorang bruder yang bertugas melayani setiap peziarah. Peziarah yang datang mayoritas orang muda. Mereka datang dari berbagai negara. Ia didampingi seorang bruder. Sementara, bagi peziarah perempuan didampingi suster.

Selain berdoa setiap hari, Timotius melakukan berbagai kegiatan lain, seperti pendalaman Alkitab, membersihkan kamar, toilet, mencuci, menyiapkan sarapan, bersosialisasi dengan penduduk sekitar, dan saling bergantian menjadi relawan bagi para peziarah. Timotius juga mengikuti program Silence Week.Program ini melarang setiap relawan berkomunikasi dengan siapapun yang mereka temui. Relawan yang mengikuti program ini tinggal di sebuah rumah khusus. Mereka diberi kamar masing-masing satu orang. Selama Silence Week, Timotius menghabiskan waktu dengan membaca Alkitab, mendengarkan musik rohani sembari menikmati pemandangan pedesaan Taize. “Program ini membiasakan saya menyisihkan waktu agar bisa berkomunikasi secara khusus dengan Tuhan,” ujar pria kelahiran 26 Januari 1986 ini.

Kembali ke tanah air, Timotius merasakan kehidupan rohaninya semakin kuat. Dia belajar menerima segala sesuatu dengan penuh suka cita. Kini, ia aktif di Komunitas Doa Taize St Yakobus Kelapa Gading.

Buah rohani
Buah-buah rohani dari doa Taize juga dipetik Jessica Widjaja. Jessica berkenalan dengan Taize ketika ia terpuruk. Beragam persoalan yang menghampirinya membuat dia putus asa. Bahkan, beberapa kali ia ingin mengakhiri hidup. Suatu hari, ia bertemu dengan rekannya, Anastasia, di Unika Atma Jaya Jakarta. Kepada rekannya itu, Jessica menumpahkan segala persoalan. Kala itu, Anastasia menjabat Ketua Komunitas Doa Taize di kampus. Anastasia pun mengajak Jessica terlibat dalam doa Taize. Jessica mengikuti saran Anastasia.

Pertama kali mengikuti doa Taize,Jessica bingung. Doa dengan nyanyian Taize itu amat berbeda dengan persekutuan doa yang pernah ia ikuti. Jessica mendapati sebuah ibadat doa yang begitu hening. Setiap orang duduk bersila di lantai, sinar di ruangan redup, karena hanya mengandalkan cahaya lilin. Irama lagu yang dinyanyikan pun mengalun lamban dan syahdu. “Suasana doa ini tidak pernah saya jumpai,” ungkap jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Kebon Sirih, Jakarta Pusat ini.

“Saya merasakan Tuhan sungguh hadir dan memeluk saya. Saat itu, saya menangis, karena ternyata Tuhan nggak pernah meninggalkan saya,” ujar Jessica dengan mata berkaca-kaca.

Pengalaman pertama yang begitu berkesan, membuat Jessica rajin berhimpun dalam komunitas doa Taize. Ia pun masuk dalam kepengurusan komunitas ini. “Sebelumnya, saya pikir doa Taize adalah bagian dari ibadat doa Katolik, jadi pengurusnya hanya boleh yang beragama Katolik. Ternyata Taize itu doa ekumene,” ujar gadis kelahiran 10 Juni 1992 ini.

Jessica merasakan perubahan yang berarti setelah mengikuti doa Taize. “Saya merasa menjadi pribadi yang lebih sabar serta dapat mengendalikan emosi,” tuturnya. Perubahan cara pandang dan cara bersikap juga ia alami kala menjalin relasi dengan sesama.

Manfaat serupa dialami pasangan suami istri Anden-Anna. Mereka mengikuti komunitas doa Taize sejak masih terlibat aktif dalam komunitas orang muda Katolik di Paroki Kalvari Lubang Buaya, Jakarta Timur. “Segala kegundahan, kekawatiran, dan rasa cemas yang saya rasakan seperti hilang saat melakukan doa Taize,” ujar Anna. Anna meyakini,bahwa doa Taize merupakan satu cara berkomunikasi dengan Tuhan. Sementara, Anden mengaku bahwa ia tertarik menjadi Katolik setelah mengikuti doa Taize. “Setelah mengikuti doa Taize beberapa kali, saya memutuskan untuk dibaptis secara Katolik,” aku Anden. Bagi pasutri Anden- Anna, doa Taize amat bermanfaat, apalagi bagi umat yang berada dalam kungkungan rutinitas kota besar, seperti Jakarta.

Komunitas doa
Taize telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Salah satunya, Komunitas Doa Taize St Yakobus Kelapa Gading, Jakarta Utara. Komunitas ini tumbuh pada 1998. Kala itu, nyanyian Taize masih berbahasa asing. Para pengurus komunitas pun berupaya menerjemahkan lagu-lagu Taize dalam bahasa Indonesia, agar mudah dimengerti. Banyak orang muda Katolik yang melibatkan diri dalam komunitas ini. Kini, aktivitas doa Taize di komunitas ini diadakan dua kali dalam sebulan. Belasan umat selalu mengikuti secara rutin doa Taize.

Lagu-lagu yang digunakan dalam doa Taize di komunitas ini tidak selalu memakai lagu Taize yang berciri mengalun pelan. Mereka juga kerap memainkan lagu bernotasi cepat. Pemilihan alat musik pengiring lagu juga tak sembarangan. “Selama ini alat musik yang kami pakai biola, organ, gitar akustik, dan flut,” ujar Timotius Prassanto.

Keheningan menjadi suasana yang dibangun dalam doa Taize. Cahaya redup dalam temaram cahaya lilin menjadi sarana mencapai keheningan. Seorang pengurus Komunitas Doa Taize Paroki St Yakobus, Nieke mengatakan, lilin menjadi bagian penting dari Taize, lilin juga menjadi simbol kehadiran Yesus. Menurut Nieke, aktivitas doa Taize di komunitas ini dibuat seperti Ibadat Sabda. “Kami mengawali doa Taize dengan lagu pembuka, Mazmur, bacaan Alkitab harian, saat hening, doa umat, lalu doa penutup,” jelas Nieke.

Komunitas Doa Taize St Yakobus menjalin relasi dengan komunitas serupa di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Cempaka Putih dan GKI Pulomas. Mereka saling mengunjungi dan bersatu dalam pelayanan doa. Mereka memberikan pelatihan dasar-dasar Taize kepada para siswa SMA Antiokhia Jakarta.

Komunitas doa dengan nyanyian Taize telah membaktikan diri selama 75 tahun di dunia. Ia telah memberikan warna bagi kehidupan doa para pengikut Kristus. Komunitas ini telah membuktikan diri sebagai komunitas ekumene, yang mengidamkan persatuan Gereja-gereja.

Bruder Roger Louis Schutz-Marsauche
TTL : Provence, Swiss, 12 Mei 1915
Wafat : Taize, Perancis, 16 Agustus 2005

Pendidikan:
• University of Lausanne, Perancis dengan tesis “Is Saint Benedict’s ideal of the monastic life in conformity with the Gospel?”

Penghargaan:
• Templeton Prize (1974)
• Tokoh Perdamaian dari Bursa Buku Frankfurt, Jerman (1974)
• Tokoh Pendidikan Perdamaian UNESCO (1988)
• Charlemagne, Aix-la-Chapelle (1989)
• Robert Schuman, Strasbourg (1992)
• Penghargaan Notre Dame untuk Pelayanan Kemanusiaan Internasional (1997)
• Dignitas Humana dari Sekolah Teologi St Yohanes Collegeville, Amerika Serikat (2003)

Y. Prayogo
Laporan: Stefanus P. Elu/Takas Tua/ Christophorus Marimin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini