Perspektif Pendidikan Karakter

239

HIDUPKATOLIK.com – Gema pendidikan karakter yang sudah mulai dicanangkan sejak 2010, rasa-rasanya belum banyak memberi efek pada kepribadian anak didik, baik itu siswa, mahasiswa, ataupun pendidik sekalipun. Saya berpendapat bahwa “kegagalan” pendidikan karakter hingga saat ini, bukan pertama-tama karena kurang cerdasnya orang dalam menerapkan strategi pembelajaran, tetapi justru karena kekeliruan pada perspektif.

Asumsi dan cara berpikir yang membentuk keyakinan, biasanya menjadi dasar bagi sebuah aksi. Hal yang demikian, juga terjadi pada pendidikan karakter yang begitu digemakan di Indonesia sejak 2010. Memang ada banyak asumsi yang menjadi alasan mengapa pendidikan karakter itu penting. Tetapi dari semua asumsi itu, satu simpul yang bisa meringkasnya adalah bahwa pendidikan yang terlalu menekankan prestasi kognitif, seringkali melupakan aspek afeksi dan mental yang merupakan soft skill dari sebuah bangunan diri. Padahal kita semua tahu, bahwa unsur soft skill ini sesungguhnya menjadi stimulan utama, bahkan penentu aksi dari sebuah capaian kognisi. Tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, dan berbagai macam tindakan imoral, menjadi jawaban atas asumsi itu.

Soalnya adalah bagaimana cara mentransfer nilai-nilai pendidikan karakter itu? Di sinilah letak soal lain dalam tersendat dan gagalnya pendidikan karakter. Di sinilah letak ketidakcerdasan pendidik. Cara berpikir para pendidik selalu terbatas pada keyakinan, bahwa karena pendidikan karakter itu berkaitan dengan nilainilai tertentu, maka dia hanya ada pada mata pelajaran atau mata kuliah yang bertemakan pendidikan karakter. Padahal, pendidikan karakter sangat mudah masuk dalam semua mata pelajaran. Dalam situasi seperti ini, kita lalu bisa menjadi mengerti, mengapa pendidikan karakter kita masih dikatakan gagal sampai sekarang.

Pendidikan karakter berperspektif membangun kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh. Perspektif yang demikian, sebenarnya mengambil dari perspektif pembelajaran antropologi. Pendidikan karakter menyentuh semua bidang kehidupan manusia.

Karakter pendidikan pada dirinya sendiri melekatkan diri dengan sasaran telaah antropologi, yakni membangun kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh. Maka dengan sendirinya, pendidikan karakter harus membuat generalisasi tentang manusia dan perilakunya, ketika berada dalam setiap situasi dan tempat.

Ini menjadi mendesak, karena tanpa membuat generalisasi yang demikian, pendidikan karakter hanya berjalan di tempat, yakni di lingkup sekolah. Di luar sekolah, anak-anak dan mahasiswa menjadi tidak berkarakter, bahkan terlibat dalam berbagai kekerasan dan kejahatan. Suatu potret yang cukup mencoreng pendidikan kita di Indonesia. Dengan demikian pendidikan karakter, harus bergerak dengan menggunakan pendekatan antropologi.

Melalui pendekatan antropologi, perilaku manusia sebagai unsur yang terpenting dalam budaya kependidikan, dipahami secara mendalam dan ilmiah. Pendekatan yang demikian ini justru menampik segala hasrat pendidikan yang berorientasi pada kuantitas dan bukan kualitas. Sedangkan dana BOS dan Sertifikasi guru, rasanya juga hadir sebagai pedang bermata dua. Di satu pihak sangat berarti untuk pengembangan pendidikan, tapi di lain pihak memancing libido kapitalis yang hanya memburu rente daripada kecerdasan.

Sekolah-sekolah menerima banyak siswa hanya untuk mendapatkan dana BOS. Kualitas akademik dan karakter rela dikorbankan demi pemburuan rente. Bahkan di mana-mana orang membuka sekolah baru demi mendapatkan dana BOS. Pada saat yang sama, sertifikasi guru hanya menjadi ajang pengejaran kesejahteraan dan perbaikan hidup. Ini tidak punya korelasi yang inheren dengan pengembangan pendidikan, khususnya pada pendidikan karakter. Perspektif pendidikan perlu ditegaskan lagi, agar arah dasar pendidikan karakter tidak hanya menjadi seperti gelombang besar di lautan lepas yang tidak ber-ikan.

Dony Kleden

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini