Martir Penentang Sihir dan Dukun

237
Teladan Umat: Benediktus Daswa (mengenakan jas) bersama para muridnya.
[awestruck.tv]

HIDUPKATOLIK.com – Ia hidup di tengah masyarakat yang percaya pada dukun dan ilmu hitam. Keteguhannya merawat iman kristiani dibayar dengan nyawanya. September 2015, ia akan dibeatifikasi di Afrika Selatan.

Benediktus Daswa tersenyum melihat kesebelasan anak asuhnya bermain cepat dan trengginas dalam sebuah pertandingan sepak bola. Sering kali umpan dan tendangan bebas anak-anaknya mengancam gawang lawan. Rivalnya pun kewalahan menembus jantung barisan pertahanan tim Mbahe Eleven Computers (MEC). Tak ayal selama babak pertama, anak-anak binaan Benediktus menguasai permainan.

Namun usai turun minum, grafik pertandingan berubah drastis. Ritme permainan lawan mendikte mereka. Alur serangan anak-anak Benediktus seolah tumpul. Justru gawang mereka yang menjadi bulan-bulanan para penyerang lawan. Nasib tim MEC pun berada di ujung tanduk.

Kemelut di kesebelasan Benediktus memicu reaksi para koleganya yang ikut mengurusi tim itu. Mereka memaksa pelatih menggunakan sihir agar timnya menang. Benediktus pun naik pitam. Ia dengan tegas menolak cara-cara seperti itu, sihir tidak sesuai dengan ajaran iman kristiani. Namun, mereka tetap nekad menggunakan sihir demi memenangkan pertandingan.

Benediktus sadar, nasihatnya tak membuahkan hasil. Ia juga tak ingin membuat keributan di tubuh tim. Seusai pertandingan, ia mengundurkan diri sebagai pelatih MEC. Kemudian ia berlabuh dan menangani tim baru, Mbahe Freedom Rebels (MFR). Hal ini menyulut amarah kubu MEC. Mereka mencari kesempatan untuk menghabisi nyawanya.

Memeluk Katolik
Benediktus bukan berasal dari keluarga Katolik. Orangtuanya, Tshililo Petrus Daswa dan Thidziambi Ida merupakan golongan Lemba (Black Jews), kelompok minoritas di Afrika Selatan yang memiliki tradisi keagamaan dan budaya semit, seperti sunat, pantang, dan pernikahan dalam satu ras.

Nama Benediktus baru ia sandang saat berusia 17 tahun.Sebelum dibaptis, ia bernama Tshimangadzo Samuel Daswa. Kelahiran Mbahe, Thohoyandou, Provinsi Limpopo, Keuskupan Tzaneen, Afrika Selatan, 14 Juni 1946 ini mengenal kekatolikan pertama kali saat berada di rumah pamannya di Johannesburg.

Awalnya, Tshimangadzo hanya berlibur dan mengisi waktu bekerja di Johannesburg. Ia bertemu teman kulit putih yang beragama Katolik dan terpikat dengan iman Katolik. Saat kembali ke kampung halaman, anak pertama dari lima bersaudara ini mulai ikut katekumen.

Ia terkesan dengan Benediktus Risimati, katekis yang mengajarinya tradisi dan iman Katolik. Dua tahun katekumenat, ia pun mantap memeluk Katolik. Ia dibaptis oleh Pater Augustine O’Brien MSC di Paroki Hati Kudus Yesus Sibasa, 21 April 1963. Ia memilih nama baptis Benediktus terinspirasi oleh sang katekis dan teladan hidup St Benediktus dari Nursia yang terkenal dengan motto hidupnya “Ora et Labora” (berdoa dan bekerja). Tiga bulan kemudian, Benediktus menerima Sakramen Krisma.

Ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Vendaland. Lulus dari sana dengan sertifikat guru. Ia memulai karya perdana di Sekolah Dasar Tshilivho, Ha Dumasi, sekitar 455 kilometer dari kampung halamannya.

Di sela kesibukan di sekolah, Benediktus menjadi katekis. Tiap Minggu, jika tak ada kunjungan imam ke Ha-Dumasi, ia memimpin Ibadat Sabda dan membagikan komuni. Jika imam sedang turne, Benediktuslah yang menemaninya berkunjung ke rumah-rumah umat.

Masyarakat setempat sangat menghormati Benediktus. Di sekolah, ia merangkap tugas sebagai guru, sekretaris, dan tangan kanan kepala sekolah. Di masyarakat, ia dikenal sebagai pembawa acara (MC) handal. Ia pribadi yang jujur, saleh, rajin bekerja, dan peduli pada sesama.

Loyalis
Berkat teladan hidupnya, Benediktus didapuk sebagai Kepala Sekolah. Ia gigih memperjuangkan kesejahteraan guru namun juga tegas menindak guru yang lalai dan tak serius dalam mendidik. Para guru dan murid mengenalnya sebagai guru yang peduli pada pendidikan.

Bila ada siswa yang tak masuk kelas, ia mengunjungi siswa itu dan mencari tahu penyebab absennya. Jika siswanya sakit dan keluarga tak mampu membeli obat, ia akan memberikan uang untuk berobat.

Benediktus kerap meminta siswanya bekerja di ladangnya. Dari upah hasil bekerja, siswa-siswa itu mampu membayar uang sekolah sendiri. Saat musim panen, Benediktus membagi hasil ladangnya kepada para siswa dan keluarga keluarga miskin di daerah itu.

Suami Shadi Eveline Monyai ini merupakan teladan kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab. Ia menegaskan, membantu istri dalam mengurus kedelapan anaknya serta menafkahi keluarga adalah wujud nyata komitmen Sakramen Perkawinan.

Selain itu, Benediktus mendirikan Gereja St Maria Assumpta Nweli dengan menyisihkan uang hasil kerja dan hasil ladangnya, selain dengan menggalang dana dari umat. Berkat bantuan, kerja keras, dan partisipasi umat, gereja itu bisa berdiri hingga kini.

Tak semua orang simpatik dengan kebaikan dan perjuangannya. Ada sekelompok orang yang masih menyimpan dendam padanya soal pengunduran dirinya sebagai pelatih kesebelasan MEC dan iri dengan kemajuan ekonomi keluarganya.

Ketika itu November 1989 hingga Januari 1990, hujan deras dan petir bersahutan mengguyur Venda, ibu kota Kabupaten Thohoyandou. Tokoh masyarakat dan pemerintah setempat menganggap kejadian itu aneh sehingga mereka menggelar rapat dan mencari solusi. Benediktuspun turut diundang. Namun, ia datang terlambat. Keputusan rapat sudah ketok palu, yakni setiap peserta rapat menyumbang lima rand (1 rand setara Rp 1073) untuk membayar jasa dukun. Mereka beranggapan, alam sedang mengamuk. Demi mendamaikan hubungan antara alam dengan manusia, haruslah digelar ritual oleh dukun.

Benediktus keberatan, ia tegas tak ikut menyumbang, apalagi untuk ritual yang dipimpin dukun. Baginya, ritual itu melenceng dari iman kristiani dan kondisi saat itu tak lebih dari fenomena alam biasa. Masyarakat berang dan menganggapnya telah melupakan dan melecehkan tradisi. Mereka pun kian bernafsu membunuhnya.

Mahkota Kemartiran
Pada 2 Februari 1990, tepat pukul 19.00 waktu setempat, Benediktus kembali ke rumah setelah mengantar keponakannya berobat. Di tengah jalan, ia terkejut. Segelondong kayu besar menutup jalan pick up-nya. Ia keluar dari mobil untuk mencari bantuan. Tiba-tiba segerombol orang menyerang dan melemparinya batu. Demi menyelamatkan nyawanya, ia lari dan bersembunyi di sebuah rumah.

Para pelaku terus memburunya. Benediktus akhirnya menyerahkan diri setelah mereka mengancam untuk membunuh si pemiliki rumah. Ia berdoa singkat ketika tahu ajalnya akan segera tiba, “Tuhan, ke dalam tangan-Mu, kuserahkan nyawaku”.

Tak lama berselang, seorang dari gerombolan itu memukul kepala Benediktus dengan tongkat. Tubuh Benediktus pun terkapar. Tak puas dengan aksi biadabnya, salah satu dari mereka mengambil air panas dan menguyur tubuh korbannya hingga wafat. Seluruh desa gempar dengan kematian Benediktus. Sejumlah imam menghadiri pemakamannya pada 10 Februari 1990.

Pada 22 Januari lalu, Takhta Suci mengesahkan dekrit kemartiran Benediktus Daswa. Rencananya, martir penentang praktik sihir dan dukun ini akan dibeatifikasi di Venda, Afrika Selatan, 13 September 2015. Gereja mengenang kemartiran, teladan iman, dan keutamaan hidupnya tiap 2 Februari.

Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini