HIDUPKATOLIK.com – Minggu Biasa XXI: Yes 22:19-23; Mzm 138:1-2a,2bc-3,6,8bc; Rm 11:33-36; Mat 16:13-20
PADA 19 April-14 Mei 1998 berlangsung Sinode Para Uskup Khusus untuk Asia di Roma. Hari pertama, seusai doa dan renungan pagi, Sri Paus waktu itu, Yohanes Paulus II, berdiri dan berkata dengan lantang kepada peserta Sinode: “Jangan lupa, Yesus itu orang Asia!”
Hari-hari berikutnya beredarlah di kalangan para Uskup peserta Sinode anekdot berikut: Ya, benar, Yesus itu orang Asia. Ia lahir di Asia. Orangtuanya asal Asia. Ia mewarisi budaya Asia. Tetapi kemudian Dia merantau ke Barat. Dan setelah besar di Barat, Ia pulang kampung. Namun, orang-orang sekampung-Nya tak lagi mengenal Dia. Ia dianggap orang asing!
Saudari-saudara, anekdot itu menggambarkan situasi kekristenan sampai saat ini di Asia, tempat kelahiran kekristenan itu sendiri. Kecuali di Filipina dan Timor Leste, di negara Asia lainnya pengikut Kristus merupakan minoritas mutlak; bahkan di sejumlah negara, kekristenan hampir tidak dikenal; dan di sejumlah negara lainnya, termasuk Indonesia, kekristenan sering dicap sebagai agama penjajah.
Ini situasi yang ironis dan sangat memprihatinkan. Padahal Kristus, sebelum naik ke surga, memerintahkan para murid-Nya pergi ke seluruh dunia untuk mewartakan Injil, dan menjadikan semua bangsa murid-Nya.
Apa yang secara konkret dewasa ini harus dibuat agar Yesus Kristus dikenal dan diterima kembali di kampung halamannya? Sejak 1970-an para Uskup yang tergabung dalam Federasi Uskup-uskup Asia (Federation of Asian Bishops Conferences/FABC) mencanangkan upaya tri-dialog: dialog dengan budaya-budaya Asia, dialog dengan agama-agama di Asia, dan dialog dengan penduduk Asia, khususnya kaum miskin.
Pertama, dialog dengan budaya-budaya Asia, harus bermuara pada berakarnya Gereja pada budaya, setempat melalui proses inkulturasi. Diharapkan pada akhirnya terbentuklah komunitas Kristiani khas setempat, tak hanya dalam pengungkapan lahiriah (misal bentuk-bentuk liturgi atau ibadat), melainkan juga dalam refleksi iman (teologi) serta sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas).
Dalam bidang liturgi banyak usaha diupayakan di pelbagai tempat di Asia dan membuahkan hasil yang menggembirakan. Dalam bidang teologi disebut Koloquium Teologi tingkat Asia, yang diselenggarakan OTC-FABC (semacam Komisi Teologi FABC) di Sampran, Thailand, 11-15 Mei 2004. Tema Koloquium Teologi itu ialah “Asian Faces of Christ”, ‘Wajah-wajah Asia dari Kristus’. Titik-tolak yang diambil ialah pertanyaan Yesus dalam Injil hari ini: “Menurut kamu (orang Asia), siapakah Aku ini?” Kita berharap, refleksi teologis inkulturatif ini terus-menerus dikembangkan. Apabila upaya inkulturatif di bidang pengungkapan eksternal dan refleksi teologis berjalan dengan baik, pada akhirnya lahirlah spiritualitas Kristiani khas setempat.
Kedua, dialog dengan agama-agama non-Kristiani di Asia. Hal ini akan membuat para pihak yang terlibat dalam dialog semakin saling mengenal dan memahami satu sama lain; selanjutnya semakin bertumbuh semangat saling menghargai, dan bahkan saling memperkaya.
Ketiga, dialog dengan saudari-saudara kita, sesama orang Asia, khususnya mereka yang miskin. Di sini kita harus selalu ingat pesan Paus Fransiskus; orang Katolik harus keluar dari zona aman mereka, dan melibatkan diri bersama dengan saudari-saudaranya dari golongan lain, dalam pergulatan membangun sebuah dunia yang lebih baik, lebih damai, lebih bersaudara.
Sampai pada titik ini barangkali dengan gemas kita bertanya, apa hubungan antara tugas mewartakan Kristus dengan gerakan tri-dialog ini? Dalam bahasa Latin ada pepatah, Magis exemplo quam verbo, versi Inggrisnya berbunyi: “Actions speak louder than words”, ‘tindakan berbicara lebih nyaring daripada kata-kata’. Dewasa ini, pewartaan lewat kesaksian hidup dapat lebih ampuh daripada lewat kata-kata. Tentu saja itu tak berarti pewartaan lewat kata-kata tidak dibutuhkan lagi.
Kecuali itu, tak pernah boleh melupakan bahwa kita hanyalah alat dalam tangan Tuhan. Adalah Kristus sendiri yang terus berkarya lewat Roh-Nya dengan menggunakan kita sebagai alat-Nya. Kita berdoa semoga semakin banyak orang Asia yang mengenal Yesus dan akhirnya sampai pada keyakinan seperti Simon Petrus, orang Asia pertama yang mengakui: “Engkau adalah Mesias, Putra Allah yang hidup!”
Mgr Johannes Liku Ada