HIDUPKATOLIK.com – SEJAUH ini dalam pengamatan saya memang belum banyak tokoh Katolik terkena operasi tangkap tangan KPK. Setidaknya saya menulis dua jilid buku tentang Tokoh Katolik Indonesia, belum ada satu pun yang dicokok KPK. Memang mengejutkan publik baru-baru ini tertangkap tangan KPK, Dirjen perhubungan Laut, Antonius Tonny Budiono dengan barang bukti uang dalam berbagai mata uang asing senilai hampir 20 miliar rupiah. Kita juga dikagetkan oleh pengakuan anak muda Johannes Marliem, saksi kunci tentang skandal mega korupsi e-KTP yang nilainya hampir dua triliun. Sayang sebelum kasus mega korupsi e-KTP ini terbongkar dengan tersangka Ketua DPR Setya Novanto, ia tewas secara tragis di rumahnya di Los Angeles, Amerika Serikat dengan dugaan bunuh diri.
Melalui kasus tersebut, meski selama ini orang Katolik jarang tersangkut kasus korupsi KPK, tapi sekali tersangkut nominalnya sungguh fantastis. Semoga kedua kasus itu tidak jadi fenomena gunung es, yang sebenarnya masih banyak lagi kasus skandal korupsi melibatkan orang Katolik tapi belum diusut ke ranah hukum. Sebenarnya korupsi tidak dapat direduksi dalam perspektif agama sebab dalam korupsi semua orang punya “agama” yang sama. Oleh karena itu, persoalan korupsi melampaui sekat-sekat agama tersebut. Kalau ingin disebutkan semua orang yang tersangkut korupsi, mewakili semua agama di Indonesia, seperti Islam, Protestan, Katolik, Buddha dan Hindu. Lalu, apakah agama masih relevan bagi koruptor? Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi para teolog untuk menjawabnya dengan sungguh-sungguh.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun ini juga merilis buku tentang Anti Korupsi. Tepat di tahun yang sama, tertangkap pula mega korupsi yang melibatkan orang Katolik. Menurut penelusuran media, terhadap figur Katolik tersebut juga cukup mengejutkan, misalnya Tonny Budiono dikenal sebagai pribadi yang berprestasi, sederhana, tanpa ada catatan kriminal sebelumnya. Bahkan yang bikin saya agak kaget, sekelas politikus Fahri Hamzah pun ikut memberi komentar tentang kasus Tonny Budiono. Dia justru “membela” Tonny Budiono meski hal ini punya alasan dalam rangka untuk mengembosi KPK. Fahri adalah orang yang mengetok palu terbentuknya Pansus KPK di DPR.
Upaya Mendeligitimasi KPK
Di luar dugaan publik, akhirnya Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK tetap nekad datang ke Lapas Sukamiskin Bandung. Begitulah adanya DPR kita, selalu tidak dapat memenuhi harapan publik dan sangat tidak etis. Kita selalu meragukan integritas DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya selama ini. Biarlah publik yang menilai, pada dasarnya masyarakat sudah cerdas dan dapat menarik simpulan dari dagelan yang dipertontonkan oleh Pansus DPR itu.
Pansus Hak Angket KPK meminta keterangan dari para napi koruptor di Lapas Sukamiskin, merupakan manuver yang tidak lazim. Selain tidak lazim, manuver tersebut bertentangan dengan nalar publik. Sebab, keterangan yang digunakan oleh Pansus Angket untuk menyelidiki KPK diperoleh dari para napi yang divonis melalui pengadilan yang sah.
Apa yang dilakukan Pansus Angket ini tidak lazim dan melawan nalar publik. Dalam perspektif politik tentu ini jadi manuver pansus. Tapi secara yuridis napi tersebut sudah dihukum melalui proses peradilan yang kredibel dan legal. Tindakan pansus hak angket untuk mengkonfrontasi keterangan para napi yang menyebut KPK terindikasi melakukan pelanggaran pun tidak masuk akal.
Antasari Azhar, mantan Ketua KPK saja tidak dapat izin keluar Lapas saat anaknya menikah. Belajar dari kasus Antasari tersebut, ternyata di luar dugaan pansus dapat menghadirkan napi koruptor dalam proses penyelidikan hak angket di DPR. Mereka adalah Yulianis dan Muchtar Effendi. Meski napi koruptor hadir di DPR, sulit pula untuk mempercayai apakah keterangan para napi tersebut benar. Dengan agadium klasik, mana ada maling mengaku? Jawabnya pasti tidak, kecuali amatir. Dan kalau DPR kita masih waras, tentu secara logis, tuan rumah tidak perlu berkompromi dengan maling di rumahnya.
Selanjutnya, adanya surat DPR yang ditandatangani Wakil Ketua DPR Fadli Zon, pada intinya meminta KPK agar menunda penyidikan kasus Ketua DPR Setya Novanto karena proses praperadilan tengah berjalan. Menjadi lucu dan aneh tatkala DPR meminta untuk dihentikan sementara proses penyidikan Setya Novanto. Lalu dasarnya apa? Kalau DPR mengirim surat justru sebagai bentuk intervensi, tidak ada alasan lain, kecuali intervensi secara politik! DPR tidak memiliki otoritas untuk meminta penghentian penyidikan. Ini adalah tindakan ngawur dan akal-akalan DPR saja!
Selain tidak berdasarkan hukum, penghentian penyidikan dapat dilakukan Novanto memenangkan gugatan praperadilan yang telah diajukan di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Karena itu, KPK silakan mengumpulkan bukti-bukti melalui penyidikan, sementara proses praperadilan juga berjalan. Meski Novanto ajukan praperadilan tidak mempengaruhi proses penyidikan kasus. KPK tetap dapat melakukan proses penyidikan kasus Novanto. Jika nanti akhirnya Novanto menang di pengadilan baru dapat dihentikan.
Perlu Evaluasi terhadap KPK
Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman membuka tabir baru bahwa KPK bukanlah lembaga yang bersih yang selama ini dicitrakan oleh banyak orang. Cukup banyak persoalan yang pelik yang selama ini disembunyikan oleh lembaga antirasuah tersebut. Hal itu disampaikan dengan jujur dan berani oleh Brigjen Aris Budiman.
Apa yang disampaikan oleh Direktur Penyidikan KPK di Pansus tentu harus diapresiasi, terlepas dari dukungan kita kepada KPK. Kejujuran dan keberanian Brigjen Aris Budiman harus kita pandang sebagai sebuah nilai yang patut diperjuangkan. Misalnya, adanya friksi di dalam internal penyidik dan adanya orang kuat di dalam internal penyidik KPK. Tentu hal ini jadi kompetisi yang tidak sehat bagi penyidik KPK.
Jika apa yang disampaikan Direktur Penyidikan KPK tersebut benar adanya, maka dapat membahayakan eksistensi KPK. Jika hal itu benar maka sistem kerja di KPK tidak berjalan sesuai dengan standart operating procedure, akhirnya menjadi mandul dan spekulatif. Dalam konteks penegakan hukum menjadi sembrono! Menimbang hal tersebut disampaikan oleh pejabat yang memiliki otoritas, yakni Direktur Penyidikan KPK. Sehingga kita dapat meragukan sistem kerja di KPK selama ini. Doktrin hukum pidana, hukum pidana selalu menjadi upaya paling terakhir (ultimum remidium), jadi tidak boleh main-main dengan hukum pidana.
Publik tentu mendukung langkah KPK dalam memberantas korupsi di republik ini. Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Korupsi dapat membuat bangkrut negara ini. Jadi perlu ada evaluasi terhadap KPK jika memang benar ada persoalan internal, termasuk tuduhan “jual beli” perkara, KPK tidak boleh memposisikan diri sebagai superman. Jika ada yang tidak beres mesti berani berbenah dan segera mengoreksi diri demi kebaikan KPK sendiri. Kalau KPK mau lebih hebat harus berani berubah!
Penutup
Ada apa di balik skenario Pansus KPK ini? Menurut hemat saya, agenda utamanya delegitimasi KPK yang diketuai Agus Rahardjo, pria kelahiran Magetan, Jawa Timur itu. Mengingat selama ini KPK selalu menunjukkan taring soal pemberantasan korupsi baik di level legislatif, yudikatif, eksekutif maupun korporasi. Berdasarkan catatan ICW, sejarah delegitimasi lembaga antikorupsi seperti KPK merupakan pola berulang. Sudah ada tujuh institusi pemberantasan korupsi patah tumbuh hilang berganti di republik ini. Empat di antaranya sengaja dimatikan setelah mencoba agak keras menyeret penguasa dengan delik korupsi.
Akhir kata, izinkan saya mengutip pepatah bijak Romawi Kuno, ad astra per aspera, untuk menggapai bintang, harus melalui pengorbanan. Mari kita bela dan dukung KPK dengan segenap akal dan budi, memang tidak gampang memberantas korupsi, korupsi tidak mengenal agama, uang memang tidak berbau. Dibutuhkan pengorbanan yang besar untuk mencapai ke bintang, sama halnya dalam memberantas korupsi. Mari kita jangan pernah lelah terus mencintai Indonesia. Merdeka!!
Benny Sabdo
Sekretaris Jenderal ISKA