Melestarikan Wayang Wahyu

531
Fransiskus Asisi Trias Indra Setiawan.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Tak ada darah seniman yang mengalir dalam tubuhnya. Namun dengan tekad yang bulat, Indra belajar membuat Wayang Wahyu. Ia menularkan keterampilan membuat Wayang Wahyu kepada warga Kampung Siten.

Mata Fransiscus Asisi Trias Indra Setiawan terpagut oleh deretan Wayang Wahyu yang menjadi koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Kala itu, ia sedang memandu rombongan wisatawan yang mengunjungi museum tersebut. Bayangan deretan wayang yang menggambarkan kisah kelahiran Yesus itu, terus mengikuti pelupuk matanya. Dalam hati Indra berujar, “Wayang ini harus dihidupkan dan dikembangkan lagi.”

Namun, tekad Indra itu tak dibekali dengan keterampilan membuat wayang. Di sela-sela mencari nafkah, Indra mencari pengrajin wayang kulit. Ia keluar masuk desa di daerah Yogyakarta. Ia membawa selembar kertas bergambar Wayang Wahyu sebagai contoh. Setelah melewati pencarian yang panjang, akhirnya ia bertemu Suprihono, pengrajin wayang kulit di daerah Kasongan, Bantul, DI Yogyakarta. Hampir setiap hari, pria yang pernah bekerja di kapal pesiar ini belajar teknik membuat wayang. Ia mulai belajar teknik tatahan atau mengukir, corek atau membuat sketsa wayang, ngeblak atau menggambar pola wayang dengan pola yang sudah ada, serta teknik sungging atau proses pewarnaan wayang.

Tak ada darah seniman yang mengalir dalam tubuhnya. Apalagi, ia harus belajar membuat Wayang Wahyu, yang pernah menjadi sarana pewartaan iman kekatolikan di Tanah Jawa. Wayang Wahyu populer pada era 1960-an. Namun, karena terpaan zaman, keberadaan Wayang Wahyu mulai surut. Itulah yang memacu Indra untuk turut menyelamatkan dan melestarikan keberadaan Wayang Wahyu.

Karakter baru
Setelah belajar teknik pembuatan wayang, Indra mulai membuat wayang secara mandiri. Mula-mula, ia membuat wayang berbahan kulit kambing untuk gantungan kunci. Ia menyisihkan penghasilan sebagai Pegawai Dinas Kebudayaan Seksi Museum Yogyakarta, untuk membeli peralatan pembuatan wayang. Kali ini, Indra tak lagi membuat wayang mini. Ia membuat wayang dalam ukuran yang besar. “Sebenarnya, membuat Wayang Wahyu sama seperti pembuatan wayang kulit. Tatahan Wayang Wahyu tidak terlalu rumit. Wayang Wahyu itu menekankan sunggingan atau teknik pewarnaan,” papar pria berusia 29 tahun ini.

Awalnya, Indra membuat Wayang Wahyu dengan karakter yang sudah ada. Ia membuat sketsa wayang, lalu ditatah dan diwarnai. Bahan wayang yang ia pakai berasal dari kulit kambing, sapi, kerbau, serta kertas.

Kini, sudah lebih 50 karakter Wayang Wahyu yang telah dihasilkan Indra, seperti kisah kelahiran Yesus, gunungan Nasrani yang menggambarkan surga dengan Yesus tersalib, serta kisah penyaliban Yesus dengan variasi burung merpati sebagai simbol Roh Kudus. Indra juga mengembangkan Wayang Wahyu dengan beberapa variasi. Ia juga mencipta karakter Raja Firaun bersama prajuritnya, Herodes dengan mahkota dan perisai, Maria Magdalena, serta Ponsius Pilatus.

Beberapa karya Indra pernah dipamerkan dalam Festival Dalang Cilik Nasional “Pameran Wayang Nusantara” di Universitas Negeri Yogyakarta pada Februari 2015. Dia juga membuka Galeri Wayang Wahyu dengan memanfaatkan ruang tamu di rumahnya yang terletak di Kampung Siten, Bambanglipuro, Bantul, DI Yogyakarta. Kampung Siten berada tak jauh dari kompleks Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Di galeri ini, terpajang 37 Wayang Wahyu yang terbuat dari kertas, 27 wayang dari kulit, dan 20 karakter Wayang Wahyu yang mengisahkan kelahiran dan penyaliban Yesus berbahan kulit dan kertas.

Galeri Wayang Wahyu yang digagas Indra ini telah dilirik para wisatawan. Beberapa wisatawan yang tertarik bisa membeli Wayang Wahyu karya Indra. “Pernah ada wisatawan dari Amerika Serikat yang memesan Wayang Wahyu,” tutur Indra.

Dari seluruh karya Wayang Wahyu, Indra merasa berkesan ketika membuat gunungan Nasrani. Gunungan Nasrani dipesan SMA St Yoseph Jakarta sebagai hadiah untuk Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo.

Menggerakkan warga
Selain menjadi pembuat Wayang Wahyu, Indra juga masih aktif sebagai staf pengelola Museum Purbakala Pleret, Bantul. Ia sadar bahwa tak mungkin ia mengerjakan pembuatan Wayang Wahyu seorang diri. Ia berinisiatif mengajak warga Kampung. Saat ini ada tiga warga, Suprihono, Sujino, dan Didhot yang mulai belajar membuat Wayang Wahyu. Ketiga warga ini beragama Islam. Sedangkan dari umat Katolik beberapa juga mulai belajar membuat Wayang Wahyu bersama Indra, salah satunya Ignatius Wiwid Widyonarko, Ketua Lingkungan Kampung Siten.

Saat ini Indra terus berguru kepada Sagio pembuat wayang senior di Yogyakarta untuk memperkaya keterampilan membuat Wayang Wahyu. Umat Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ini memiliki mimpi menjadikan Kampung Siten menjadi “Kampung Rohani”

Fransiscus Asisi Trias Indra Setiawan
TTL : Bantul, DI Yogyakarta, 1 Oktober 1986

Pendidikan:
• SD Kanisius Kanutan, Yogyakarta
• SLTP 1 Pandak Bantul, Yogyakarta
• SMK 2 Depok Sleman, Yogyakarta
• Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Pekerjaan:
• Karyawan Kapal Pesiar MSC Orchestra Italia
• Pemandu Wisata di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta
• Pegawai Dinas Kebudayaan Seksi Museum Yogyakarta
• Pengelola Museum Sejarah Purbakala Pleret, Yogyakarta

Takas Tua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini