HIDUPKATOLIK.com – BIARPUN suksesi negeri masih setahun lagi, gelagat politik sejumlah tokoh dan partai politik sudah mulai bermunculan. Untuk mengantisipasi fenomena ini, Forum Lintas Iman (FLI) Gunungkidul mengajak seluruh masyarakat untuk cerdas menemukan pemimpin yang relevan dalam menjawab situasi dan keadaan bangsa yang bisa mengancam nilai-nilai kerukunan. Ajakan ini disampaikan pada diskusi Jumatan yang dilaksanakan di Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat, 18/8.
Dalam diskusi jaringan kerukunan dari berbagai kelompok agama dan kepercayaan di kabupaten Gunungkidul ini sejumlah tokoh agama hadir mengingatkan akan pentingnya gerakan untuk mendorong rakyat agar berpikir kritis terhadap rekam jejak para tokoh yang mulai rajin muncul di tengah masyarakat.
Tokoh muda kelompok Muslim, Aminudin Aziz, mengatakan bahwa teladan yang diberikan Nabi Muhammad dalam menjawab kepemimpinan yang relevan bagi bangsa Indonesia perlu merujuk dengan perjanjian Madinah. Perjanjian Madinah adalah masa selepas para rasul hijrah dari Mekah menuju Madinah dibarengi dengan kesadaran meletakkan pondasi untuk membangun kehidupan berkebangsaan yang toleran dalam mewujudkan masyarakat madani.
Aziz mengatakan, dalam piagam Madinah itu, agama ditempatkan sebagai pusat inspirasi untuk hidup damai, bekerjasama dan saling membantu antarkelompok manusia. Agama dan kitab suci apapun dapat diletakkan sebagai sumber inspirasi bersama bukan sebagai aspirasi. “Kalau dijadikan aspirasi jelas akan pasti ribut-ribut. Apalagi di masyarakat yang plural atau majemuk seperti negara kita ini,” ujarnya.
Aziz mengingatkan, bahwa sebenarnya Islam memiliki nilai ajaran toleran yang sampai hari ini terus dikembangkan. Menurutnya, paling mendasar dari sikap toleran Islam adalah enam rukun iman. Rukun iman pertama, percaya pada Allah, Malaikat dan kitab termasuk kitab sebelum Quran yakni Taurat Zabur dan Injil; iman kepada rasulnya yang kebetulan ada kesamaan dengan rasul Kristen; serta iman akan hari akhir atau akhir zaman. Dan yang keenam, iman kepada ketentuan Tuhan atau Qodo dan Qoda.
“Kalau ada calon pemimpin yang mengajak meninggalkan tatanan budaya masyarakat dan tidak menghargai budaya berarti calon tersebut tidak mengerti masyarakatnya juga tidak mengerti budaya yang lokal genus atau tidak dapat dihilangkan,” ujar Ketua Lesbumi PCNU Gunungkidul ini.
Mewakili pandangan dari Gereja Katolik, Romo Sapto Nugraha, menyatakan bahwa para pendiri bangsa Indonesia telah menanamkan keluhuran ruh yang tertuang dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika dijiwai ruh Pancasila dengan melihat kenyataan Indonesia yang adalah negara majemuk yang terdiri dari banyak suku, RAS dan kepercayaan atau agama.
Untuk itu, Romo Sapto menilai kepemimpinan yang relevan untuk kondisi saat ini adalah pribadi yang benar-benar mampu menghargai perbedaan yang nyata serta pribadi yang memiliki sikap hidup inklusif dan toleran. Ia berpesan, agar masyarakat Gunungkidul cerdas dan cermat menyikapi calon pemimpin yang mulai bermunculan sekadar memoles citra demi menginginkan kekuasaan. Ia menyatakan, sosok kepemimpinan yang konsisten dengan sikap kenegarawanannya adalah pemimpin yang dibutuhkan baik tingkat pusat maupun daerah pada saat ini.
“Kita bersama harus mulai sadar, negara ini dasarnya Pancasila bukan yang lain. Negara ini ingin menyejahterakan rakyatnya. Kita semua harus belajar memilih memimpin dengan cerdas dan bisa menemukan pemimpin yang sudah terbukti kerjanya dalam menyejahterakan rakyat. Tidak sekadar menemukan orang yang punya modal dengan cara kotor, bagi-bagi amplop atau ingin berkuasa,” kata Romo Sapto mengajak masyarakat untuk kritis menguji kejujuran setiap calon pemimpin yang mulai tampil di Gunungkidul.
Dalam kesempatan itu, pegiat kerukunan umat Hindu, Bayu Pratama, menyatakan pendapatnya bahwa pemimpin yang relevan adalah pemimpin yang mampu melihat Indonesia sebagai negara besar bukan hanya potensi sumber daya alamnya saja, melainkan potensi sumber dana manusia dan keberagamannya. Menurutnya, pemimpin masa depan hendaknya mampu menjawab kebutuhan mengelola keberagaman dan potensinya.
Bayu menjelaskan, pandangan iman akan Hindu, pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu mengaplikasikan nilai-nilai TAT TWAN ASI yakni Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku, selain Tri Hita Karana atau konsep ajaran untuk menjaga keselarasan dan hidup sesama dalam kemajemukan manusia dengan Tuhan dan alam semesta.
“Dengan dua konsep itu siapapun pemimpin akan menemukan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ucapnya sembari menyinggung perlunya watak pemimpin yang setia mengimplementasikan nilai-nilai empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Sementara itu, pandangan dari Gereja Kristen diungkapkan oleh Pendeta GKJ Wonosari, Dwi Wahyu Prasetya. Ia menyatakan bahwa dasar ajaran Kristen melihat pemimpin sebagai pelayan. Menurutnya, pemimpin yang kehilangan sifat melayani, hanya gemar pencitraan, tidak merakyat bukanlah pemimpin yang relevan. Wahyu menyebut, “Yesus mengatakan bahwa siapa yang mau menjadi pemimpin harus mau jadi pelayan. Tentunya pelayanan hanya untuk hal-hal yang baik dan positif,” kata pendeta yang gencar melestarikan gerakan sapa aruh dan gotong royong. Ia juga menyebut pemimpin yang remesep, rumasuk dan rumangsa paling dibutuhkan rakyat saat ini.
Pandangan umat Budha tentang kepemimpinan relevan juga diungkapkan tokoh muda Bondet Wijaya. Ia mengingatkan, bahwa ajaran Budha memberikan kebebasan mutlak dan utuh kepada umat untuk menentukan segala hal. Tetapi, imbuh Bondet, kebebasan tersebut juga harus mencakup kebebasan diri dalam berkarya dan beribadah yang harus terlindungi negara. Ia mengatakan, perlunya masyarakat dalam mengasah kembali hati nurani dalam setiap momentum politik dan tidak ada tendensi dalam keikutsertaan menciptakan pemerintahan yang bersih, jujur, dan berorientasi mewujudkan pertumbuhan majunya bangsa. Umat Budha tidak segan-segan berani mengatakan tidak untuk kepemimpinan yang sekadar menjadikan uang sebagai panglima politik untuk kepentingan meraup suara dan dukungan.
Diskusi Jumatan Forum Lintas Iman (FLI) ini merupakan kegiatan rutin komunitas pemuda dan pemuka lintas agama dan kepercayaan. Kelompok yang cukup terbuka untuk masyarakat pegiat kerukunan ini dibentuk 14 tahun silam dengan dasar persamaan pandangan perlunya terjalin kerja sama lintas kelompok agama dan kepercayaan dalam mewujudkan kerukunan di tengah masyarakat. Selain menjadi ruang kegiatan seperti diskusi, sarasehan, pagelaran budaya, anjang sana lintas agama, FLI Gunungkidul juga mendampingi pemerintah dalam menangani gesekan antaragama yang muncul.
“Dari diskusi budaya dan kajian sosial FLI Gunungkidul dengan tema-tema tertentu akan ditindaklanjuti dengan gerakan bersama setiap aktivis di lingkungannya masing-masing,” pungkas FX Endro Guntoro.
Putut Prabantoro