Menyampaikan Momen Kreatif Lewat Gerak Tubuh

325
Mengajar: Widaryanto mengajar menari di Pusat Studi Asia Tenggara, University of Michigan, Amerika Serikat.
[ii.umich.edu]

HIDUPKATOLIK.com – Pria ini sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia tari. Momen kreatif adalah kesempatan baginya untuk menerima asupan energi dari Yang Transenden. Gerak tubuh dalam tari bisa menjadi sarana penyampaian pesan, kritik, dan nilai.

Pak, ada yang mau bersalaman,” kata Sadmiarti Sri Maeni kepada suaminya, Fransiskus Xaverius Widaryanto. Pria yang disapa “Pak” itupun menyodorkan tangan menyalami orang-orang yang ada di hadapannya. Sembari tersenyum ia berujar, “Maaf ya, mata saya kurang bagus. Jadi, harus ada yang mengingatkan kalau ada yang mau bersalaman.”

Meski jarak pandang sangat terbatas, malam itu, Jumat, 5/6, Widaryanto hadir di kompleks Salihara, Jakarta Selatan. Ia didapuk menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Tradisi dan Modernitas dalam Tari Indonesia”.

Dalam diskusi itu, pria yang berprofesi sebagai dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Jawa Barat ini, menjelaskan bahwa tari bukan sekadar pertunjukan gerakan tubuh. Tari bisa menjadi mediator untuk menyampaikan pesan, kritik, serta penghidupan kembali nilai tradisi sebuah bangsa. “Karena tari diwujudkan dari sebuah kepekaan yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang menjadi kreatif dan sadar akan realitas koeksistensi kehidupan dalam dimensi transendennya,” ujar pengamat tari ini.

Menyampaikan pesan
Perihal tari sebagai sarana menyampaikan pesan dan nilai, Widaryanto sudah membuktikan. Pada 1996, Widaryanto menampilkan tarian berjudul “Nyidrasmara” di Hill Auditorium Universitas Michigan di Ann Arbor, Amerika Serikat. Lewat tarian itu, Widaryanto menyasar perbandingan makna perkawinan orang Indonesia dan Amerika.

Di Indonesia, kata Widaryanto, perkawinan adalah puncak dari hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang kemudian menjadi sakral. Sementara, di mata orang Amerika, perkawinan adalah akhir dari perjalanan atau hubungan. “Seorang laki-laki dan perempuan memutuskan untuk menikah setelah merasa cocok. Bisa jadi, mereka sudah punya anak. Saya ingin menunjukan kepada mereka bahwa perkawinan punya nilai yang sangat luhur,” tutur ayah dua anak ini.

Pada 2010 ia diminta Profesor Susan Walton dari The University of Michigan, Amerika Serikat untuk menampilkan tarian yang bisa mendongkrak imaji orang Amerika tentang agama Islam. Karena di mata warga Amerika, agama Islam identik dengan terorisme dan kekerasan. Untuk misi ini, Widaryanto mengangkat kisah persebaran agama Islam di Jawa lewat tokoh Amir Hamzah dalam Wayang Menak.

Wayang Menak memang syarat dengan peperangan untuk menaklukkan kerajaan yang tak sepaham dengan kerajaan Koparman, tempat Amir Ambyah berkuasa. Namun, di tangan Widaryanto, sosok Amir Ambyah justru ditampilkan sebagai sosok yang tak hanya berpikir tentang cinta antarinsan semata, tetapi pribadi yang terus mencari cinta Allah. Sosok inilah yang kemudian mampu menarik perhatian Kelaswara dari Kelan, bahkan Putri Cina yang bernama Adaninggar dari kerajaan Tartaripura. Dengan kata lain pijakan alur cerita terfokus kepada cinta segi tiga antara Amir Ambyah dengan Kelaswara dan Adaninggar. “Lewat tarian yang halus dan penuh kelembutan, saya ingin menggiring imaji para penonton bahwa Islam juga penuh kelembutan dan cinta, tidak melulu kekerasan,” tandas dosen Seni Tari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini.

Tari, bagi Widaryanto, bukan semata gerak tubuh. Tari juga memancarkan energi kemanusiaan, dan mengajak penonton menatap kembali gerak kehidupan.

Momen kreatif
Widaryanto berujar, tari juga membutuhkan momen kreatif. Serupa dengan kehidupan umat beriman, yang juga membutuhkan momen kreatif, kesempatan menjadi anak kecil yang mengalami kekosongan, lalu mendapat energi Yang Transenden. “Momen kreatif itu bisa ditemukan dalam Ekaristi. Dengan menyambut Sakramen Ekaristi, kita menempatkan diri sebagai anak kecil yang polos dan bersedia menerima energi-energi ilahi,” ujarnya.

Dalam peziarahan lewat dunia tari, Widaryanto juga memanfaatkan momen kreatif itu. Ketika masih berstatus mahasiswa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) pada 1977, suatu malam, ia merasa kreatifitasnya mengolah gerak tubuh berhenti. Maka, ia berlatih sendiri di gedung pertunjukkan ASTI. Ruangan itu sangat gelap, karena belum ada listrik. Hujan juga menguyur deras. Ditemani temaram cahaya lilin, Widaryanto mengeksplorasi gerak tubuh. “Kalau malam, orang takut masuk ruangan ini, tapi saya justru menikmati, tanpa rasa takut. Pengalaman itu amat mengesankan, karena saya merasakan ada energi yang masuk ke dalam tubuh saya,” kisah Widaryanto.

Membuka mata orang agar mengalami momen kreatif dalam hidup, menjadi cita-cita Widaryanto. Ia menikmati masa senja dengan menulis buku dan berbagi pengalaman tentang relasi antara tubuh manusia, realitas sosial, dan Yang Transenden dalam seni tari.

F.X. Widaryanto
TTL : Yogyakarta, 4 November 1950
Istri : M. V. Sadmiarti Sri Maeni
Anak : Theresia Ika Nur Astiarni dan Anna Betty Smorolaksmi

Pendidikan:
• Akademi Seni Tari Indonesia
• Institut Seni Indonesia, Yogyakarta
• University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat
• Pascasarjana Institut Seni Indonesia

Pekerjaan:
• Dosen Seni Tari Unika Parahyangan Bandung
• Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Jawa Barat
• Sekretaris Eksekutif Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (2006-2008)
• Direktur Eksekutif Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (2009-2011)
• Sekretaris Eksekutif Forum Guru Besar dan Empu Seni BKS-PTSI (2009-sekarang)

Penghargaan:
• Professorship International Institute University of Michigan, Amerika Serikat (1995 dan 2010)
• Satya Lancana Karya Satya 30 Tahun dari Presiden RI (2010)
• Satya Lancana Karya Satya 20 Tahun dari Presiden RI (1998)
• Japanese Performing Art Survey dari The Japan Foundation Scholarship, Jepang (1994)

Stefanus P. Elu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini