Perjuangan Menerima Kristus Itu Berbuah Emas

983
Pasutri Theresia Ponijah dan Alloysius Asmo Redjo.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Pasutri ini berjuang untuk membesarkan anak-anak mereka. Teladan iman mereka taburkan lewat doa dan hidup sehari-hari. Mereka bersyukur karena bisa mengarungi biduk rumah tangga hingga emas perkawinan.

Pemandangan di kediaman pasutri Theresia Ponijah dan Alloysius Asmo Redjo di Sidoharjo, Lampung Selatan, nampak lain dari biasa. Tenda berdiri di halaman rumah, dilengkapi dengan panggung yang dihiasi bunga bewarna-warni. Kursi-kursi tertata berjajar, menghadap ke panggung. Hajatan besar akan dihelat.

Pada 23 Juni 2015, pasutri Ponijah-Asmo merayakan hari ulang tahun perkawinan mereka ke-50. Perayaan emas ini ditandai dengan Ekaristi, dipimpin Uskup Tanjungkarang Mgr Yohanes Harun Yuwono, bersama sejumlah imam.

Pasutri Ponijah-Asmo bersyukur dan berusaha untuk terus bergandeng tangan menghadapi tantangan dan rintangan dalam menghayati hidup berkeluarga. “Syukur kepada Allah bahwa masa-masa sulit itu akhirnya terlampaui juga, sekurang-kurangnya hingga usia emas perkawinan ini,” ungkap Asmo.

Dijodohkan
Ponijah lahir di Yogyakarta, 9 April 1953. Tamat SD, saudaranya mengajak Ponijah ke Lampung Selatan. Ia tak menduga akan dijodohkan dengan pemuda pilihan sudaranya di sana. Pemuda itu adalah Wagiman.

Ponijah dan Wagiman hanya sekali berjumpa. Namun, hati Wagiman langsung tertambat pada Ponijah. “Kami berkenalan tanpa jabat tangan. Kemudian saya meminta orangtua untuk melamar Ponijah,” kisah laki-laki kelahiran Yogyakarta, 7 Juni 1946 ini. Jadilah mereka sepasang kekasih.

Kendati sudah lamaran, Ponijah dan Wagiman tak bisa saling berjumpa layaknya remaja zaman sekarang. Itu berlangsung selama tiga bulan. Jika rindu menghampiri, Wagiman akan melihat Ponijah dari rumah tetangga sang pujaan hati. “Saya hanya memandang dari jauh, kira-kira 50 meter, tanpa ngobrol. Dan, itupun hanya sebentar, lalu pulang,” kenangnya. Walaupun hanya sebentar memandang, ada perasaan damai di hatinya.

Pada 28 Maret 1965, perkawinan Ponijah dan Wagiman dilangsungkan di hadapan orangtua, para saksi serta penghulu. Waktu itu, pasutri ini belum memeluk Katolik. Setelah menikah, Wagiman diberi nama Asmo Redjo.

Panggilan Jadi Katolik
Setahun berselang, Ponijah-Asmo dikaruniai seorang putri dan diberi nama Suparni. Anak ini lahir pada 9 Agustus 1966 di Sidoharjo, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan. Satu tahun kemudian, lahir anak kedua, Suparti Ningsih, juga di kampung yang sama. Kebahagiaan mulai memancar dari keluarga ini. Suatu hari, Ponijah berkanjang ke rumah tetangga, (alm) Abraham Darmo Pawiro, tokoh awam Katolik setempat. Ia melihat gambar Bunda Maria dan menanyakan tentang gambar itu. Darmo memberi penjelasan tentang Bunda Maria seperti dalam buku Padupan Kencana Katolik. Buku itu lalu dipinjamkan pada Ponijah. Padupan Kencana adalah buku berbahasa Jawa yang berisi tatacara ibadat Katolik, doa-doa pokok, doa harian Katolik, litani dan panduan doa-doa Katolik lainnya. Dalam buku itu, ada nama Dewi Maryam, seperti yang ada dalam Kitab Suci Al-Qur’an.

Dari buku itu, ketertarikan Ponijah dan Asmo untuk mengetahui agama Katolik bersemi. Mereka juga dikenalkan dengan Kitab Suci Katolik berbahasa Jawa. “Saya senang membaca Kitab Suci berbahasa Jawa ini karena mudah dibaca dan dipelajari,” ungkap Ponijah. Jika kurang memahami isinya, ia bertanya pada umat Katolik lain di sekitar tempat tinggalnya, terutama pada Darmo.

Pasutri ini kerap diajak oleh Darmo untuk mengikuti kegiatan, seperti sembahyangan (doa bersama) di Waringin Harjo (Way Agom). Untuk mencapai tempat ini, mereka harus berjalan kaki sekitar tiga kilometer melalui jalan setapak. Setiap kegiatan sembahyangan, Ponijah diberi tugas membaca Kitab Suci dan doa-doa dari buku panduan. Sementara Asmo diminta untuk memimpin doa Rosario dan doa malam.

Ketika di daerah Sidoharjo datang seorang katekis, Albertus Darminto, Asmo bersama bapak-bapak yang lain kerap diajak sembahyangan di daerah lain. Sejumlah 12 laki-laki mengayuh sepeda atau kadang berjalan kaki menuju Pulau Jaya, sekitar 25 kilometer dari Sidoharjo. Layaknya 12 rasul, kelompok bapak-bapak ini bersemangat dalam mengembangkan iman umat di wilayah Lampung Selatan.

Mengikuti kegiatan sembahyangan turut memantapkan hati Ponijah-Asmo untuk mengikuti Kristus. Akhirnya bersama sembilan keluarga lain, Ponijah- Asmo dan dua buah hati mereka dibaptis secara Katolik oleh Romo Vranken SCJ di Gereja Hati Kudus Sidoharjo, 17 April 1968. Ponijah memilih “Theresia” sebagai nama baptis dan Asmo memilih “Alloysius”. Saat itu, Ponijah-Asmo juga membarui janji perkawinan mereka secara Katolik. Seiring waktu, pasutri ini dikaruniai empat anak lagi. Mereka berusaha menanamkan nilai-nilai kekatolikan dalam diri anak-anak. Teladan hidup rohani dengan berdoa, mengikuti Ekaristi dan kegiatan di gerejani. Sekitar 15 tahun, Asmo dipercaya sebagai bendahara kring, meski tak bisa membaca. Dalam melaksanakan tugasnya, ia meminta anak-anaknya mencatat transaksi yang ada. Ketika harus melaporkan dan mempertanggungjawab kan di hadapan umat, ia meminta anak-anaknya untuk membacakan semua transaksi itu untuk dihapal.

Hidup doa dalam keluarga dan pendidikan secara Katolik ini menumbuhkan panggilan hidup selibat di hati anak-anak pasutri ini. Seorang putrinya menjadi suster, seorang putranya menjadi imam Keuskupan Tanjungkarang, dan si bungsu menjadi calon imam.

Bergandeng Tangan
Selama menjalani hidup perkawinan, kesulitan di bidang ekonomi kerap dihadapi pasutri Ponijah-Asmo. Pasutri yang kini mempunyai tujuh cucu dan dua cicit ini hidup di Sumatra sebagai transmigran dari Jawa. Mereka babat alas (menebang hutan) untuk dijadikan tempat tinggal, ladang dan sawah. Kesulitan memperoleh air untuk kebutuhan sehari-hari dan kesulitan memperoleh bahan makanan karena kekeringan, pernah dialami keluarga ini. Namun, mereka tetap berusaha untuk setia bersama dalam masa-masa sulit itu.

Doa menjadi sandaran mereka. Ponijah-Asmo percaya bahwa dengan usaha yang mereka lakukan, Allah sendiri yang akan memberikan jalan keluarnya. Di tengah kesulitan yang dialami, mereka tetap memprioritaskan pendidikan anak-anak.

Kini, emas perkawinan telah mereka capai. Ponijah-Asmo tak henti bersyukur atas semua anugerah Tuhan. “Keterbatasan pendidikan tak menjadi halangan untuk mendidik anak dalam kehidupan konkret lewat keteladanan. Sungguh Tuhan itu amat baik. Rencana Tuhan sulit ditebak, tapi rencana Tuhan itu amat baik bagi keluarga kami. Kami berdua terharu dengan kehadiran Bapak Uskup, para imam dan biarawati, juga umat dalam perayaan Ekaristi, pesta syukur emas perkawinan. Semua terjadi karena kemurahan Tuhan semata bagi kami,” papar Asmo yang diamini sang istri.

Mereka berharap, keluarga-keluarga –terutama anak-anaknya– tetap setia dalam menghidupi janji perkawinan dan hidup dalam iman Katolik. Kesetiaan itu juga mereka harapkan selalu dihidupi anak-anak yang mengikuti panggilan Tuhan sebagai imam, biarawati, dan calon imam. Kutipan ayat dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose menguatkan langkah Ponijah-Asmo dalam mengayuh biduk rumah tangga mereka. “Hai istri-istri tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia” (Kol 3:18-19).

Maria Pertiwi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini