Kisah Martir Muda Dari Slovenia

551
Beato Lojze Alojzij Grozde.

HIDUPKATOLIK.com – Malang, gerilyawan komunis menangkap dan menyiksanya secara keji hingga wafat. Jazadnya ditemukan tujuh minggu kemudian, dalam kondisi tidak hancur dan tidak berbau.

Sejak kecil, Lojze Alojzij Grozde terbiasa bermeditasi setiap pagi. Setelah meditasi, ia bergegas ke gereja untuk mengikuti Perayaan Ekaristi. Usai Misa, Grozde sering terlihat khusyuk di depan Sakramen Mahakudus. Kemudian dengan langkah ringan, ia berangkat ke sekolah.

Tradisi kesalehan kristiani itu begitu tertanam dalam sanubari Grozde. Bocah kelahiran Tržišce, Zgornje Vodale, Slovenia, 27 Mei 1923 ini memiliki devosi mendalam kepada Bunda Maria. Tak heran jika ia dikenal sebagai anak yang saleh, tekun, dan cerdas. Kampung halaman Grozde termasuk dalam yurisdiksi Keuskupan Ljubljana, yang sejak 22 Desember 1961 berstatus Keuskupan Agung, lalu ditingkatkan menjadi Keuskupan Metropolit sejak 22 November 1968.

Para guru dan teman-teman seangkatan angkat topi melihat ketekunan dan semangat studinya. Mereka pun senang karena Gorzde menunjukkan kepedulian pada orang lain. Ia rajin membaca, mengerjakan tugas, dan membantu teman-temannya yang kesulitan belajar. Berkat keutamaan itu, siswa yang juga dikenal pandai menulis dan gandrung dengan sastra ini dinobatkan sebagai siswa teladan di sekolahnya.

Lantaran masa kecilnya yang boleh dibilang kelam ia mendapatkan simpati dari sejumlah orang. Ia menerima bantuan hingga bisa melanjutkan sekolah.

Diasuh Bibi
Grozde lahir dari hasil hubungan tanpa ikatan pernikahan resmi antara Maria dengan Francesco Grozde Udovc. Tak lama setelah Grozde lahir, orangtuanya memutuskan hubungan mereka. Maria seorang diri menanggung beban hidup keluarga dan merawat putra semata wayangnya. Demi menyambung hidup, ia membanting tulang sebagai buruh harian.

Ketika Grozde berusia empat tahun, ibunya kembali menjalin hubungan dengan pria lain, Francesco Kovač. Grozde merasa tak nyaman dengan kehadiran Kovač. Grozde merasakan penderitaan ditinggalkan sang ayah yang meninggalkan ibunya begitu saja.

Kenangan masa kecil itu meninggalkan luka mendalam. Ia merasa Kovač hanya menginginkan ibunya. Sebab, Kovač tak akan mau bertemu Maria selagi ada dirinya di rumah.

Sadar akan tabiat buruk Kovač, Grozde meminta ibunya untuk mengakhiri hubungannya itu. Namun, cinta dan beban hidup seakan membuat telinga Maria tuli. Alih-alih memutuskan jalinan kasihnya, Maria justru menerima pinangan Kovač. Sebagai reaksi tak suka dengan pilihan ibunya, Grozde tak datang saat pernikahan mereka.

Grozde memutuskan hengkang dari rumah dan tinggal bersama bibinya, Ivanka di Ljubljana. Meski hidup dalam ke terbatasan, Grozde merasa nyaman tinggal ber sama sang bibi. Sebab, ia mendapat banyak perhatian dan kasih sayang dari pe rempuan yang saban hari mengais rejeki sebagai pembantu rumah tangga itu.

Grozde sangat menghormati dan menyayangi Ivanka. Ia sadar, tanpa kehadiran sang bibi, dirinya seperti anak ayam kehilangan induk. Ia mengakui, tanpa Ivanka, tak bakal ada orang yang membantu membiayai pendidikannya. Dialah jembatan, penghubung ‘berkat’ Tuhan hingga sampai kepadanya.

Usai menamatkan pendidikan dasar dan menengah, Grozde melanjutkan ke Sekolah Tinggi Bahasa. Seluruh pencapaian itu berkat jasa bibi dan para pen derma. Hasil yang gemilang itu berangsur-angsur membuka mata dan hati Francesco Kovač, ayah tirinya.

Perang Dunia
Di sela-sela kesibukan kuliah, Grozde aktif dalam sejumlah organisasi kaum muda, salah satunya Komunitas Maria (Marijina Kongregacija). Sesuai namanya, komunitas ini menjadikan Bunda Maria sebagai teladan hidup dan spiritualitas mereka. Selain itu, komunitas yang hanya berisi kaum laki-laki ini juga mengarahkan para anggota untuk menekuni panggilan menjadi imam–mirip seperti seminari.

Selain bergabung dengan Komunitas Maria, Grozde juga masuk dalam kelompok Aksi Katolik Slovenia. Bahkan, ia sempat didaulat sebagai Ketua Aksi Katolik yang berjibaku membendung pengaruh komunis serta gerakan anti klerus. Namun, ketika situasi sosial dan politik Slovenia tidak menentu akibat Perang Dunia II serta perang saudara di wilayah Balkan, Grozde memutuskan untuk tidak terlibat dalam organisasi apapun yang berkaitan dengan politik. Sebab pada masa itu, organisasi sangat rentan disusupi fasisme juga komunisme. Ia memilih berfokus pada hidup rohani dan pelayanan karitatif.

Situasi pelik itu memaksa Grozde membatalkan mudik pada 1942. Namun, pada liburan tahun baru 1943, ia nekat pulang kampung untuk berjumpa dengan ibu nya. Grozde berhasil tiba di rumah. Namun, ia tak bisa lama di sana sebab situasi masih sangat panas. Ia minta izin pada sang ibu untuk berlibur di rumah temannya.

Jumat, 1 Januari 1943, Grozde sempat merayakan Misa Jumat Pertama di Biara Cistersian di Stična. Ternyata, Perayaan Ekaristi itu merupakan yang terakhir dalam hidupnya. Grozde pergi ke Stasiun Ivančna Gorica. Ia menumpang kereta tujuan Trebnje. Kereta itu mengalami gangguan teknis yang memaksa seluruh pe numpang turun dan memilih transportasi lain untuk melanjutkan perjalanan.

Grozde sendiri melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Naas, ketika tiba di Mirna, sekelompok Partizan (gerilyawan komunis) mencegatnya. Mereka menahan dan menggeledah seluruh barang bawaan Grozde. Dari dalam tasnya, mereka mendapati buku Perayaan Ekaristi, Mengikuti Jejak Kristus (Imitatio Christi) karya Thomas à Kempis, dan Devosi pada St Maria dari Fatima.

Setelah mengetahui tahanannya beragama Katolik dan curiga bahwa remaja itu mata-mata fasis, mereka langsung menyiksa Grozde dengan sangat kejam. Kakinya dikuliti, lidah dan jari-jarinya dipotong. Disiksa dengan sedemikian keji, pemuda yang belum genap 20 tahun itu pun wafat. Para penyiksanya mengubur jazadnya di dalam lubang yang tak terlalu dalam, di hutan Mirna.

Murid Kristus
Tujuh minggu setelah tragedi keji itu, sekelompok anak sekolah menemukan jenazah Grozde. Jenazah itu tidak hancur, kendati ada beberapa anggota tubuh yang hilang. Lagi, bau busuk pun tidak tercium keluar dari jenazah itu. Grozde akhirnya dimakamkan dalam upacara pemakaman yang layak di Pemakaman Šentrupert.

Dalam kunjungan apostoliknya ke Slovenia tahun 1996, Bapa Suci Yohanes Pau lus II menyebut Grozde sebagai Hamba Allah dan murid Kristus. Grozde mewakili banyak orang yang menjadi korban kebengisan komunis di Eropa Timur. Teladan kesucian Grozde akhirnya mendapat pengakuan Vatikan. Pada 27 Maret 2010, Paus Benediktus XVI secara resmi mengakui dekrit kemartiran Grozde. Dalam perayaan Ekaristi yang diikuti 32 ribu orang Takhta Suci membeatifikasi martir muda Slovenia ini pada 13 Juni 2010 di Stadion Celje.

Perayaan yang berbarengan dengan Kongres Ekaristi Pertama Slovenia itu dipimpin oleh Sekretaris Negara-Kota Vatikan kala itu, Kardinal Tarcisio Pietro Evasio Bertone SDB dan dihadiri juga oleh sekitar 750 imam yang hadir dari berbagai negara.

Grozde tercatat sebagai beato kedua asal Slovenia. Sebelumnya, pada 19 September 1999, Bapa Suci Yohanes Paulus II membeatifikasi Uskup Lavant, Mgr Anton Martin Slomšek (1800-1862). Gereja mengenang kemartiran dan keutamaan iman Beato Grozde tiap 1 Juni.

Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini