HIDUPKATOLIK.com – Pasangan suami istri Mira dan Steve merawat dan mendidik dua putranya yang menyandang autis dengan gigih. Mereka berbagi kisah, pengetahuan, dan kemampuan mendampingi anak autis kepada para orangtua yang senasib.
Dua puluh tahun silam, Maria Lidwina Mira Indriani dan Steve Susanto mengikrarkan janji sebagai pasangan hidup di depan altar. Buah cinta mereka lahirlah James Alexander dan John Abraham. Jarak usia kakak-beradik itu hanya terpaut satu tahun. James lahir tahun 1995, dan John lahir pada 1996. Awalnya, Mira dan Steve tak merasakan keanehan dalam diri kedua putranya. Namun, saat James berusia 1,5 tahun dan John berumur 2 tahun, Mira mulai melihat perangai tak biasa. “James mampu memegang koran tidak terbalik, bicara dalam Bahasa Inggris dan berhitung dari 1 hingga 10. Namun, saat berjalan ia menekuk salah satu kakinya. Sedangkan sang adik belum bisa berbicara dan lemah pendengaran,” kisahnya.
Akhirnya, mereka berkonsultasi kepada dokter. Mereka mendapati jawaban yang tidak memuaskan dari dokter. Mira dan Steve lantas menggali informasi dari berbagai sumber, seperti buku kedokteran dan majalah. Mereka terkejut begitu mengetahui James dan John termasuk anak autis “Tuhan, mengapa anak kami seperti ini? Apa salah kami kepada-Mu?”
teriak Mira dan Steve kepada Tuhan.
Terima Salib
Mira dan Steve mengisahkan, kala itu kedua putranya masih Balita. James selalu menangis setiap masuk ke ruangan tertutup. Saat berjalan, langkahnya tertatih-tatih dan kerap jatuh, dan lagi dia tidak bisa berkonsentrasi. Sedangkan John, malah sulit berbicara. Walaupun ia sudah bisa berjalan, pendengarannya pun lemah, sehingga orang lain harus berteriak jika berbicara dengannya.
Kondisi kedua buah hatinya itu berimbas pada kehidupan Mira dan Steve. Hati mereka tergoncang, iman terkikis dan perlahan-lahan menarik diri dengan lingkungan sekitar. Tak hanya itu, peristiwa ini membuat Steve terguncang dan memaksanya bolak-balik rumah sakit. Pria kelahiran Semarang, 21 November 1958 ini ternyata menderita diabetes.
“Untuk bisa menerima semua ini, membutuhkan peluh atau keringat, air mata dan dari kami termasuk darah. Tingkat stres saya tinggi sekali ketika mengetahui anak kami berkebutuhan khusus (ia menghela nafas), yang kena diabetes saya. Bahkan saya harus masuk keluar rumah sakit,” ungkap Steve.
Perlahan pasangan suami-isteri itu mengumpulkan kembali puing-puing asa dan semangat untuk menerima salib hidup. Mira dan Steve terus mendampingi dan mendidik kedua putranya. “Kami sungguh terpuruk. Tetapi yang saya rasakan tidak separah Bapak. Bila sudah seperti ini, lantas apa yang bisa dilakukan selain saling menguatkan dan mendampingi anak-anak kami?” ujar perempuan kelahiran Semarang, 6 Oktober 1957 ini. “Pada masa-masa terberat, kami saling menguatkan dengan berdoa berdua,” kata Mira menambahkan.
Mira dan Steve lambat laun mulai menerima kondisi anak-anak. Mereka membuka diri kembali dengan lingkungan serta menyendengkan telinga terhadap berbagai saran orang lain mengenai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Niat mereka untuk memperlakukan James dan John layaknya anak-anak normal tidak berjalan mulus. Suatu ketika, Mira dan Steve sempat memasukkan anak-anaknya di sekolah formal. Akan tetapi mereka sulit mengikuti pelajaran. Bahkan, James dan John pun sempat mengalami perlakuan tak menyenangkan dari teman-teman di sekolah. Akhirnya, pasutri ini memutuskan untuk mendampingi sang buah hati sendiri di rumah.
Titipan Tuhan
Mira dan Steve melakukan terapi dan mengajari anak-anak menulis angka dan kalimat, Bahasa Inggris, berdoa dan aktivitas harian, antara lain menggunakan sendok untuk makan, dan menyikat gigi. Namun menurut mereka, terapi yang terpenting adalah terapi kasih sayang, inilah terapi yang paling utama dari semua latihan.
Cinta kasih menjadi obat paling mujarab untuk mendampingi ABK. Mereka menerapkan terapi kasih sayang itu untuk dua putranya. Meskipun berkebutuhan khusus, Mira dan Steve berharap anak-anak mereka bisa belajar mandiri. Jika suatu hari mereka tiada, Mira ingin kedua buah hatinya bisa melanjutkan hidup.
Mira dan Steve meyakini, James dan John adalah titipan Tuhan. Mereka dipanggil Tuhan untuk merawat, mendidik dan membekali “titipan” itu dengan pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai kebajikan dan sikap hidup yang baik. Dengan bekal tersebut, mereka berharap buah hatinya tidak merepotkan orang lain dan mampu melanjutkan kehidupan mereka sendiri. “Hingga saat ini sebenarnya merekalah yang banyak membuka mata kami terhadap kekurangan dan kelemahan orangtuanya. Jadi mereka yang telah mengubah kami,” kata Steve.
Umat Paroki Maria Bunda Segala Bangsa Cileungsi, Keuskupan Bogor ini, selalu bersyukur atas semua kasih dan anugerah Tuhan lewat kehadiran kedua putra mereka. Lewat James dan John, Tuhan berbicara dan menujukkan kasih-Nya kepada mereka. Rahmat inilah yang mereka bagikan kepada para orangtua ABK.
Banting Stir
Cita-cita itulah yang membuat Steve banting stir. Ia tidak lagi berkutat dalam dunia ekonomi dan pasar modal. Ia memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya sebagai seorang ekonom dan pembicara pasar modal, lalu menekuni dunia autisme. “Saya coba memilih. Saya percaya setiap orang dilahirkan ke dunia dengan misinya. Saya ingin membantu orang lain, namun tetap bertanggung jawab untuk menghidupi keluarga,” ujarnya.
Melalui facebook dan laman di dunia maya, Steve menulis hal-hal yang berkaitandengan autisme. Ia membentuk komunitas “Best Parents 4 ABK”. Selain itu, ia melakukan terapi kepada ABK.
Mira dan Steve berharap, Gereja giat memperhatikan ABK serta membimbing dan mendampingi orangtua ABK. “Harapan saya, Gereja bisa berperan dalam membimbing para orangtua yang mengalami goncangan jiwa. Banyak ibu-ibu merasa tergoncang ketika mengetahui anaknya lahir tidak seperti yang dibayangkan. Semoga Gereja mempunyai kebijakan dan perhatian untuk mengarahkan paroki dan memberitahu para orangtua bahwa anak yang dititipkan Tuhan adalah anugerah. Setiap dari kita memiliki salib kita masing-masing. Bagaimana kita bisa menghadapi salib kita tanpa mengomel dan dengan tulus menerima anak kita,” papar Steve.
Keyakinan Mira dan Steve dalam mendampingi dua buah hati mereka yang berkebutuhan khusus itu pun dikuatkan dengan salah satu ayat dalam Injil Yohanes, “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam dia” (Yoh 9:3).
Maria Pertiwi