Karena Rancangan-Ku Bukan Rancanganmu

601
Thomas Aquino Sutadi.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Keinginannya menjadi imam harus terhenti karena sakit. Ia memberontak dan merasa dirinya dibuang Tuhan. Hingga akhirnya, ia sadar setiap orang memiliki jalan panggilannya. Ia dipanggil untuk melayani sebagai awam.

Lima orang pemuda dari Stasi St Lucia Kalireja, Paroki St Theresia Boro, Keuskupan Agung Semarang (KAS) terlihat sibuk. Keluarga mereka pun turut sibuk. Hari itu menjadi hari istimewa. Mereka didoakan, dinasihati, dan disanjung laksana raja. Bukan itu saja, lima pemuda itu juga disuguhi beragam makanan enak. Lima laskar Kristus itu akan menempuh pendidikan di Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Seorang dari lima pemuda itu adalah Thomas Aquino Sutadi. Dengan langkah pasti dan percaya diri, ia dan teman- temannya masuk Seminari Mertoyudan pada 1983. Rektor Seminari Mertoyudan waktu itu, A. Soenarwidjaja SJ.

Menjadi seorang imam adalah cita- cita yang membulat di hati Sutadi. Ketika akhirnya, langkah untuk menggapai cita-cita itu harus terhenti. Ada kecewa mendalam yang menyelimuti hatinya.

Terus Berjuang
Selama menempuh pendidikan di Seminari Mertoyudan, rekan seminaris, pamong dan guru mengenalnya sebagai seminaris yang serius dan pendiam, tapi tekun dalam belajar. Banyak orang beranggapan, Sutadi pasti menjadi imam.

Di tahun keempat, Sutadi mulai mempersiapkan diri untuk ujian akhir seminari dengan sungguh. Ia menggenggam keyakinan, hasil ujiannya akan baik. Terbesit dalam pikirannya, senyum puas orangtua.

Tiga bulan sebelum ujian akhir seminari, 1987, Sutadi merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia kerap merasa lemas dan tidak bersemangat. Dari hari kehari selera makannya pun kian menurun.

Selain itu, laki-laki kelahiran Kulon Progo, DI Yogyakarta, 25 Mei 1967 ini sering merasa mual serta sendi-sendi kaki dan tangan pun terasa nyeri. Sklera, lapisan luar mata yang berwarna putih berubah warna menjadi kuning. Awalnya Sutadi berpikir itu terjadi karena kelelahan, sibuk mempersiapkan ujian akhir.

Seiring waktu, kesehatan Sutadi menurun drastis. Ia pun harus menjalani pemeriksaan kesehatan lengkap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Ia merasa seperti tersambar petir di siang bolong ketika mendengar diagnosa dokter atas penyakitnya.

Berdasarkan hasil laboratorium, dokter menjelaskan, Sutadi mengidap penyakit Hepatitis B. Mendengar itu, ia lemas. Rektor Seminari, Romo Soenarwidjaja juga merasa terpukul atas apa yang menimpa seminarisnya.

“Saya sangat terkejut. Tidak dapat menerima hasil pemeriksaan itu. Apalagi saya diberi tahu bila tidak ditangani serius, penyakit ini akan jauh lebih buruk. Serangkaian pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa keadaan liver saya tidak baik,” kisah sulung dari empat bersaudara, dari pasangan Matius Priyapto dan Carolina Tukinem ini.

Meski demikian, Sutadi tetap mengikuti ujian akhir. “Saya terpaksa harus berbaring di Ruang Sakit di seminari sebelum, selama dan sesudah ujian. Syukurlah, saya masih bisa lulus ujian,” kenangnya.

Setelah kelulusan, acara perpisahan pun digelar di seminari. Usai acara, Romo Soenarwidjaja mengatakan kepada Sutadi, sebaiknya ia tidak melanjutkan pendidikan imamat mengingat kondisi kesehatannya. Ia merasa sangat terpukul mendengar hal itu.

Sesudah acara perpisahan, kondisi Sutadi kian memburuk. Ia harus di rawat di RS Elisabeth Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. Meski begitu, ia masih berniat untuk melanjutkan cita-citanya.

Dengan berbagai pertimbangan, Sutadi memutuskan untuk melamar ke Novisiat St Stanislaus Girisonta Semarang, Jawa Tengah. Ia bersyukur ketika dinyatakan diterima sebagai novis Serikat Yesus (SJ) bersama 20 rekannya.

Seperti halnya di Mertoyudan, Sutadi berusaha untuk menjalani masa novisiat dengan serius. “Tidak mudah bagi saya untuk menjalani pendidikan di novisiat. Dalam sebulan, saya bisa satu atau dua kali pergi ke RS Elisabeth untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam,” ungkapnya.

Setiap kali keluar dari ruang pemeriksaan, wajah Sutadi murung, sedih karena tidak ada kemajuan dalam kesehatannya. Ada rasa khawatir dan takut menyelimuti hatinya. “Jangan-jangan penyakit saya benar- benar akan memburuk dengan cepat. Jangan-jangan saya tidak akan sampai pada tujuan imamat, dan jangan-jangan tidak lama lagi saya akan mati,” ujarnya. Rasa khawatir dan takut yang menghampiri itu pun membuatnya mengalami kesulitan untuk menghayati makna percobaan dan latihan rohani dalam Serikat Yesus.

Hingga suatu malam, setelah dua tahun berjuang di novisiat, Sutadi dipanggil oleh Magisternya. Menurut Magister, Romo Provinsial telah memutuskan, Sutadi tidak dapat melanjutkan pendidikan novisiat lagi. “Saya sangat terpukul, tetapi saya tidak dapat berbuat apa-apa. Apa yang saya rencanakan tidak selalu merupakan kehendak Tuhan. Ini sesuai dengan sabda Tuhan dalam Kitab Nabi Yesaya bahwa rancangan saya bukanlah rancangan Tuhan (bdk. Yes 55:8), dan bahwa banyak yang dipanggil namun sedikit yang dipilih (bdk. Mat 22:14),” tuturnya.

Menerima Masa Lalu
Sekitar seminggu kemudian, Sutadi diantar pulang oleh pendampingnya di Novisiat. Di rumah, ia merasa bingung dan takut akan masa depan. Badannya kian kurus dan lemah. Ia hanya terbaring di tempat tidur. Semangat hidupnya seolah padam. “Saya juga takut untuk bertemu orang-orang di luar keluarga. Saya tidak tahu bagaimana nanti bersikap ketika mendapatkan cibiran, hujatan atau cercaan karena saya njebling atau dianggap gagal.”

Dalam situasi runyam itu, Tuhan membuka jalan. Tak sengaja Sutadi bertemu Romo Joanes Maryana SJ dan disarankan berobat kepada Romo Henk Loogman MSC di Kutoarjo. Setelah berobat, kondisinya berangsur pulih. Saat kondisi dirasanya sehat ia kemudian mendaftar untuk belajar Bahasa Inggris di Akademi Bahasa Asing (ABA) Yogyakarta.

Lalu Sutadi mendaftarkan diri ke Sekolah Tinggi Filsafat Kateketik (STFK) Pradnyawidya, Yogyakarta. Harapannya, pendidikan kateketik bisa menjadi jembatan untuk melanjutkan pendidikan menuju imamat. Seandainya tidak menjadi imam, ia bisa menjadi pewarta dan melayani Gereja sebagai katekis atau guru agama.

Namun getir harus ditelan, ia tidak diterima di STFK Pradnyawidya. Ia makin merasa ’dibuang’ Tuhan. “Saya berusaha melupakan semuanya dan menempatkan diri sebagai orang buangan. Saya telah memutuskan untuk menghilang dari peredaran,” ujar suami Maria Gratia Maxi ini. Tahun 1993, ia mengajar di lembaga kursus Bahasa Inggris di Jakarta.

Perjumpaan pada 1997 dengan sahabat lama, rekan seangkatan di Seminari Mertoyudan, Romo A. Adi Indiantono, seolah menjadi titik balik hidup Sutadi. Lewat sapaan, gurauan dan sharing, ia mulai menerima pengalaman masa lalu. Sejak itu, ia membuka diri kepada teman-teman lama. “Saya mulai berdoa untuk seminari dan SJ. Saya sadar, saya lebih banyak memberontak kepada Tuhan.”

Sambil bekerja, ia melanjutkan studi S1 Administrasi Negara (2002) dan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Terbuka (2005). Di tengah kesibukan pekerjaan, ia melibati kegiatan Gereja di Paroki Beata Maria Virgine (BMV) Katedral Bogor: sebagai Seksi Liturgi, Koordinator Subseksi Koor dan Musik Liturgi Paroki Katedral Bogor, aktif di koor lingkungan dan wilayah. Ia juga terlibat sebagai Subseksi Musik Liturgi, Komisi Liturgi Keuskupan Bogor.

Dalam perjalanan hidupnya, Sutadi yang juga biasa disapa Thomas ini menyadari bahwa panggilannya bukan menjadi imam. “Saya bersyukur bahwa dipilih menjadi awam. Tuhan sudah membuat rencana sendiri untuk saya. Dia tahu, kalau saya menjadi imam, saya pasti menjadi imam yang imbas-imbis (tidak bermutu), atau imam yang akan menyusahkan umat. Saya semakin menyadari, Tuhan selalu ada bersama saya dan tidak meninggalkan saya seorang diri,” ungkap staf pengajar musik Gregorian Seminari Stella Maris, Bogor ini.

Yustinus H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini