Karena Sakit Istri Mengijinkan Saya Untuk Berselingkuh

1320

HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin, usia saya 41 tahun. Saya sudah menikah sembilan tahun lalu. Istri saya berusia 36 tahun dan sedang sakit. Semula kami bahagia sampai ketahuan istri ternyata punya tumor di rahimnya. Kami sudah sembilan bulan tak melakukan hubungan seksual, karena istri menderita sakit hebat ketika berhubungan.

Istri mengatakan, rela kalau saya berhubungan dengan perempuan lain karena dirinya tak bisa melayani saya. Saya menolak, meskipun sebenarnya saya menderita juga dalam keadaan ini. Kami punya dua anak laki-laki yang masih berada di bangku sekolah dasar. Bagaimana saya bisa mengatasi persoalan ini?

Yono, Jakarta

Bapak Yono yang baik, saya sangat terharu membaca pengalaman Anda bersama istri. Tampak bahwa meskipun kalian berdua tergolong muda, tapi saling mencintai. Saya ikut prihatin dengan peristiwa sakit yang menimpa istri Anda. Semoga pengobatan dan terapi yang dijalankan dapat membawa kesembuhan.

Dalam hidup perkawinan, peristiwa sakit, bahkan sakit yang parah, tidak boleh meniadakan atau mengingkari janji perkawinan yang diikrarkan. Istri yang sedang sakit tak mempunyai hak ataupun kewajiban untuk memberi izin apapun untuk berselingkuh, meski ia sakit parah sekalipun.

Kita semua memang sangat prihatin dan mengerti berat beban yang Anda alami bersama istri. Akan tetapi, kesatuan dalam perkawinan menyangkut sakit dan kesulitan yang dialami.

Cobalah pada saat-saat seperti ini mengingat janji perkawinan Anda. Saya sangat memuji sikap Anda yang mau bertanya mengenai hal ini. Saya percaya, Anda sangat mengerti arti janji perkawinan dan Sakramen Perkawinan. Begini bunyi janji perkawinan itu, “Saya… mengambil engkau… menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, dalam suka dan duka. Saya berjanji akan menjadi ayah/ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dianugerahkan Allah kepada kita.”

Dalam janji itu jelas terlihat ada kesungguhan niat untuk menyatukan diri. Memang dalam janji itu juga tersirat kekhawatiran dan sikap realistis akan adanya kemungkinan yang tidak diinginkan, seperti sakit, penyakit, kedukaan, kemalangan, dan situasi negatif lain. Janji ini menyangkut kepastian yang keluar dari mulut kedua belah pihak untuk saling setia dan berteguh dalam segala situasi, terutama dalam situasi yang sulit. Rumusan ini jelas difasilitasi oleh hukum Gereja yang amat mendukung monogami dan tak terceraikannya perkawinan Katolik.

Dalam kesedihan dan perasaan bersalah (bukan kesalahan) yang dialami istri Anda, ia memberi izin yang sebenarnya tidak pernah boleh diberikan oleh seorang istri Katolik, karena ia terikat janji perkawinan yang tak terceraikan itu. Poligami dengan maksud “baik” seperti itu tak ada dalam rumusan Gereja Katolik. Perpisahan hanya terjadi karena kematian. Selama ini Anda dengan istri juga dalam situasi baik, kecuali karena ia sakit, bukan?

Ini adalah tantangan dari Tuhan untuk pernikahan kalian. Bertahanlah untuk membuktikan bahwa cinta kalian benar-benar murni. Hiburlah istri dengan perkataan Anda yang jujur, bahwa penyakit itu tak membuat Anda benar-benar menderita karena kalian tak dapat berhubungan seksual. Hubungan seksual memang penting, tetapi bukan satu-satunya yang penting. Cinta dan kesetiaan Anda di atas segalanya dalam perkawinan.

Perkawinan tak selalu memberi pengalaman senang, melainkan juga pengalaman tantangan dan kesedihan. Berjalanlah terus bersama. Ingatkan istri bahwa cinta Anda kepadanya masih sama. Barangkali, dengan pernyataan ini, ia lebih dapat menanggung sakitnya dengan lebih tabah dan kuat.

Rasul Paulus mengatakan, “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, Karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (Rm.5:3-4). Jadi apakah Anda percaya Tuhan bersama Anda sekeluarga? Tentu demikian adanya. Tuhan memberkati.

Alexander Erwin Santoso MSF

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini