HIDUPKATOLIK.com – Pendidikan harus membentuk siswa yang siap untuk diutus kemanapun mereka pergi. Setiap anak memiliki potensi menjadi anak yang luhur, “ad maiorem natus sum”.
Sudah sejak lama, sekolah Katolik dikenal sebagai ladang penghasil karakter. Di sini, karakter seorang siswa disiram dan dipupuk dengan nilai-nilai keutamaan Kristiani. SMA Sint Louis Semarang, Jawa Tengah memiliki visi membentuk peserta didik menjadi manusia yang berkarakter dan berprestasi.
Ada yang unik di SMA yang terletak di sebelah Gereja St Athanasius Agung Karangpanas ini, setiap Jumat pagi, siswa diminta menyisihkan uang saku sebagai dana solidaritas. Dana ini, nantinya akan dipakai untuk membantu beberapa siswa yang kurang mampu.
Dengan cara ini, sekolah mengajarkan empati kepada para siswanya. Nilai-nilai ini tidak saja dipelajari sebagai teori, namun sungguh didaratkan dalam tindakan nyata. Kepedulian akan semakin mengakar dalam hati siswa saat dengan tangannya mereka rela membantu sesama.
Pendidikan Menyeluruh
Andreas Mulato mengungkapkan, dari kegiatan tersebut siswa dan siswi diharapkan dapat menumbuhkan rasa saling menghormati satu sama lain. Beberapa di antara siswa yang kurang mampu, juga menjadi tanggung jawab teman yang belajar di SMA Sint Louis. “Kemajuan teknologi membentuk manusia menjadi seorang pribadi yang egois dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Dengan cara ini siswa-siswa diajarkan untuk peduli,” kata Kepala SMA Sint Louis ini.
Terbangun sebuah komitmen di SMA Sint Louis untuk membentuk siswa-siswinya menjadi pribadi berkarakter peduli bagi sesama serta alam sekitar. Andreas melanjutkan, kepedulian kepada alam sekitar diwujudkan dalam bentuk kerja bakti yang dilakukan dengan serempak oleh guru serta siswa-siswi. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai wujud kecintaan guru serta murid kepada lingkungan sekolahnya. Dalam suasana ini, keakraban juga semakin terjalin antarsiswa dan guru. “Setelah kegiatan belajar mengajar dilaksanakan selama satu semester. Maka, waktu kerja bakti menjadi saat untuk guru, karyawan, maupun siswa untuk saling bercengkrama santai.”
Ketegangan yang terjadi saat dikelas, dapat dilepaskan sejenak untuk saling bertukar pengalaman baik sebagai guru maupun murid. Hal ini semakin membuat guru serta murid semakin akrab. Tidak jarang, gelak tawa bertebaran dimana-mana, membuat panas matahari Kota Semarang menjadi tidak terasa. “Kerja bakti umumnya selama dua jam, selama itu, terjalin keakraban. Lingkungan sekolah pun menjadi lebih bersih dan nyaman, kondusif sebagai sarana untuk belajar.”
Selain visi Sekolah, yaitu membentuk siswa menjadi pribadi yang berkarakter serta berprestasi, SMA Sint Louis juga dikenal sebagai “multiculture school”. Agustinus Winarko mengungkapkan, beragam suku berkumpul menjadi satu di SMA ini. Selama ini ada siswa yang berasal dari Papua juga menimba ilmu di sini. “Keberagaman yang ada di SMA Sint Louis menjadi sebuah keunikan tersendiri, kebudayaan yang berbeda-beda membuat siswa-siswi SMA Sint Louis belajar untuk saling menghormati serta menghargai keberagaman itu,” ungkap Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan ini.
Agustinus menambahkan, perbedaan budaya tidak lantas membuat keakraban antar siswa itu hilang. Selain itu, perbedaan juga bukanlah kesulitan bagi setiap guru untuk membentuk siswa-siswinya. “Dari keberagaman itu justru membuat guru serta siswa saling belajar untuk memahami kebudayaan yang baru itu.”
Perbedaan budaya di SMA Sint Louis nampaknya justru menjadi peluang. SMA Sint Louis mewadahinya. Setiap potensi yang dimiliki siswa dengan bebas diberikan ruang untuk dikembangkan. “Dihari ulang tahun yayasan, siswa-siswi dari Papua diminta untuk menampilan tarian khas dari Papua sebagai pengiring persembahan pada misa syukur.”
Di Sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Panti Asuhan Katolik ini, siswa dengan bebas menunjukan diri dengan identitas mereka. “Selain siswa-siswi dari Papua, ada pula siswa-siswi dari Sumatera dan Kalimantan,” ungkap Agustinus.
Sampai saat ini, Yayasan Panti Asuhan Katolik berusaha untuk melestarikan kebudayaan asli Semarang yang hampir hilang. Tari Warak misalnya, menjadi satu menu yang diajarkan bagi para siswa. Tarian ini menggambarkan sukacita untuk menyambut Ramadhan. “Tarian ini hampir saja hilang, karena banyak sekolah yang lebih tertarik untuk mengembangkan modern dance dan mulai melupakan tari tradisional,” ungkap Andreas.
Bangunan Karakter
Bagi Andreas, menjadi seorang yang cerdas disekolah itu mudah, mendapatkan nilai sembilan itu sangat mudah, yang lebih susah adalah membentuk siswa menjadi pribadi yang berkarakter, tidak semua sekolah bisa melakukannya. Andreas mengakui, memang tidak mudah untuk membentuk karakter siswa, kebiasaan-kebiasaan yang sudah terbentuk di rumah maupun pergaulan, memiliki dampak yang tak semuanya baik bagi siswa. “Namun setiap guru tidak jemu untuk mengingatkan serta mendidik siswa-siswinya tanpa kenal waktu.”
Agustinus menambahkan, menjemput atau mengunjungi siswa-siswi menjadi hal biasa bagi guru SMA Sint Louis. Ini merupakan bentuk perhatian kepada siswa. Umumnya, guru menjemput siswa untuk memastikan bahwa siswa dalam keadaan baik, dan tidak sedang bolos dari pelajaran. “Beberapa siswa memiliki kebiasaan berangkat sekolah namun tidak sampai sekolah, kebiasaan itu menggerakkan guru untuk menanyakan kabar dari siswa yang tidak masuk tanpa keterangan dari orangtua.”
Kebiasaan ini akhirnya direspon oleh orangtua siswa, sebagai pengingat bahwa mereka harus lebih memperhatikan putra-putrinya. Agustinus melanjutkan, kegiatan ini dapat menjalin hubungan yang baik antara orangtua siswa dengan pihak Sekolah. Hubungan ini menjadi kerjasama untuk memantau secara langsung perkembangan anaknya. “Dengan ini ada kerjasama untuk membangun perilaku maupun intelektual anak, langsung dari guru yang mendampingi.”
Siswa yang Luhur
Andreas meyakini, anak akan menjadi baik ketika mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtua maupun wakil dari orangtua saat disekolah. Pertumbuhan anak ditentukan dari kebiasaan di rumah, sekolah, ataupun masyarakat. “Sebagian besar waktu siswa dihabiskan di sekolah, maka menjadi baik, ketika orangtua dengan pihak sekolah dapat terjalin suatu hubungan yang dekat.”
Sebagai anak yang sedang bertumbuh, perhatian ini terkadang dipandang sebaliknya. Siswa memandang perhatian itu sebagai sebuah tindakan yang membatasi ruang gerak mereka. Tak jarang, siswa masih menunjukkan sikap kurang hormat kepada guru. Sikap ini tak bisa dilepaskan dari latar lingkungan tempat tinggal. Sebagai kota besar, Semarang sudah dimasuki aneka kemajuan teknologi. Tak jarang, efeknya menjadikan anak muda di Semarang memiliki sikap memberontak dan senang dengan kebebasan. “Kesadaran berada di kota metropolitan inilah yang membuat guru tidak jemu-jemunya memperhatikan siswa-siswinya,” pungkas Andreas.
Seluruh proses ini menjadi jembatan untuk membangun karakter siswa yang berkarakter Kristiani. Andreas mengungkapkan, dengan model pendidikan di SMA Sint Louis harapannya akan dihasilkan siswa yang siap untuk diutus kemanapun mereka pergi. “Kami percaya, setiap anak yang dipercayakan kepada kami dapat menjadi anak yang luhur. Seperti salah satu spirit SMA Sint Louis, ‘ad maiorem natus sum’.”
Bonifasius Bagas Adhianta