HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin, saya pria berusia 54 tahun. Dulu, saya pernah di seminari, dan menjadi frater sampai usia 40, lalu saya mengundurkan diri. Saya sulit mendapat jodoh, karena usia saya. Saya ingin pasangan yang beriman dan dewasa. Saya mencari dan akhirnya mendapat pasangan berumur 39 tahun. Tapi seiring waktu, ketika kami menikah, ia mengatakan tak mau punya anak karena usianya memasuki 40 tahun. Saya sedih dan kecewa. Saya ingin dikaruniai anak. Apakah boleh saya bercerai karena pernyataan istri seperti ini? Mohon bantuan Romo.
Frederikus Sutoyo, Solo
Bapak Frederikus yang baik, apakah Anda saat ini masih bersama istri Anda? Berapa usia perkawinan Anda sekarang? Kapan pertama kali istri Anda menyatakan penolakan mempunyai anak? Saat ini, berapa usia istri Anda? Mohon maaf atas banyaknya data yang belum disampaikan, tapi saya akan tetap menjawab dan memberi inspirasi apa yang dapat Anda lakukan.
Anda menikah barangkali sudah agak lanjut. Saya andaikan, Anda menikah pada usia 50 tahun. Untuk usia Anda, tentu harus menunjukkan kedewasaan dalam memilih pasangan. Anda memilih orang yang matang, yang berusia 39 tahun. Tentu saja dia juga perempuan yang sudah amat matang. Apakah dalam pembicaraan selama masa pacaran, Anda tak pernah bicara soal anak? Apakah pacaran Anda cukup waktu?
Biasanya orang yang telah berusia lanjut (kriteria “lanjut” yang dibuat masing-masing orang berbeda) memikirkan bagaimana mengubah statusnya segera, dari single menjadi menikah. Masa pacaran yang diperpendek karena merasa “terdesak umur”, tak menolong orang untuk hidup lebih baik, jika memang di antara keduanya ada masalah berat. Masalah perbedaan harus dibicarakan jelas, jangan diandaikan akan selesai pada waktu sesudah menikah.
Jika sekarang istri Anda berusia lebih dari 40 tahun, memang risiko akan semakin besar untuk mengandung dan melahirkan. Gereja tak mengizinkan seseorang menyatakan, ia takkan mau punya anak jika menikah nanti. Jika ia katakan itu sebelum perkawinan, maka perkawinan menjadi tak sah. Meskipun demikian, Anda juga harus memahami kekuatiran istri Anda. Gereja memahami adanya risiko itu meskipun tetap mengharuskan pengaturan alamiah.
Situasi perkawinan Anda memang tak biasa karena kalian menikah pada usia lanjut. Situasi ini tentu membawa konsekuensi. Salah satu risikonya adalah persoalan anak. Kekuatiran bukan hanya soal melahirkan, tapi juga kekuatan untuk membesarkan anak secara optimal. Semua hal ini membutuhkan komunikasi mendalam.
Pernyataan Anda yang mengatakan ingin mempunyai pasangan yang dewasa dan beriman apakah sudah tercapai? Keinginan Anda bukanlah sesuatu yang mudah. Kalian berdua mungkin mengalami situasi yang sama: merasa harus menikah, karena usia lanjut. Harapan kalian seharusnya sama, hidup seperti keluarga lain. Tapi situasi sangat berbeda. Maka kalian memerlukan seorang konselor. Gereja tak mengizinkan orang menikah dan menolak punya anak, tapi pasangan bisa mengatur kelahiran dengan cara alamiah. Jadi, masalahnya juga soal komunikasi kalian berdua.
Hal yang tak dibenarkan adalah meniadakan hubungan seksual di antara kalian. Meskipun istri takut punya anak, tapi tak demikian dengan hubungan seksual, karena itu adalah persyaratan untuk memenuhi tujuan unitas atau persatuan antara laki-laki dan perempuan yang menikah.
Komunikasi selalu sarana terbaik agar dapat menjalani hidup perkawinan dengan cinta yang utuh, tak terbagi, bebas dari rasa takut, dan penuh dengan perasaan dicintai. Anda dapat menyampaikan kepada istri Anda harapan terdalam Anda, dengan bahasa cinta. Hal yang amat mendalam mesti diberikan dalam suasana yang khusus juga, bukan sambil lalu, bukan juga dalam diskusi singkat. Semoga jawaban ini menginspirasi Anda. Pengalaman Anda selama berada di dalam biara tentu akan memperkaya pengetahuan Anda berkomunikasi dengan pasangan, dan berdoa kepada Tuhan yang mempersatukan Anda berdua.
Alexander Erwin Santoso MSF