Renungan Sabtu, 9 September 2017 : Paradoks

424
[loudcry.org]

HIDUPKATOLIK.com – Pekan Biasa XXII; Kol1:21-23; Mzm 54; Luk 6:1-5

HIDUP Kristiani itu satu paradoks, “yang dulu hidup jauh dari Allah, …sekarang diperdamaikan” (Kol.1: 21-22), yang dulu musuh dan penuh kebencian dalam hati, sekarang teduh dalam iman, “tetap teguh dan tidak bergoncang” (Kol.1:23). Usaha yang bukan dari manusia, melainkan dari Allah semata-mata. Seolah-olah tidak cukup pengalaman sejarah umat pilihan yang dicatat oleh Nabi Yesaya untuk mengungkapkan paradoks itu: “Sepanjang hari Aku telah mengulurkan tangan-Ku kepada suku bangsa yang memberontak, yang menempuh jalan yang tidak baik dan mengikuti rancangannya sendiri” (Yes. 65:2).

Akan tetapi, memang demikianlah gambaran Allah yang mau diwartakan Injil, satu paradoks juga bagi logika manusiawi yang ingin segalanya teratur dan terkontrol. Ketaatan ritual atas hari Sabat dalam Yudaisme mencapai titik yang paling radikal dan obsesif dengan traktat ’Oneg mengenai istirahat pada hari Sabat yang terdiri dari 39 bab yang masing-masing berisi 39 larangan. Kultus sedemikian merendahkan kehidupan. Jika Markus menyatakan bahwa “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk.2:27), Lukas menggarisbawahi dasar kristologisnya karena “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Luk.6:5). Paradoks Injil itu memang membebaskan.

Romo Vitus Rubianto Solichin SX

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini