HIDUPKATOLIK.com – PULAU Buru merupakan salah satu titik kisar sejarah Indonesia. Sekitar 18.000 tahanan politik pernah dikirim ke sana. Sejumlah pastor mendapat tugas pastoral kemanusiaan. Ada 8000-an orang yang minta dibaptis.
Beberapa kapal pengangkut sapi di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur melepas sauh dan berlayar ke Pulau Buru, Maluku. Muatan kapal itu bukan sapi, tetapi tahanan politik (tapol),orang-orang yang dituduh atau diindikasikan terlibat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka dibuang ke Pulau Buru akhir 1969 setelah sebelumnya mendekam di kamp atau penjara berbagai kota di Indonesia.
Cerita itu sampai ke telinga Romo Werner Ruffing SJ. Pastor dari Jerman ini telah lama memendam hasrat untuk berkarya di negara komunis Uni Soviet sebagai “balas jasa” karena Jesuit di Uni Soviet tetap utuh meski pada 1733 ordo yang didirikan St Ignatius Loyola itu dibubarkan atas titah Paus Klemens XIV. Karena kesempatan membalas budi baik Uni Soviet tidak pernah datang, Romo Ruffing pun mencari negara yang dipengaruhi komunis. Dengan semangat balas budi itu, ia datang ke Indonesia, walau G30S tidak berkiblat ke komunis Uni Soviet.
Pada 1973, Romo Ruffing mulai berkarya di Pulau Buru. Kehadiran Romo Ruffing diterima dengan baik oleh para aparat keamanan yang bertugas di Pulau Buru. Tetapi tumpukan masalah antara Romo Ruffing dengan para aparat membuat ia diusir pada 1976. Romo Ruffing lantas mencari tahu, barangkali ada pastor Yesuit lain yang mau menggantikannya di Pulau Buru.
Upaya Romo Ruffing berhasil ketika ia bertemu dengan Romo Alexander Dirdjasoesanta SJ. Saat itu, awal 1977, Romo Alex baru saja pulang dari India mengikuti kursus Maxi Sadhana dari Pastor Anthony de Mello SJ. Romo Alex dengan gembira menerima tawaran Romo Ruffing. Tahun itu juga ia berangkat ke Pulau Buru.
“Saya sangat senang bertualang. Jadi tawaran itu saya terima dengan senang hati,” kata Romo kelahiran 24 Februari 1938 ini mengenang keputusannya ke Buru. Dengan modal Surat Jalan dari Laksamana Sudomo yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Romo Alex memperoleh mendekati para perwira yang bertugas di Pulau Buru.
Surga atau Neraka
Saat itu para tapol yang ditahan di Pulau Buru berjumlah sekitar 18 ribu orang, 400 orang di antaranya Katolik. Para tapol ditempatkan di 18 unit tempat tinggal. Setiap unit terdiri sekitar 800 orang. Di setiap unit terdapat lokasi yang bisa dikelola ladang selain untuk tempat tinggal. “Inilah surga atau neraka kalian, maka tentukan sendiri tempat ini menjadi seperti surga atau neraka sesuai yang kalian inginkan,” kata Romo Alex menirukan kata-kata Komandan Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Pulau Buru.
Banyak tahanan berlatar belakangn pendidikan cukup baik diantaranya terdapat insinyur, dokter, wartawan, guru juga ada mahasiswa. Saat di sana, pemerintah memberi alat-alat bangunan dan pertanian. Dengan fasilitas itu, para tapol membangun barak-barak sebagai tempat tinggal juga untuk untuk para tentara yang menjaga mereka. Ada sekitar 12 tentara yang mengawal setiap unit mereka berasal dari Kodam Pattimura.
Dalam singkat, wajah Pulau Buru berubah. Dari semula hamparan hutan dan bentangan sungai Wai Apu, Buru berubah menjadi hunian dengan fasilitas lengkap. Di setiap unit berjajar rumah dan tempat ibadah diantaranya ada Masjid, Gereja, Pura dan Wihara. Ada juga Gedung olahraga dan kesenian.
Setiap unit dibuka sawah seluas 75 sampai 150 hektar. Air untuk irigasi sawah dialirkan dari sungai Wai Apu. Pertanian berkembang, Buru pun menjelma sebagai lumbung beras bagi wilayah Maluku. Beras dijual hasilnya digunakan membangun pembangkit listrik.
Pewartaan Senyap
Guna mendukung proses rehabilitasi, pemerintah mengirimkan para dokter dan rohaniwan yang ditugaskan untuk merawat dan membina para tapol. Menurut Romo Alex, saat ia tiba di pulau Buru, terdapat 21 rohaniwan Islam dan Protestan memiliki enam pendamping. Sementara itu, Katolik, Hindu dan Budha masing-masing hanya punya seorang pendamping.
Tugas para rohaniwan adalah mengajar agama kepada para tapol sesuai dengan agama masing-masing. Para tapol dilarang berpindah agama. Para rohaniwan boleh memberikan pengajaran Santi Aji (pelajaran budi pekerti) kepada semua tapol. Saat seperti inilah, diam-diam Romo Alex mengajarkan Injil kepada para tapol. “Saya selalu mencuri kesempatan untuk mewartakan Injil kepada mereka.”
Untuk mendukung karya pewartaannya, Imam yang ditahbiskan 16 Desember 1970 ini, menilai perlunya menghadirkan Injil secara nyata dalam kehidupan para tapol. Pada bulan ketiga, ia menulis surat kepada pemerintah Belanda. Isi surat itu adalah meminta bantuan dana untuk membeli kacamata bagi para tapol, karena banyak yang mengalami gangguan penglihatan. Pemerintah Belanda menjawab permintaan Romo Alex.
Melalui Uskup Amboina Mgr Andreas Petrus Cornelius Sol MSC, pemerintah Belanda mengirimkan uang. Romo Alex lalu mengukur tingkat kerusakan mata para tapol dan mencatat hasilnya. Setelah itu ia mendatangi toko optik di Ambon. Para pemilik toko terkejut karena Romo Alex memesan kacamata dalam jumlah sampai ribuan. Untuk mengakali, optik di Ambon mengirim catatan pemeriksaan Romo Alex ke Surabaya. Dari Surabaya dikirimkan kacamata sesuai dengan jumlah yang diminta.
Romo Alex juga meminta bantuan obat-obatan kepada pemerintah Jerman. “Sebagai pengantar saya ceritakan kisah saya di Pulau Buru,” ujarnya. Pemerintah Jerman menjawab permintaan Romo Alex.
Selain itu, Romo Alex juga menjadi penghubung antara tapol dengan keluarganya. Para tapol mengirim surat ke keluarganya melalui Romo Alex, dan sebaliknya. Oleh Romo Alex surat-surat itu dikirimkan melalui perantaraan Mgr Sol, Romo Stanislaus Sutapanitra dan Romo Paul de Blot SJ.
Romo Alex juga membelikan kertas dan karbon untuk para tapol yang memiliki hobi menulis seperti Pramoedya Ananta Toer. Kelak, Pramoedya menulis Tetralogi Buru seperti Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, dan Rumah Kaca. Sebagian karyanya diselundupkan oleh Romo Sutapanitra,dan sebagian lainnya lewat Romo Alex.
Pembatisan Massal
Karya pastoral Romo Alex melahirkan keakraban antara dirinya dengan para tapol. Beberapa tapol secara terang-terangan meminta untuk diajari agama Katolik dan dibaptis. Romo Alex menentukan syarat pembaptisan. Bahwa mereka harus mengikuti kelas agama Katolik sedikitnya 40 kali pertemuan. Untuk membantu tugas itu, Romo Alex menunjuk ketua lingkungan di setiap unit. Ketua lingkungan bertugas mencatat nama para tapol yang sudah 40 kali mengikuti pelajaran agama dan memilih nama baptis untuk mereka.
Materi katekese yang diajarkan kepada tapol berkisar pada nilai –nilai persaudaraan, kemanusiaan, kejujuran, toleransi, komitmen pribadi. Kadang para komandan unit bertanya kepada Romo Alex mengenai ajarannya. Pada akhirnya para komandan tidak peduli dan membebaskan Romo Alex untuk mengajar, asal tidak membuat para tapol berpindah agama. “Itu mungkin efek surat ajaib dari Laksamana Sudomo,” kata Romo Alex.
Setelah para tapol memenuhi kelengkapan persyaratan baptis, Romo Alex akan berkeliling dari unit ke unit. Biasanya ia tinggal selama dua hari di masing-masing unit. Sore hari sekitar pukul 16.00, setelah para tapol pulang kerja dari ladang dan sawah mereka akan mandi di sungai. Para calon baptis akan memberi tanda kepada Romo Alex, berupa alang-alang yang dipegang atau diikat di kedua tangan. Mereka satu per satu menceburkan diri dan mendekati Romo Alex. Setelah berada dalam jarak dekat, calon baptis akan menyebut nama baptisnya.
Romo Alex memegang kepala calon baptis, lalu membenamkannya ke dalam air dan membaptis, “Aku membaptis kamu dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Pergi kamu.” Biasanya, Romo Alex membaptis sekitar 40 orang setiap “acara pembaptisan”. Para tapol yang telah dibaptis didata oleh ketua lingkungan.
Setelah menerima pembaptisan, mereka akan menerima sakramen pengakuan dosa dan Ekaristi. Pengakuan dosa dilakukan dengan mengucapkan doa “Saya Mengaku” dan ditutup dengan absolusi umum. Pada 1979-1980 hampir setengah dari jumlah tapol di Pulau Buru menjadi Katolik. Romo Alex membuatkan surat baptis untuk setiap tapol.
Pada akhir 1978, Romo Alex menderita penyakit kuning. Mgr Sol memintanya untuk berobat ke Jawa. Romo Alex sebenarnya ingin berkarya sampai semua tapol bebas. Tetapi demi kepatuhan kepada Mgr Sol dan kesehatan, ia mengalah. Setelah pembebasan 1979 banyak tapol yang pulang ke tempat asalnya masing-masing atau setidaknya keluar dari Buru. Sejak saat itu, Romo Alex praktis kehilangan kontak dengan para tapol.
Dulu dan Sekarang
Romo Alex bukanlah satu-satunya imam yang menapakkan jejak pastoralnya di Pulau Buru. Sebelum dia, ada Romo Sutapanitra, Mgr Sol, Romo de Blot dan Romo Ruffing. Salah satu karya pastoral yang diingat Romo Alex adalah cerita tentang Romo de Blot yang membantu, khususnya para tapol yang masih berstatus mahasiswa. Dengan caranya, Romo de Blot berhasil membebaskan beberapa mahasiswa sebelum keputusan bebas dari pemerintah diberlakukan.
Setelah Romo Alex, ada beberapa imam lainnya yang memberikan pelayanan pastoral di Pulau Buru. Menurut cerita Romo Alex, ada seorang imam yang melakukan pembaptisan terbuka. Sontak, tindakannya itu menimbulkan kegusaran para aparat yang bertugas di sana. Imam itu lantas diminta untuk berhenti membaptis. Imam itu merasa heran mengapa ia dilarang membaptis. Ia pun bertanya kepada salah satu perwira keamanan Pulau Buru, “Mengapa Romo Alex yang membaptis ribuan orang tidak dilarang?” Namun perwira itu tidak mendengarkan celotehan sang imam.
Setiap imam yang berpastoral di Pulau Buru berkarya dalam misi yang sama yaitu mengusahakan kepedulian manusiawi dalam perspektif Gereja. Kepedulian itu terwujud dalam cara seperti memberikan bantuan obat-obatan dan menjadi penghubung tapol dengan keluarga. Kepedulian manusiawi ini dirasa penting agar tapol tidak kehilangan kepercayaan diri dan tetap memiliki semangat hidup.
Kini Pulau Buru memiliki dua paroki dan 24 stasi. Sebelum kedatangan para tapol, di Pulau Buru sudah ada gereja di Namlea dengan jumlah umat yang sedikit. Namlea masuk dalam wilayah paroki Masohi, Maluku Tengah. Pada 1970, Namlea resmi menjadi Paroki dengan nama Paroki Santa Maria Bintang Laut.
Setelah pembebasan tapol, jumlah umat Katolik meningkat tajam, sampai 3.000 orang. Mereka adalah para tapol yang enggan balik ke tempat asal masing-masing atau ada pula yang tetap dihukum karena pelanggaran hukum selama masa penahanan. Dari masa ke masa, jumlah umat Katolik Pulau Buru terus bertambah. Tetapi kerusuhan pada 1999 menyebabkan eksodus umat dalam jumlah yang besar. Jumlah umat saat ini sekitar 3000-an orang. Untuk memudahkan pelayanan kepada umat, Keuskupan Ambonia pada 2010, mendirikan sebuah paroki baru lagi yaitu Paroki St Antonius Namrole Buru Selatan.
Edward Wirawan
Laporan: Pastor Paul Ngalngola MSC (Pulau Buru)
Sumber: Majalah HIDUP edisi No.39/2015