Dialog Kehidupan Katolik–Islam

615
Romo Christophorus Tri Harsono berbicara dalam seminar “Bagaimana Berbicara Tentang Islam”.
[HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk]

HIDUPKATOLIK.com – Dialog yang indah dan efektif adalah dialog soal kehidupan dan kemanusiaan tanpa sekat.

SAAT ini, banyak sekali “penyakit-penyakit” agama yang muncul, seperti fanatisme, fatalisme, sinkretisme, kuantifikasi ritual, dan irrational of the faith. Kecenderungan lain, banyak orang beranggapan, kuantitas lebih penting daripada kualitas iman umat. Demikian pernyataan Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor Romo Christophorus Tri Harsono dalam seminar bertema, “Bagaimana Berbicara Tentang Islam” di aula Paroki Keluarga Kudus Cibinong Paroki Cibinong, Minggu 13/8. Sedikitnya 400 peserta dari Paroki-paroki di Keuskupan Bogor menghadiri seminar yang digagas para lektor Paroki Cibinong ini.

Dosen Islamologi di Seminari Tinggi St Petrus Paulus, Keuskupan Bogor ini melanjutkan, bila orang menderita berbagai “penyakit” agama, maka ia perlu menjalin dialog. Salah satu kekuatan sekaligus keunikan agama Katolik adalah dialog. “Orang beriman tidak mungkin bisa mewartakan Injil tanpa dialog. Pewartaan perlu sikap terbuka terhadap yang lain.”

Ia melanjutkan, dalam berdialog, seseorang terlebih dahulu memahami ajaran agamanya secara baik dan benar. Setelah itu, memahami persamaan sekaligus perbedaan yang ada. Sebenarnya, kata Romo Tri, dialog yang paling indah adalah dialog tentang kehidupan, karya, kemanusiaan, kebangsaan, dan lainnya. “Dalam dialog, semua orang bisa menjadi saksi kehidupan bagi banyak orang,” ujarnya.

Sementara Pastor Rekan Paroki Cibinong, Romo Alfonsus Sombolinggi menegaskan, dialog itu bisa melampui perbedaan. “Dalam dialog, sekat pemisah antaragama, antarkelompok, antarsuku mesti ditanggalkan.”

Ketua Panitia, Debby Kartika mengatakan, seminar ini adalah bagian dari program kerja para lektor di PKKC. Seminar ini, lanjut Debby, mengajak umat Katolik agar mau terlibat dalam membangun dialog dengan umat beragama lain. “Kita harus mau membangun dialog yang hidup dalam karya. Umat Katolik harus berperan sebagai saksi dialog di tengah masyarakat luas,” ujarnya.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini