Renungan Minggu, 17 September 2017 : Pengampunan

2785

HIDUPKATOLIK.com – Minggu Biasa XXIV: Sir 27:30-28:9; Mzm 103:1-2,3-4,9-10,11-12; Rm 14:7-9; Mat 18:21-35

UNTUK memahami kutipan Injil pada hari ini, baik kalau kita perhatikan tempat Mat 18 dalam keseluruhan Injil Matius. Dalam Injil ini, kita temukan lima khotbah besar, yaitu Mat 5-7; 10; 13;18; 24-25. Masing-masing khotbah ditutup dengan akhiran yang sama, “dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini” (7:28; 11:1; 13:53; 19:1; 26:1). Kelima khotbah itu mempunyai pokok pengajaran yang sama, yaitu Kerajaan Allah. Mat 18 sering disebut sebagai khotbah gerejawi, artinya Gereja adalah perwujudan Kerajaan Allah. Yang dibicarakan dalam bab ini adalah ciri-ciri yang seharusnya mewarnai hubungan antara warga Gereja. Ke arah inilah kita akan memahami kutipan Injil yang dibacakan pada hari ini.

Ciri pertama yang amat sentral dalam kehidupan Gereja adalah pengampunan. Petrus bertanya kepada Tuhan, sampai berapa kali ia harus mengampuni saudaranya? Pertanyaan dia jawab sendiri dengan gagah, “Sampai tujuh kali?” Dengan menyebut angka tujuh, Petrus sudah merasa hebat, karena menurut ajaran para Rabi Yahudi, mengampuni cukup tiga kali. Kalau orang berbuat salah kali ke empat, dia tidak diampuni. Para Rabi mengambil kesimpulan ini dengan menafsirkan firman Tuhan ini: “Karena tiga perbuatan jahat Damsyik, bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku” (Amos 1:3.6.9.11.13; 2:1.4.6). Kalau Tuhan hanya mengampuni tiga kali, tidak mungkin dipikirkan, manusia lebih lapang hati daripada Tuhan. Jadi mengampuni tiga kali cukup. Dalam lingkungan yang mempunyai paham seperti ini, mengampuni sampai tujuh kali sudah luar biasa.

Ternyata jawaban Yesus mengagetkan. Ia tidak memuji Petrus yang sudah begitu hebat, tetapi mengatakan bahwa orang harus mengampuni “tujuh puluh kali tujuh kali” (ay 22), artinya tanpa batas. Ini sejalan dengan semangat ajaran Yesus kepada murid-murid-Nya: sesudah mengajarkan doa kepada mereka –yang juga memuat ajaran tentang pengampunan (Mat 6:12)– Yesus masih menegaskan lagi pentingnya pengampunan dengan menegaskan, “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi, jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidakakan mengampuni kesalahanmu” (Mat 6:14-15).

Maha pentingnya pengampunan masih dilanjutkan dengan perumpamaan tentang Kerajaan Sorga (Mat 18:23-31). Kalau raja yang diceritakan dalam perumpamaan ini (ay 23) dimengerti sebagai Allah Bapa, lalu pesan akan kewajiban mengampuni tanpa batas menjadi semakin jelas. Pembebasan hutang sebesar sepuluh ribu talenta –sekitar tiga puluh milyar rupiah sekarang– menegaskan hal itu. Semangat mengampuni warga Gereja mesti sejalan dengan kebesaran hati Allah untuk memberi pengampunan yang tanpa batas.

Ciri kedua yang biasanya kurang diperhatikan dan dapat disimpulkan dari perumpamaan ini adalah kewajiban berbagi. Saudara-saudara yang lebih beruntung dalam Gereja mesti berbagi dengan saudara-saudara lain yang kurang beruntung. Kesimpulan ini dapat ditarik kalau perumpamaan ini dipahami sebagai perumpamaan yang biasanya memakai gambaran-gambaran yang diambil dari kehidupan nyata. Dalam Gereja, ada orang-orang yang dengan tulus ikhlas berbagi: semakin kuat dan besar kemampuannya, warga Gereja semakin rela berbagi, seperti seorang “raja” (bukan Allah Bapa, tetapi orang yang kuat, mampu, berkedudukan tinggi dalam Gereja) (ay 23-27). Nasihat ini perlu ditekankan karena rupanya ada juga warga Gereja yang mempunyai watak lain, bukan “raja” yang dengan murah hati memberi, tetapi sebagai “raja tega” yang dengan satu dan lain cara memeras warga Gereja yang lain (ay 28-30). Yang seperti ini, semestinya tak boleh terjadi dalam Gereja yang adalah wujud Kerajaan Allah yang datang di tengah dunia.

Pemahaman seperti ini didukung penggunaan kata yang berbeda. Dalam dialog antara Petrus dan Yesus, jelas yang dipakai adalah kata “mengampuni”. Sementara dalam bagian akhir perumpamaan, tidak hanya digunakan kata mengampuni melainkan juga “mengasihi” (murah hati), “Seluruh hutangmu telah kuampuni karena engkau memohonnya kepadaku. Bukankah engkau pun harus bermurah hati seperti aku telah bermurah hati kepadamu?” (ay 33).

Yang tak kalah menarik adalah dalam Gereja ada “kawan-kawan” dari anggota Gereja yang lemah yang melihat keadaan yang tidak baik itu dan menyampaikan kepada yang berwenang (ay 31). Mereka adalah anggota Gereja yang mempunyai kepekaan sosial dan moral tinggi yang ingin menjaga agar Gereja tetap dipercaya. Anggota seperti ini selalu diperlukan dalam kehidupan Gereja sepanjang zaman. Inilah yang mungkin dapat ditarik sebagai ciri ketiga.

Mgr Ignatius Suharyo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini