Tahukah Anda Apa Itu Baby Blue Syndrome Dan Bagaimana Mengatasinya?

271

HIDUPKATOLIK.comBu Dewi yang baik, saya punya anak perempuan berusia tiga tahun. Saya dan suami bekerja. Tapi saat ini hingga 16 bulan ke depan saya kuliah di luar negeri. Saya baru bisa kembali usai kuliah, biaya perjalanan yang besar menjadi salah satu pertimbangan. Praktis, saya tak bisa mendampingi anak dan suami saya. Saya merasa Baby Blue Syndrome tetap menghantui saya. Ketakutan saya adalah ketika anak sakit, seperti demam, dan lainlain. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya amat berterima kasih kepada suami dalam hal ini. Apa yang bisa saya lakukan untuk mengurangi baby blue syndrome?

Anastasi Mirasih, London

Apa kabar Bu Anastasi Mirasih, semoga dalam keadaan sehat. Bu Mira, sayang tak menjelaskan sudah berapa lama menderita Baby Blue Syndrome. Soal Baby Blue Syndrome, beberapa referensi menyatakan, sindrom itu sebenarnya umum terjadi kepada ibu yang baru melahirkan. Bisa dikatakan hampir 80 persen mengalami hal ini.

Tak spesifik dijelaskan alasan hal ini bisa terjadi, namun ada kemungkinan kondisi hormonal paska melahirkan yang menyebabkan hal ini. Ada beberapa tanda yang dapat menjadi indikasi kondisi ini yakni: perubahan perasaan bisa terjadi dalam waktu singkat, sesaat senang namun pada waktu lain bisa sangat sedih; merasa tak berdaya, sensitif, mudah marah; terkadang disertai kesulitan tidur.

Hal itu pada dasarnya tergolong normal. Namun jika terjadi dalam waktu lama, lebih dari dua minggu, sudah bisa digolongkan sebagai Post Partum Depression (PPD). Terkait dengan persoalan yang dialami Anda masih perlu digali mengenai Baby Blue Syndrome yang dialami.

Pertama, berapa lama kondisi ini sudah terjadi. Mengingat ananda sudah berusia tiga tahun, kemungkinan bukan problem baby blue syndrome. Bisa jadi perasaan bersalah sebagai seorang ibu, yang dalam waktu lama harus meninggalkan anak tanpa pengasuhan dan pengawasan yang umumnya dilakukan oleh ibu. Pengasuhan itu diserahkan sepenuhnya kepada suami.

Apa yang Anda rasakan itu dalam taraf tertentu juga dialami oleh hampir sebagian besar ibu yang bekerja secara full time. Keterbatasan waktu untuk merawat anak, dan tak bisa mendampingi setiap waktu tentu menjadi beban tersendiri. Terlebih tak bisa melihat pertumbuhan anak, tak bisa mendampingi saat anak sakit, atau bahkan momen-momen penting dalam hidupnya. Itu menjadi risiko bagi para ibu yang bekerja full time dan yang sedang studi dalam jarak yang jauh dari tempat tinggalnya.

Terkait persoalan itu, ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan. Pertama, terima fakta bahwa Anda sudah mengambil keputusan jauh dari buah hati dalam waktu lama. Fakta ini sudah Anda jalani sejak mengambil keputusan untuk menempuh studi. Berusahalah fokus yang sedang Anda jalani agar studi segera selesai, dan cepat berkumpul kembali bersama keluarga.

Kedua, selalu ada konsekuensi dalam tiap keputusan. Terus menjalin komunikasi dengan suami dan buah hati adalah sarana untuk menjembatani hal ini. Teknologi informasi memberikan solusi. Saran saya, manfaatkan seoptimal mungkin sarana itu untuk menjalin kontak dengan keluarga. Setidaknya Anda pun akan mengetahui perkembangan buah hati setiap saat.

Ketiga, mengikuti emosi atau perasaan terus-menerus hanya akan menggerus pikiran dan kesehatan Anda, bisa juga merusak yang menjadi mimpi Anda, dan mengecewakan diri sendiri jika gagal. Terlebih Anda sudah melangkah sejauh ini. Jika Anda sakit atau bahkan gagal, maka yang kecewa tidak hanya Anda, tapi keluarga, perusahaan, atau instansi yang memberi peluang studi untuk Anda.

Keempat, melanjutkan studi adalah fakta yang harus dijalani. Rasa sedih, khawatir, dan takut sesekali muncul merupakan perasaan alamiah sebagai istri dan orangtua. Maka, fokus menyelesaikan studi dengan tetap menjalin komunikasi adalah keputusan yang paling rasional untuk saat ini. Selamat mencoba dan semoga lancar dalam studi.

Dewi Setyorini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini