HIDUPKATOLIK.com – Usia menggerus raga, semangatnya tak luntur. Ia berikrar untuk terus memberikan diri bagi Gereja. Ikrar itu masih sekuat 50 tahun lalu, kala ia memutuskan dan menapaki panggilan sebagai biarawati.
Garis-garis keriput menghiasi wajah Suster Marianne Tirtapraja KFS. Tulang punggung perempuan keturunan Tionghoa ini pun telah layu. Kala berjalan, langkahnya agak tertatih. Kerentaan fisik usia senja, 73 tahun, tak menghalangi Suster Maria untuk melangkah setia dalam karya dan pelayanan Gereja.
Dua tahun terakhir, Suster Maria menulis renungan harian untuk acara-acara rekoleksi yang dibuat oleh Seksi Liturgi Paroki St Yakobus Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ia juga kerap menulis renungan harian untuk acara dan buku komunitas Legio Mariae Paroki Kelapa Gading. Selain itu, Suster Maria juga melibati kegiatan Persekutuan Doa Lansia di paroki yang sama.
Mengubah lirik lagu-lagu Madah Bakti, juga lagu rohani lainnya, menjadi salah satu kegemaran. Lirik lagu yang diubah biasanya ia persembahkan kepada rekan suster yang merayakan ulang tahun kelahiran atau merayakan ulang tahun hidup membiara. Suster Maria juga kerap menggambar sketsa bunga untuk di berikan kepada rekan suster atau umat yang berulang tahun.
Semua itu merupakan bentuk pemberian dirinya untuk rekan sesama suster, umat, dan Gereja. Ia berharap bisa terus memberikan diri lewat anugerah yang Tuhan berikan dan lewat panggilan yang ia hidupi.
Perjalanan Panggilan
Suster kelahiran 5 agustus 1941 ini tersenyum saat mengenang kembali mengapa ia menepiskan diri dari kehidupan duniawi dan memilih hidup membiara. Ingatannya seolah terlempar ke masa lampau, tahun 1951, saat ia berusia 10 tahun. Ketika itu, setiap pulang sekolah atau liburan, ia sering membantu para suster misionaris Belanda membersihkan lingkungan sekolah dan Gereja St Yosep Pemangkat, Kalimantan Barat. Ia membantu menyapu, mengepel, mengelap, atau sekadar memungut sampah. Maria selalu diberi hadiah oleh para suster misionaris Belanda. Mereka berkomunikasi menggunakan Bahasa Belanda lantaran Bahasa Indonesia belum begitu dikenal di Pemangkat. “Semua suster di sana pun orang Belanda,” kenangnya.
Maria senang membantu suster karena suka melihat jubah mereka yang putih. Putih itu suci, pikirnya. Namun, lambat laun ia pun mengagumi kepribadian mereka yang membantu warga ketika banjir melanda rumah penduduk. Mereka beramai-ramai datang dan mengungsikan anak-anak ke gereja. Menurutnya, suster merupakan sosok yang penuh belas kasih.
Rasa ingin tahu Maria mengenai kehidupan para suster mulai muncul. Beberapa kali ia menyelinap ke gereja hanya untuk mengintip para suster berdoa ofisi di kapel. Mendengar mereka berdoa, Maria merasa diberkati. Bahkan mendengar kisah mereka, Maria pun merasa kasihan dengan para suster yang sering di tangkap tentara Jepang. Ada dua suster bersembunyi di rumah Maria agar tidak tertangkap, dan peristiwa itu menambah kekagumannya akan perjuangan seorang suster.
Tamat SMP, Maria memutuskan menjadi suster. Orangtuanya mendukung pilihan hidup ini. Maria dianggap sebagai pengganti kakak laki-laki dan perempuannya, yang memilih hidup membiara, tapi berhenti di tengah pendidikan mereka di Belanda. Gerrard, kakak laki-lakinya, sempat menahan niat Maria. Namun, Maria tetap memegang bulat keputusan untuk hidup membiara.
Bersama empat orang lainnya, Maria mengikuti pendidikan calon suster di Bengkayang. Mereka melakukan pelbagai kegiatan doa, merawat lingkungan biara, dan pelayanan ke rumah-rumah penduduk. Tak disangka, satu persatu temannya berhenti sebelum Novisiat. Hanya Maria yang bertahan. “Salah satu dari mereka ada yang jatuh cinta dengan seorang lelaki tampan,” kisah Suster Maria sambil tersenyum.
Tahun 1965, Maria mengikrarkan kaul pertama sebagai anggota Kongregasi Fransiskan Sambas (KFS) Kalimantan Barat. Setelah itu, ia mendapat perutusan untuk mengajar Matematika, Sejarah, dan Bahasa Indonesia kelas IV SD di Sekolah Amkur Pemangkat.
Lima tahun berselang, Suster Maria mengikrarkan kaul kekal. Lalu, ia mengemban tugas perutusan melayani di Paroki St Fransiskus Asisi Tebet, Jakarta Selatan. Merantau ke Jakarta membuatnya semakin sulit bertemu kedua orangtua. Rasa rindu kerap melanda anak bungsu dari 12 bersaudara ini ditengah kesibukannya sebagai guru agama kelas IV-VI dan Bendahara Sekolah St Fransiskus Asisi, serta pengajar katekumen dan persiapan komuni pertama di sekolah dan Paroki Tebet.
Pada tahun kelima perutusan di ibukota, Suster Maria mendapat telegram dari keluarga di Pemangkat. Ayahnya di rawat di rumah sakit karena terserang stroke. Ia diizinkan pulang ke Pemangkat didampingi suster pimpinan. Ia hanya di beri satu hari untuk menjenguk sang ayah. Dua hari setelah kembali ke Jakarta, kesehatan ayahnya semakin melemah hingga akhirnya wafat.
Mendengar kabar itu, Suster Maria menangis sepanjang malam. Ia sedih karena tak punya kesempatan untuk merawat ayahnya. Duka itu kembali ia rasakan sembilan bulan kemudian ketika ibunya menutup usia. “Papah dan Mamah mendidik saya untuk takut akan Tuhan, disiplin, dan bekerja keras,” kenang suster yang berkarya di Paroki Tebet selama 10 tahun ini.
Terus Melayani
Tantangan datang silih berganti dalam perjalanan panggilan Suster Maria. Beberapa suster senior pernah membuatnya nyaris ingin berhenti sebagai suster. Mereka melontarkan anggapan yang sinis kalau Maria akan mengikuti jejak kakak laki-laki dan perempuannya yang memilih mundur dari panggilan selibat. Anggapan itu sempat mengendurkan semangatnya.
Namun, Suster Maria menyerahkan semua kepada Tuhan. Ia membawa persoalan itu dalam doa. “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mzm37:5). Ayat itu menjadi penghibur dan kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup dan panggilan suster yang pernah menjadi guru prakarya untuk murid SMP Amkur Pemangkat ini.
Suster Maria berjuang untuk terus menghidupi panggilannya. Beberapa tugas perutusan lain yang pernah di embannya, seperti melayani panti jompo di Jonggol-Jawa Barat, Pontianak, dan Yogyakarta.
Pada 2011, Suster Maria diutus untuk menetap di rumah Susteran KFS Kelapa Gading. Sebelumnya, pada 1993, ia pernah diutus ke tempat ini juga. Saat ini, ia menjadi pembimbing para calon suster KFS. Berpindah-pindah tempat menjadi tantangan tersendiri baginya. Ia harus menghadapi suasana, budaya, dan karakter orang atau komunitas yang beranekaragam. “Menjadi suster harus pandai bersosialisasi dan menguasai bahasa,” kata suster yang fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Mandarin ini.
Dalam menekuni panggilannya, Suster Maria berjuang untuk memberikan diri dalam karya dan pelayanan bagi Gereja. Ia bersyukur bisa merayakan emas hidup membiara pada 11 Juni lalu. “Saya berharap bisa menghayati dan merenungkan panggilan Tuhan sebagai suster sampai sekarang. Dan juga, semoga saya bisa menghidupkan kembali semangat untuk melayani dengan rendah hati, tetap sehat dan bisa terus berkarya hingga melewati perayaan intan,” ungkap suster yang pernah hidup bersama calon katekis sambil memberi pengajaran di sebuah asrama di Taiwan selama setengah tahun.
Di tengah kesibukannya, Suster Maria gemar menjahit baju dan membaca. Ia mengungkapkan, dengan melakukan hal itu, otaknya terus bekerja. “Kalau santai-santai saja, saya takut jadi pikun,” demikian Suster Maria.
Takas Tua