Tari Realitas Teleholografis, Tarian Tiga Dimensi Buah Karya Miroto

1475
Topeng Miroto: Martinus Miroto saat menampilkan tari topeng.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Sejak kanak-kanak, pria ini sudah tertarik dengan dunia seni tari. Ia pun menjadi penari yang dikenal hingga ke mancanegara. Ia memadukan perkembangan teknologi dengan seni tari.

Suatu hari, ketika kanak-kanak, Martinus Miroto amat terkesan dengan penampilan tari Serimpi yang mengiringi persembahan dalam sebuah perayaan Ekaristi di Gereja St Maria Assumpta Gamping, Sleman, DI Yogyakarta. Tarian itu terus membayangi pelupuk hati Miroto kecil. Pada saat yang bersamaan, orangtua Miroto memanggil seorang guru tari untuk melatih kakak perempuannya. Mula-mula, Miroto hanya melihat dari jauh sang guru tari itu melatih sang kakak. Tapi kemudian, Miroto tertarik bergabung menari. Miroto pun mulai ikut meliuk-liukkan tubuhnya di teras rumah. Beberapa orang yang melintas di depan rumahnya tertarik dengan latihan tari itu. Mereka pun menonton Miroto dan sang kakak menari di depan rumah. “Dari situ saya mulai merasa menjadi sesuatu, karena saya ditonton banyak orang,” ujar Miroto mengenang.

Kecintaan Miroto kepada dunia seni tari semakin mengkristal. Selepas sekolah menengah pertama, Miroto memilih masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) dan menekuni dunia tari. Ia belajar menari di Pusat Latihan Tari milik maestro tari Bagong Kussudiardja. Beberapa kali, Bagong mengajak Miroto pentas di negara-negara di Eropa.

Lulus dari SMKI, Miroto hijrah ke Jakarta. Ia terus berburu ilmu tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Di tempat ini, Miroto belajar olah tubuh dan koreografi bersama koreografer Sardono W. Kusumo. Tapi, rupa-rupanya, Miroto tak betah tinggal di ibukota. Ia hanya satu tahun menjadi penghuni kota Jakarta. Ia kembali ke Yogyakarta, lalu melanjutkan kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia.

Lima topeng
Pada 1986, Miroto menampilkan karya tari bertajuk “Sampah” dalam Festival Penata Tari Muda di Jakarta. Banyak penonton yang terkesan dengan penampilan Miroto. Bahkan, seorang penonton berasal dari Goethe Institut memberi Miroto beasiswa untuk belajar tari di Volks wangschool Jerman selama satu tahun. Kesempatan ini tak ia sia-siakan. Miroto pun terbang ke Jerman. Ia belajar tari bersama dengan tokoh-tokoh tari kelas dunia.

Pada 1992, Miroto kembali mendapat hibah dari Asian Cultural Council untuk mengikuti American Dance Festival di Durham, Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi master di University of California, Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam ini, Miroto bersua dengan sutradara teater ternama, Peter Sellars. Ia pun diajak turut tampil menari dalam “The Persians” yang dipentaskan selama lima bulan di lima kota; Salzburg, Edinburg, Berlin, Paris, dan Los Angeles.

Berbekal ilmu dan pengalaman menari hingga mancanegara, Miroto membangun Studio Tari Banjarmili pada 2001. Studio ini berada di tepi Sungai Bedog, Sleman. Setiap tahun, Miroto menggelar Bedog Arts Festival. Ia menyulap tepi sungai Bedog menjadi sebuah panggung tari.

Miroto dikenal sebagai koreografer pertama Indonesia yang menciptakan dan mementaskan tari tunggal dengan lima topeng dalam berbagai festival internasional di lima benua. Ia tak hanya memasang topeng di muka. Di kedua kaki dan tangannya juga dipasang topeng. Miroto mengambil posisi bertumpu dengan pantat serta pinggang. Saat me nari, kelima wajah topeng ini seperti berinteraksi dan menyatu dalam gerakan tari.

Tarian teleholografis
Miroto terus menari dan berkreasi. Belum lama ini, Miroto menciptakan pertunjukan tari realitas teleholografis. “Teleholografis ini nama yang saya buat sendiri untuk teknik ini, karena belum ada dimana pun. Ini merupakan ide mutakhir dalam dunia seni,” ujarnya.

Pertunjukan seni tari realitas teleholografis ini menghadirkan penari yang berada di tempat berbeda dalam wujud citra tiga dimensi, yang berinteraksi dengan penari nyata di atas panggung. Seorang penari di Taipei dan seorang penari di Sleman saling bersahut-sahutan dalam gerak dan kata di ruang yang berbeda pada waktu yang sama. Meskipun berbeda tempat, mereka menari dalam gerak yang serasi. Teknologi internet menyatukan mereka dalam satu waktu yang nyata.

“Kita bisa melihat seorang penari tampak ingin meraih tangan lelaki pujaannya. Kedua telapak tangan mereka tampak saling bersentuhan. Tetapi ketika mencoba untuk memeluk, yang di peluk hanyalah kenyataan akan sebuah ketiadaan. Mereka seolah berbaur dalam satu ruang, padahal tidak,” kata Miroto menjelaskan.

Ide mencipta seni tari realitas teleholografis ini, lantaran Miroto menyadari bahwa saat ini banyak orang yang berinteraksi melalui dunia maya yang diciptakan dengan kecanggihan teknologi komunikasi. Ruang dan waktu bukan lagi menjadi kendala untuk saling berinteraksi. Dan, Miroto ingin menyatukan dunia nyata dan maya dalam sebuah panggung pertunjukan. “Setiap hari, kita dibuat bingung, mana yang nyata dan yang maya. Pengalaman ini memunculkan perasaan dekat tapi jauh. Rasanya hadir, tetapi sebetulnya absen. Sebagai seniman, harus peka terhadap sebuah dinamika. Dulu kita perlu waktu lama untuk berkolaborasi. Tapi sekarang, teknologi sudah membantu kita,” ungkap Miroto.

Panggilan menari
Saat ini, selain menari dan menjadi koreografer, Miroto juga mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia melakukan penelitian dan mengembangkan tari untuk terapi kesehatan. “Saya mengembangkan tari terapi yang memadukan antara gerak tubuh dan kesehatan. Tari ini bisa menyembuhkan urat yang terjepit dan kepala pusing. Tapi ini baru untuk kalangan yang terbatas.”

Miroto sedang melakukan riset untuk merancang tarian yang akan ditampilkan dalam gelaran Olimpiade 2020 di Jepang. “Idenya sih membuat tari macan. Macan itu kan simbol Asia. Saya butuh sekitar 200 penari yang akan diambil dari berbagai negara di Asia,” ujarnya.

Setiap kali menari, Miroto selalu teringat pesan gurunya, Ben Suharto. Ben pernah berkata, “Sopo sing rumongso ketiban sampur, kudu nglakoni.” Pesan ini berarti, barang siapa mendapatkan panggilan, dia harus menjalani. “Saya merasa ketiban sampur untuk meneruskan perjuangan guru-guru saya dalam bidang tari,” ujar Miroto.

Bagi Miroto, dunia tari adalah dunia politik kebertubuhan, di mana manusia harus didisiplinkan. “Ketika menari, mata dan tangan tak bisa seenaknya. Tangan dan mata harus tunduk dan patuh, agar menghasilkan gerak tari yang indah. Sebenarnya, ini adalah politik tubuh. Seperti dalam banyak aspek kehidupan, tubuh kita harus didisiplinkan supaya efektif dan berdaya guna.”

Fr B. Yogie Wandono SCJ

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini