Martir Suku Maya, Siapakah Dia?

288
Pater Stainly Francis Rother memberkati anak-anak Suku Maya.
[catholicnewsagency.com]

HIDUPKATOLIK.com – Sebagai calon imam, ia mengalami kesulitan dalam belajar. Secara intelektual, kemampuannya terbatas. Namun, kesalehan dan semangat misinya begitu membara. Ia pun menerima mahkota kemartiran di ladang misi.

Santiago Atitlán, Guatemala adalah daerah yang mustahil berkembang bagi misi Katolik. Selain karena miskin, daerah ini hanya dihuni masyarakat pribumi Tz’utujil dari Suku Indian Maya. Mereka hidup di lingkungan yang gersang. Hampir semua sumur selalu saja kering. Hasil pertanian seperti jagung, latex, dan tortilla, tak selalu menjanjikan.

Tantangan lain adalah komunikasi. Masih ada orang Suku Maya yang berkomunikasi dengan corak glyph, ‘gambar dan simbol’. Siapapun yang ingin masuk daerah itu, syaratnya harus mengusai bahasa Tz’utujil dan berkomunikasi dengan cara glyph. Tak heran, kesulitan berbahasa menjadi titik perpecahan dan perang antarklan di Atitlán. Hampir di setiap wilayah yang dibangun dengan peradaban Mesoamerika, jauh dari pesan damai.

Membuka misi di Atitlán sama saja bunuh diri. Tak terbayang bagaimana membangun infrastruktur; pun bagaimana menangani kekerasan di sana. Atitlán sungguh terlihat mustahil sebagai sebuah target misi Gereja. Keuskupan Oklahoma dan Tulsa (kini Keuskupan Agung Oklahoma), Amerika Serikat, pernah mencoba membuka misi di Atitlán, tetapi selalu gagal. Beberapa imam yang ditugaskan ke Guatemala selalu berakhir dengan kematian atau melarikan diri dari misi itu.

Sejarah menoreh, seorang imam yang berhasil menyelesaikan misi di tempat ini sampai wafat adalah Pater Stainly Francis Rother. Imam Keuskupan Oklahoma ini merintis sebuah karya misi asing di Guatemala sekitar tahun 1960.

Keluarga Petani
Stainly lahir dalam sebuah keluarga Kristen yang taat di Desa Okarche, Oklahoma. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan kemiskinan. Orangtuanya, Franz Rother (19112000) dan Gertrude Smith (19131987), membesarkan Stainly di sebuah desa yang dihuni para imigran Jerman.

Sebagai sulung dari lima bersaudara, Stainly mewarisi keuletan sang ayah dalam bidang pertanian. Ia bisa mengoperasikan mesin bajak, meracik pupuk, serta membuat pestisida sintetis. Ia juga mahir memperbaiki mesin pertanian yang rusak. Keuletannya membuat pertanian mereka cepat beralih dari corak tradisional menjadi pertanian modern.

Beranjak remaja, Stainly mulai menunjukkan keunggulan lain. Ia mulai tertarik mempelajari iman Katolik. Sebelum dan sesudah bekerja, ia acapkali mengunjungi Gereja St Yohanes dan Gereja Tritunggal Mahakudus di sekitar tempat tinggalnya. Intensinya hanya satu, ia ingin menjadi imam. Usai lulus dari Sekolah Trinitas, ia dikirim ke Seminari St Yohanes. Ia kemudian melanjutkan ke Seminari San Antonio, Texas.

Selama masa studinya, Stainly bukan orang brilian. Kelahiran Okarche, 27 Maret 1935 ini, kesulitan belajar bahasa Latin dan juga logika. Dosen memberi berapa kali kesempatan untuknya, tapi Stainly gagal terus. Hal ini membuatnya selalu mendapat tugas tambahan, seperti menjadi koster atau penjaga perpustakaan. Tugas menjadi tukang ledeng serta tukang kebun pun silih berganti hinggap di pundaknya. Namun, ia melakukannya dengan sepenuh hati.

Selama enam tahun menjalani studi di Texas, Stainly tak menunjukkan perubahan yang berarti. Ia terpaksa dikeluarkan dari seminari. Sr Clarissa Tenbrick, wali kelas saat Stainly kelas V Sekolah Dasar sempat menulis sebuah surat untuk menguatkannya.

Karena keinginan menjadi imam sangat besar, Stainly memberanikan diri menghadap Kepala Paroki Okarche, Pater Edmund von Elm. Dalam perbincangan itu, Pater Elm merekomendasikannya bertemu Uskup Oklahoma dan Tulsa, Mgr Victor Joseph Reed (1905-1971).

Stainly lalu diminta segera mempersiapkan diri untuk menjalani studi di Seminari St Maria di Emmitsburg, Maryland. Rektor Seminari Maryland, Pater George Mulcahy berkisah, “Stainly adalah seorang calon imam sederhana. Ia tak unggul dalam studi, tapi gaya hidupnya sangat berkesan bagi para koleganya.” Pada 25 Mei 1963, Diakon Stainly ditahbiskan imam.

Misi Tersulit
Tugas perdana setelah ditahbiskan adalah menjadi pastor paroki. Pater Stainly mengawali karyanya sebagai Kepala Paroki St William di Durant, kemudian Paroki St Fransiskus Xaverius di Durant, Katedral Keluarga Kudus di Tulsa, dan Gereja Corpus Christi di Oklahoma. Ia dikenal sebagai imam yang saleh, yang membuka diri menjadi bapak pengakuan bagi para penjahat di Oklahoma. Ia rela menunggu berjam-jam di ruang pengakuan agar umat mengaku dosa. Ia menjadi gembala yang hebat karena pelayanannya.

Tahun 1968, sebuah proposal misi asing ia terima. Tanpa banyak pikir, Pater Stainly menyatakan kesanggupan dan menerima misi asing dari Keuskupan Oklahoma dan Tulsa di wilayah Santiago Atitlán, Guatemala barat daya. Ia sadar bahwa menerima misi ini berarti harus siap mati.

Atas bantuan Pater Ramón Carlín, imam yang pernah bertugas di Tz’utuhil, Pater Stainly belajar sedikit bahasa Suku Maya. Ia juga belajar membaca dan menulis, serta menghafal percakapan sehari-hari Suku Maya. Imam pencinta kuda ini tiba di Atitlán tahun 1970 dan disambut dengan berbagai penolakan. Tapi misionaris muda ini terus bertahan. Lewat kotbahnya dalam bahasa Tz’utujil, banyak orang mulai percaya kepadanya. Ia pun memberanikan diri menerjemahkan Kitab Suci Perjanjian Baru dalam bahasa lokal. Lambat laun, banyak orang mencintainya. Mereka menyapanya, A’Plas,“Bapak berjenggot Francisco.”

Karya berikutnya adalah membangun infrastruktur. Pater Stainly mendirikan rumah kesehatan untuk masyarakat Suku Maya. Ia melatih keterampilan bertani modern, seperti cara menggunakan buldoser dalam membajak, membersihkan tanah, membuat pengairan, irigasi, cara menggunakan pupuk, dan mesin pemotong padi. Dalam sekejap, Atitlán berubah menjadi “Kota Tortilla” dengan penghasil jagung terbanyak di Guatemala.

Menolak Pergi
Status pertanian yang berubah di Atitlán menjadi incaran banyak penguasa. Namun, sistem kekerabatan yang kental dalam masyarakat Maya membuat para penguasa sulit merebut Atitlán. Mereka lebih mendengarkan “si bapak berjenggot” ketimbang penguasa. Hal ini membuat banyak orang ingin membunuh Pater Stainly.

Tahun 1980, Pater Stainly dikagetkan dengan pembunuhan pegawai radionya. Tak tahan dengan situasi ini, ia lalu mulai mengkritik pemerintah. Pada Mei 1981, ia menulis kritiknya dan disiarkan lewat radio. Banyak umat mulai was-was karena beredar isu bahwa Pater Stainly akan dibunuh. “Jika kematian adalah takdir saya, maka terjadilah,” ungkapnya menanggapi isu tersebut.

Lewat Francisco Bocel, seorang anak kecil polos, tiga Ladinos (tentara Guatemala) mengetahui tempat istirahat Pater Stainly. Di hadapan Francisco, tiga Ladinos itu membunuh Pater Stainly dengan dua kali tembakan persis di kepala dan dadanya. Ia wafat pada 28 Juli 1981 pada usia 46 tahun.

Kematiannya ini meninggalkan luka yang mendalam bagi masyarakat Suku Maya. Mereka mengenang kematiannya dalam acara peringatan selama tujuh hari. Jenazahnya lalu dimakamkan di Gereja Tritunggal Mahakudus, Okarche, 3 Agustus 1982, tapi hatinya ditahktakan di sebuah gereja kecil di Atitlán. “Kematian Stainly bukan karena perampokan, tapi dendam pemerintah,” tulis Maria Scaperlanda, penulis biografi Pater Stainly.

Proses beatifikasi untuk martir Suku Maya ini diusulkan oleh Keuskupan Agung Oklahoma. Dokter Andrea Ambrosi ditunjuk sebagai postulatornya. Paus Benediktus XVI resmi membuka proses beatifikasinya pada 5 Oktober 2007. Secara resmi, kemartiran Pater Stainly diakui Kongregasi Penggelaran Kudus pada 16 Maret 2012. Pada 1 Desember 2016, Paus Fransiskus mengeluarkan dekrit kemartirannya.

Rencanaya Misa Beatifikasinya akan dilaksanakan pada 23 September 2017 mendatang di Oklahoma. Misa akan dipimpin Kardinal Angelo Amato SDB, Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus. “Kita perlu kesaksian orang-orang suci seperti Pater Stainly untuk mengingatkan kita bahwa semua orang dipanggil untuk kekudusan,” ungkap Uskup Agung Oklahoma, Mgr Paul Coakley, seperti dilansir CAN, 8 Juli lalu.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini