HIDUPKATOLIK.com – Ia menjadi pemalak dan pengkonsumsi narkoba, lantaran relasi orangtuanya memburuk. Awal Juli lalu, ia mengikrarkan kaul kekal sebagai biarawan.
Bruder Hendrikus Johanes Ronaldus Leko Waso CSsR bersama empat frater Redemptoris (Congregatio Sanctissimi Redemptoris/CSsR) mengikrarkan kaul kekal di Gereja St Alfonsus Nandan, Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang, Kamis sore, 6/7. Provinsial Redemptoris Indonesia, Romo Yaokim Ndelo CSsR, mengibaratkan Br Leko sebagai Saulus yang menjadi Paulus. “Dari orang yang ganas menjadi lemah lembut,” sebutnya.
Br Leko secara tak langsung mengamini pendapat pimpinannya itu. Sebelum masuk tarekat Redemptoris, ia mengakui sempat hidup dan mencari makan “di jalanan”. “Saya pernah jadi debt collector. Memalak sopir mobil, bus, mikrolet, dan taksi yang lewat di tempat tongkrongan saya. Ojek yang mangkal di wilayah kami pun harus bayar,” aku Bruder Leko, ketika ditemui di Wisma Sang Penebus Yogyakarta, Jumat malam, 7/7.
Sebagai manusia jalanan yang sehari-hari bersinggungan dengan kekerasan, Br Leko mengakui tak imun terhadap narkoba. Ganja, putau, dan sabu menjadi santapan Leko bersama kelompoknya saban hari. “Hanya isap, saya takut menggunakan narkoba dengan cara disuntikkan,” katanya.
Masuk Bui
Leko berkubang dalam dunia kelam selama hampir sebelas tahun sejak 1992. Ia juga pernah dicokok polisi dan masuk bui selama tiga bulan bersama satu temannya. Meski menjadi pemalak, ia menolak disebut preman. “Saya tak setuju, sebab kelakuan saya baik-baik saja,” ujar pria yang pernah bekerja di sebuah penerbitan buku dan perbankan di Jakarta.
Semasa kanak-kanak, sulung dari empat bersaudara ini sebenarnya dididik di keluarga Katolik yang taat. Sejak kecil, ia menjadi misdinar. Leko juga tak pernah absen ke gereja tiap Minggu. Pendidikan dasar hingga menengah juga ia jalani di sekolah Katolik. Orangtuanya, Benedictus Waso dan Emerentiana berprofesi sebagai guru.
Bercita-cita menjadi imam, Leko pun masuk Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan, Jawa Tengah. Usai pendidikan di seminari, ia melamar menjadi calon imam Keuskupan Agung Jakarta. “Saya tahun orientasi rohani angkatan pertama di Wisma Puruhita, Klender,” jelas pria kelahiran Jakarta, 2 Juni 1966 ini.
Ia kemudian kuliah di STF Driyarkara Jakarta sampai rampung. Namun begitu menggondol gelar sarjana pada 1992, ia malah mengundurkan diri karena merasa tak cocok menjadi imam. Alasannya? “Satu kaki di seminari dan satu kaki lain di keluarga. Bapak meninggalkan mama dan adik-adik. Sebagai anak pertama, saya wajib membantu mama yang hidup sendirian ditinggal bapak,” ucapnya sedih.
Sampai kini, ia tak tahu alasan bapaknya minggat dari rumah, meninggalkan istri, dan ketiga adiknya, Yanuarius Waso, Yosep Waso, dan Brigita Waso. Selama kepergian bapaknya, Leko pernah beberapa kali mencarinya di berbagai tempat. Ia menemukan, tapi bapaknya selalu menyuruh Leko pulang. Ia ditolak bapaknya.
Pada 1999, Leko merasakan “pertobatan kecil” ketika mamanya meninggal. “Saya harus benar-benar cari uang untuk menghidupi adik-adik, meski kehidupan di jalanan terus berlanjut,” katanya. Sedangkan “pertobatan lebih besar” dialami pada 2001, ketika ayahnya, yang lama pergi, tiba-tiba kembali. “Bapak pulang dalam keadaan stroke.”
Saat bapaknya pulang, Leko semula kesal. Ia menyimpan bara dendam kepada bapaknya, yang telah menelantarkan keluarga. Ia tidak mau merawat ayahnya. Adiknya yang memakai jasa baby sitter untuk merawat bapak. “Saya waktu itu sudah bekerja di penerbitan. Setiap pulang kerja, saya lihat bapak hanya terbaring di tempat tidur,” bebernya.
Rasa iba pun tumbuh di batin Leko. Hatinya terketuk untuk merawat total orang yang telah mendidik dan membesarkannya itu. Leko melepaskan pekerjaan di penerbit. Ia juga perlahanlahan menjauh dari kehidupan jalanan. Leko mencurahkan sepenuh waktu untuk merawat bapaknya, hingga meninggal pada 2007.
Mengasah Panggilan
Selama bertahun-tahun mengurus bapak, Leko seperti mendapat panggilan Tuhan. Tiap pagi, ia ikut Misa. Apalagi rumahnya yang berada di Petamburan, Jakarta Barat, dekat dengan gereja. “Hanya sepuluh menit jalan kaki dari rumah,” katanya.
Sejak itulah, Leko mengasah lagi panggilan yang pernah putus, dengan banyak membaca Kitab Suci, doa, dan Misa. Ia juga mengenang, satu tahun sebelum ayahnya meninggal, datang seorang tamu ke rumahnya. Tamu itu adalah kawan dekatnya di Seminari Mertoyudan. Kini temannya itu telah menjadi imam, Romo Mateus Mali CSsR. “Di seminari, saat itu Pater Mali masih KPA, sedangkan saya kelas 3,” terangnya.
Sejak lulus dari Mertoyudan pada 1987, mereka tak pernah berkomunikasi. Jadi, kedatangan Romo Mali ke rumahnya adalah perjumpaan pertama mereka sejak berpisah. Romo Mali datang ke rumah karena mengetahui bapak Leko terserang stroke. Romo Mali datang untuk silaturahmi dengan keluarga Leko dan mendoakan bapaknya.
Sekilas, kedatangan Romo Mali saat itu hanya pertemuan biasa. Pastor pendamping studi para frater di Komunitas Wisma Sang Penebus Yogyakarta itu hanya memanfaatkan waktu luang ketika bertugas di Konferensi Waligereja Indonesia. “Kedatangan Pater Mali memang seperti kunjungan biasa, tapi saya yakin itu jalan Tuhan,” duga Leko, yang sejak pertemuan itu lalu sering kontak-kontakan dengan Romo Mali.
Kedekatan Leko dengan Romo Mali mendorong keberanian dirinya untuk melamar jadi biarawan. “Awalnya, Pater Mali mengusulkan agar saya melamar ke Kongregasi Bruder Karitas Yogyakarta, tapi kemudian pada 2010 saya disuruh melamar ke CSsR Pusat, di Sumba,” jelasnya.
Tiga bulan setelah wawancara dengan pimpinan CSsR, Leko mendapat kabar bahwa ia diterima sebagai calon anggota CSsR. Ia diminta menjalani masa novisiat selama setahun. Leko memutuskan menjadi bruder. “Saya masuk novisiat pada 2011. Satu tahun kemudian saya mengikrarkan kaul pertama sebagai bruder,” tandasnya.
Membina Calon
Sejak mengikrarkan kaul pertama hingga kini, tarekat mengkaryakan Br Leko sebagai staf pembina di KPA Ivan Ziantyk Sumba. Salah satu tugasnya adalah membina calon imam CSsR yang berasal dari luar seminari atau lulusan SMA umum. “Sudah tujuh angkatan yang saya bimbing,” ujarnya.
Br Leko senang menjalani hidup sebagai seorang bruder. Salah satu kekuatannya adalah dukungan para konfrater setarekat. Mereka, puji Bruder Leko, menerima apa adanya. Ia juga gembira mendapat perutusan di tengah kaum muda. “Sejak dulu, ketika masih berada di jalanan, saya juga selalu berhubungan dengan anak-anak muda,” ucap Br Leko mengenang.
H. Bambang S.
Sungguh luar biasa panggilan Bruder Leko Waso, CSsR, meski banyak rintangan dan halangan. Tetapi kalau Tuhan sudah memanggil tetap saja terpanggil. Semoga Bruder tetap komitmen thd panggilannya di ordo CSsR. Berkat Tuhan selalu menyertai Bruder