HIDUPKATOLIK.COM – Langkah kaki Wahyu Jatmiko tegap. Jalannya pun tak menunjukkan keraguan mendekati altar. Ketika disodorkan pertanyaan, dia menjawab dengan penuh keyakinan. Dia ingin terus mengabdi untuk Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI). Namun saat ditanya alasannya, kata-kata tercekat. Bibirnya mengatup. Nampak sebening air di pelupuk mata. Terdiam.
Melihat situasi itu, Romo Petrus Sunu Hardiyanta SJ yang berada di sampingnya, menepuk pundaknya dengan lembut. Dan, mempersilahkan pria yang datang dari Solo itu untuk kembali ke bangku umat. Provinsial Serikat Jesus itu pun kembali melanjutkan kotbahnya. Peristiwa itu adalah sepenggal dari perayaan Ekaristi yang diadakan di ATMI Cikarang, Jawa Barat , Sabtu 30/9.
Misa itu diadakan dalam rangka peresmian dan pemberkatan asrama mahasiswa dan guets house di ATMI Cikarang. Selain Romo Sunu, hadir sejumlah imam yakni Ketua Romo B. B. Triatmoko SJ Ketua Yayasan ATMI Cikarang, Romo A. Hendro Subekti SJ Direktur ATMI Cikarang, dan Romo J. B. Clay Pareira SJ Yayasan Karya Bakti. Pada kesempatan itu juga datang juga praktisi industri, alumni, instruktur, karyawan, dan mahasiswa ATMI Cikarang.
Dalam kotbahnya, Romo Sunu menanyakan mimpi-mimpi umat. Setelah itu, Romo Sunu mengajak semua umat berani mewujudkan mimpi-mimpi mereka. “Waktu awal Jesuit membangun ATMI Solo juga berangkat dari mimpi. Mimpi memberikan kesempatan pendidikan terbaik untuk menolong kaum muda mendapatkan pendidikan terbaik,” ujar Romo Sunu.
Memang, sejak awal berdiri, ATMI yang dimulai dari sebuah desa Karangasem Solo, Jawa Tengah, ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak dari keluarga tak mampu. Sejak berdiri pada 1968, ATMI Solo telah menghasilkan ribuan alumnus. Mereka bekerja di bidang industri, bukan hanya sebagai pekerja, tetapi juga pengendali dan penentu kebijakan perusahaan-perusahaan besar di seantero Tanah Air. Bahkan ada di antara mereka yang bekerja di luar negeri.
Alumni ATMI tak hanya berkutat di belantara industri, tetapi merambah ke profesi lain. Ada mantan mahasiswa ATMI yang masuk ke bidang pendidikan, wiraswasta, human resources, properti, perbankan, dan sebagainya. Bahkan, ada juga alumni yang menjadi pastor dan pendeta. Mereka berhasil dalam kehidupan berkat mewujudkan mimpi-mimpi yang dirajut sekian tahun.
Menyadari dunia industri membutuhkan banyak tenaga terampil, pada 2000, Serikat Jesus mendirikan ATMI Cikarang. Mengingat, belum banyak perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan yang terampil dan dapat diserap berbagai perusahaan. Sejak awal, ATMI memang “nyeleneh” untuk zamannya. Perkuliahan diberikan dengan porsi praktik sampai tujuh puluh persen. Sisanya baru teori.
Dengan kondisi ini, perkuliahan di ATMI layaknya perusahaan industri. Ruang praktik tidak ubah bengkel produksi. Mahasiswa pun bertekun seharian penuh berdiri menjalankan mesin. Hasil karya mereka bukan sekadar mendapat penilaian tetapi juga harus presisi karena merupakan pesanan dari konsumen di luar.
Menjaga Warisan
Wahyu hanyalah salah satu mahasiswa dari keluarga tak mampu. Berkat pendidikan di ATMI dia dapat mengangkat ekonomi keluarganya. Dari situlah tekad instruktur ATMI Solo membulat untuk terus mengabdi di ATMI, tempat dia dulu menimba ilmu saat masih menjadi mahasiswa.
Perasaan serupa juga dituturkan oleh Benediktus Soedibyo. “Saya anak kedua dari 10 bersaudara. Bapak saya hanya seorang guru. Setelah saya bekerja sebagai instruktur di ATMI Solo, saya diberi kesempatan untuk kuliah di Swiss,” ujar alumnus ATMI Solo angkatan kedua.
Sebagian besar instruktur, sebutan pengajar, di lembaga pendidikan diploma ini adalah lulusan ATMI sendiri. Upaya ini dilakukan agar nilai-nilai di ATMI dapat diwariskan kepada angkatan berikut. Demi mengikuti perkembangan dunia industri, ATMI memberikan beasiswa kepada instruktur untuk kuliah lanjut, kursus, dan kunjungan industri ke luar negeri.
Soedibyo dan puluhan instruktur lain tidak pernah berani bermimpi untuk melanjutkan studi ke Swiss, Jerman, Filipina, dan sebagainya. Mereka sadar sebelum masuk ATMI, ekonomi orangtua sulit. Untuk makan sehari – hari dan biaya pendidikan, orangtua mereka harus pontang panting. Namun, berkat pendidikan di ATMI, mereka bisa mendapatkan kehidupan lebih baik.
Secara umum, para mahasiswa baru mengalami kesulitan untuk mengikuti proses pendidikan di ATMI. Toni Sartono, angkatan sebelas, mengakui sempat frustasi kuliah di ATMI Solo. Selain menuntut kedisiplinan nan ketak, tuntutan praktik pun tidak ringan. Dia baru bisa beradaptasi dan menguasai praktik di bengkel setelah tiga bulan di sana.
“Tingkat satu itu senjatanya ya kikir. Dari yang kecil hingga yang gede. Tiap hari kita ngikiiiiir. Ngikir. Ngikir terus. Gimana nggak bosen,” tambah pria yang kini bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta ini.
Romo Casutt
Keberhasilan ATMI, baik Solo maupun Cikarang, tidak terlepas dari “tangan dingin” Romo Johann Balthasar Casutt SJ. Padahal pada awal tugasnya, Romo Casutt sempat terkejut ketika diperintahkan pimpinan Jesuit untuk menjadi direktur ATMI Solo pada 1971. Dia menyadari tak memiliki latar belakang teknik. Sementara dua rekan yang mendahuluinya sebagai direktur ATMI Solo punya latar belakang pendidikan tentang mesin.
Romo Casutt hanya studi filsafat dan teologi sebelum menginjakkan kaki di Indonesia. “Saya tidak bisa mengoperasikan mesin-mesin yang ada di sana. Apa boleh buat. Saya terima tugas baru itu, dan saya akan berusaha sekuat tenaga. Namun saya tidak memberi jaminan,” ujar imam kelahiran Swiss, yang sebelumnya bertugas di Asrama Realino Yogyakarta.
Bermodalkan semangat yang diperoleh selama formasi menjadi imam Jesuit, Romo Casutt menerima tanggung jawab itu. Sebagai direktur, Romo Casutt menanamkan kedisiplinan, kerja keras, tanggung jawab, inovatif, dan jujur.
ATMI menggunakan sistem pendidikan vokasi atau kejuruan di Swiss. Di negara yang hanya sepertiga dari Pulau Jawa itu, sistem pendidikan vokasi telah berjalan dengan baik. Sistem pendidikan di sana tidak hanya urusan pemerintah tetapi melibatkan dunia indusutri secara penuh. Hasilnya, selain tingkat pengangguran kecil, industri di negara itu menjadi kian maju.
Kondisi di Indonesia berbeda. Mau tak mau Romo Casutt menyesuaikan dengan situasi lokal agar lulusan ATMI dapat memiliki ketrampilan seperti lulusan pendidikan vokasi di negaranya. Kendala muncul ketika bantuan dari luar negeri hampir terhenti, padahal Romo Cassut baru memimpin ATMI Solo.
Kesulitan itu mendorong sang imam untuk membuat perkakas sederhana dan menjual semua barang itu di toko-toko besi di kota Solo. ATMI lantas beranjak memproduksi suku cadang mesin pabrik, perlengkapan kantor, kendaraan bermotor, funitur, perlengkapan kelas, dan perpustakaan, perlengkapan rumah sakit, perlengkapan instalasi perusahaan farmasi, dan lain-lain.
Semua itu dilakukan bukan dengan mudah. Berkat totalitasnya, ATMI akhirnya dikenal sebagai lembaga pendidikan vokasi yang dapat memproduksi barang berkualitas. Lulusan dari sana juga memiliki keunggulan kerja. “Generasi muda harus bisa mengolah kekayaan alam sendiri. Tak perlu semuanya dikelola oleh tenaga ahli luar negeri. Asalkan diberi kesempatan untuk belajar semua bisa terlaksana,” jelas pastor kelahiran 24 Januari 1926 ini.
Keunggulan itu tidak terlepas dari semangat trilogi Ignatian yang tertanam di ATMI. Ketiga semangat itu adalah competentia (keunggulan), concientia (tanggung jawab moral), dan compatio (bela rasa).
Prinsip-prinsip itu mengantar lembaga pendidikan yang semula berada di tengah perkebunan tebu dan sawah itu meraih sukses. ATMI bukan sekadar memberikan keterampilan di bidang teknik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan bagi mahasiswanya.
Romo Casutt telah tiada. Gembala yang juga membidani ATMI Cikarang meninggal pada Jumat, 24 Agustus 2012. Namun, nilai-nilai warisannya tetap terjaga di benak alumni dan keluarga besar ATMI, yang akan merayakan pesta emas pada awal tahun depan.
A. Bobby Pr