Paus Pertama Yang Bergelar Wakil Kristus

885
Paus Gelasius I sedang mengajar.
[wikimedia.org]

HIDUPKATOLIK.com – Ia dikenal penulis handal dan saleh. Bidaah Manikeisme, Monofisitisme, dan praktik Lupercalia, ia lawan demi menjaga martabat Takhta Suci.

Akhir abad V, Roma dilanda kecamuk. Saat itu, praktik Lupercalia digelar tiap 15 Februari. Ritual ini terkait dengan upacara Februa (Latin: pemurnian), yang berakar pada tradisi Romawi kuno. Ritual ini bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat dan memurnikan Kota Roma, memohon rahmat kesehatan serta kesuburan untuk mendapatkan keturunan. Upacaranya dipersembahkan kepada dewa-dewi dan berhala lainnya.

Upacara Lupercalia ini didukung seorang senator Roma yang sangat berpengaruh, Andromachus. Namun, Bapa Suci menganggap bahwa Lupercalia adalah praktik ritual penyembahan berhala yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Pada 494, Paus melarang dan menghapus praktik Lupercalia di Kota Abadi. Secara resmi, Paus mengeluarkan surat kepada Senator Andromachus terkait kontroversi Lupercalia.

Itulah sekelumit kisah keberanian Paus Gelasius I yang tak mau berkompromi demi menjaga tegaknya ajaran Gereja. Ada dua versi mengenai asal Paus Gelasius. Pertama, putra kelahiran Roma (Romanus natus), sebagaimana terungkap dalam suratnya kepada Kaisar Anastasius I Dicorus (431-518). Kedua, istilah “Romanus natus” diartikan sebagai putra berdarah Roma, yang memiliki hak kewarganegaraan Roma. Pendapat kedua ini mengatakaan, ia lahir di Afrika sebagai keturunan Roma.

Sebelum menjadi Paus pada 1 Maret 492, Gelasius banyak membantu pendahulunya, Paus Felix III (†492) untuk membuat dokumen-dokumen Gerejani. Pekerjaannya ini kerapkali menyulitkan banyak ahli sejarah, tulisan mana saja yang berasal dari masa Paus Felix III dan mana yang berasal dari masa Paus Gelasius I.

Lawan Manikeisme
Selain Lupercalia, Gereja juga mendapat ancaman dari Bidaah Manikeisme. Para pengikutnya kian bertambah banyak dan mempengaruhi masyarakat Roma. Mereka berpura-pura menjadi Kristen, tapi mencampuradukkan ajaran Kristiani dengan konsep-konsep lain yang bertentangan.

Manikeisme adalah sistem agama yang didirikan oleh Mani (216-274) di Persia sekitar paruh kedua abad III, yang mengajarkan bahwa dalam kehidupan ini selalu terjadi konflik permanen antara kekuatan terang dan kekuatan gelap. Ajaran ini juga menggabungkan beberapa konsep, seperti dualisme Zoroaster, etika Budhisme, mitos-mitos Babilonia kuno, dan Kristiani, tetapi menolak konsep “dosa” dalam agama Kristen. Maka, Gereja menilainya sebagai bidaah.

Menanggapi “propaganda senyap” Manikeisme, Paus Gelasius I mempromulgasikan sebuah dekrit yang mewajibkan penerimaan Komuni dalam dua rupa: roti dan anggur. Para pengikut Manikeisme pasti akan menolak minum anggur karena anggur dipercaya membuat mereka tidak murni, sehingga akan mudah mengetahui penyusupan mereka dalam Gereja.

Lawan Monofisitisme
Sejak awal, Gelasius I sudah menunjukkan sikap tegas dan pemahaman yang mendalam mengenai posisinya dengan Kepatriarkan Konstantinopel. Kepatriarkan Konstantinopel kala itu dipimpin Patriark Euphemius (Euthymius) yang bertakhta pada 489-495. Hal ikhwal pengangkatannya sebagai Paus tidak ia beritahukan kepada Patriark Konstantinopel. Pasalnya, Patriark Euphemius melanjutkan kebijakan Patriark Akasius (†489) mengenai “Henotikon”. Patriark Akasius bersama Kaisar Bizantium, Zeno (425-491) mencari solusi persoalan Bidaah Monofisitisme. Oleh karena itu, diterbitkanlah “deklarasi iman” yang disebut “Henotikon” (formula untuk kesatuan). “Henotikon” merujukkan Gereja dengan Bidaah Monofisitisme, yang mengajarkan bahwa Yesus memiliki kodrat ilahi saja.

Ini jelas bertentangan dengan Konsili Efesus (431) dan Konsili Khalsedon (451). Dua konsili ini mengajarkan, kodrat Yesus adalah ilahi sekaligus manusiawi, yang keduanya tak dapat tercampur dan tak dapat terpisahkan. Kala itu, Paus Felix III segera bereaksi keras. Ia mengekskomunikasi Patriark Akasius dan Kaisar Zeno sehingga relasi antara Gereja Roma dan Gereja Orthodoks Yunani mulai terpisah. Sikap Paus Felix III inilah yang melatarbelakangi ketegasan Paus Gelasius I terhadap Patriark Euphemius.

Berulang kali Patriark Euphemius melobi untuk mendapatkan pengakuan Roma. Namun, Paus Gelasius I teguh pada pendiriannya. Meski Kaisar Anastasius I mengancam Roma dengan kekuasaannya, Bapa Suci tetap bergeming. Paus tak mau berkompromi sedikitpun terkait hak dan kehormatan Takhta St Petrus.

Otoritas Takhta Suci
Paus Gelasius I tak pernah gentar menunjukkan otoritasnya yang meliputi Takhta Aleksandria dan Antiokhia. Perjuangannya melawan Kaisar Anastasius I dan segala tipu muslihat Patriark Euphemius sangat kental mewarnai masa kepausannya. Ia menolak adanya praktik penganugerahan jabatan gerejani yang dilakukan otoritas sipil atas perintah Kaisar Anastasius I. Konon, tanggapannya terhadap hal itu muncul dalam ungkapan, “Ada dua otoritas yang menguasai dan memerintah dunia ini: otoritas imamat suci dan otoritas para raja.” Dua otoritas itu berasal dari Yang Ilahi dan independen sesuai dengan lingkupnya masing-masing. Ajaran Paus Gelasius I ini dinilai sangat progresif pada zamannya.

Bapa Suci mempertahankan kehormatan Takhta St Petrus dengan karya-karya dan tulisan-tulisannya untuk melawan pengaruh Monofisitisme, Manikeisme, dan bidaah lainnya. Ia tak henti menggemakan bahwa Gereja Roma dibangun di atas batu karang, yang dianugerahkan Kristus, dengan menunjuk Petrus sebagai pemimpinnya. Oleh karena itu, para penerus St Petrus mendapat hak istimewa di antara para pemimpin Gereja manapun. Dalam beberapa catatan Sinode Roma, Paus beberapa kali disebut “Wakil Kristus di Dunia”. Dialah Paus pertama yang memangku gelar ini.

Kepausannya dinilai terlalu pendek untuk menyelesaikan perselisihan dengan Gereja Konstantinopel. Terbukti bahwa butuh tiga Paus lagi untuk menyelesaikan persoalan ini. Dan baru pada masa Paus Hormisdas (†523), Gereja Konstantinopel kembali ke pangkuan Gereja Roma.

Perbaikan Gereja
Secara internal, Paus Gelasius I memperbaiki sistem administrasi dan tata kelola harta benda gerejani. Ia mewajibkan pembagian pendapatan Gereja–baik dari kolekte maupun negara–menjadi empat bagian, yakni untuk membantu orang miskin, mendukung karya Gereja dan kebutuhan liturgi suci, menopang kebutuhan para Uskup, dan mencukupi kebutuhan kaum klerus selain Uskup. Pembagian intensi ini adalah pengembangan tata kelola harta benda gerejani yang telah dimulai Paus Simplicius (†483). Paus Gelasius I juga kerap menulis surat kepada para Uskup. Ia mewajibkan para Uskup untuk melakukan silih dengan menyantuni orang miskin jika melakukan kesalahan atau gagal melaksanakan tugasnya.

Dalam bidang liturgi, Paus Gelasius I sempat mengarang beberapa lagu pujian dan prefasi, serta menerbitkan Buku Misa standar untuk Gereja, yang dikenal dengan “Sacramentarium Gelasianum”.

Dalam jajaran Paus-paus awal hingga abad V, Gelasius I adalah Paus yang paling banyak meninggalkan dokumen. Ia dipercaya sebagai seorang penulis handal. Ia menulis lebih dari 100 naskah, antara lain: 42 surat, 49 dokumen, enam risalah panjang, dan banyak tulisan lainnya. Enam risalah itu terdiri dari tiga tulisan mengenai Skisma Akasius, satu tentang Pelagianisme, satu lagi tentang kesesatan Nestorius (386-451) dan Eutyches (378-454), dan yang terakhir tentang apologinya melawan Lupercalia. Konon dekrit-dekrit yang ia promulgasikan dijadikan rujukan penyusunan Kitab Hukum Kanonik.

Gelasius I dikenal sangat saleh. Gaya hidupnya kadang dinilai lebih mirip seorang pertapa. Ia juga dikenal sangat dekat dengan orang miskin sehingga ketika wafat, ia tak memiliki kekayaan berlimpah karena rajin berderma. Meskipun masa kepausannya hanya empat tahun enam bulan, jasanya kepada Gereja sangat besar. Paus Gelasius I wafat di Roma, 21 November 496. Setelah wafat, ia dihormati sebagai orang kudus. Gereja memperingati St Gelasius tiap 21 November.

R.B.E. Agung Nugroho

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini