HIDUPKATOLIK.com – Suasana Pondok Pesantren (Ponpes) Mahasiswa An Najah Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa, 1/8. Terlihat kerumunan anak muda menyemut di Ponpes An Najah. Selain santriwan dan santriwati, anak-anak muda yang berkumpul itu adalah para peserta Asian Youth Day (AYD) asal Thailand dan Jepang, serta Orang Muda Katolik (OMK) tuan rumah program Day in the Diocese (DID) Keuskupan Purwokerto.
Mereka bersua dalam semangat kasih dan persaudaraan. Perjumpaan itu dimulai dengan penampilan teater yang dibawakan oleh para santri di hadapan para peserta AYD. Mereka memerankan pertunjukan hadroh. Selain itu, lima santriwati tak ketinggalan mempersembahkan tembang dan puisi. “Kidung Jatimulya”, itulah salah satu tembang yang mereka suguhkan.
Di sela-sela penampilan para santriwan dan santriwati, pengasuh Ponpes Mahasiswa An Najah Baturraden, Kyai Mohammad Roqib menyampaikan penjelasan mengenai berbagai hal seputar dunia keislaman dan pondok pesantren. Salah satu tujuan program DID ini adalah belajar tentang keanekaragaman masyarakat di Indonesia, termasuk menerima perbedaan dan memaknainya sebagai sesuatu yang dapat memperkaya satu sama lain.
Dalam penjelasannya, Kyai Roqib menjelaskan tentang seluk beluk pondok pesantren, kyai, dan santri. Di dalam pondok pesantren selalu ada kyai sebagai pengasuh. Kyai harus punya setidaknya dua kompetensi, yaitu ilmu agama Islam dan spiritualitas. Spiritualitas seorang kyai, jelas Kyai Roqib, berbeda dengan spiritualitas masyarakat pada umumnya. Hal inilah yang sering tidak dipahami oleh khalayak umum.
Menurut Kyai Roqib, spiritualitas kyai mesti mendalam hingga hakikat dan intisari ajaran Islam harus dipegang teguh. Inilah yang dikenal dengan Ilmu Tasawuf. Dengan ilmunya tersebut, kyai punya pergaulan yang jauh lebih terbuka. Mereka bisa bersahabat dengan aneka macam orang dari berbagai latar belakang, baik agama, ras, suku, adat istiadat, dan golongan manapun. Sementara itu, orang awam kadang mudah saling curiga jika ada kelompok di dalam masyarakat yang berbeda dengannya.
Sedangkan santri adalah orang yang belajar sesuai dengan keilmuannya, secara khusus mendalami ajaran agama Islam. Para santri ini, lanjut Kyai Roqib, akan melakukan ibadah sesuai dengan apa yang diajarkan dan dilakukan oleh kyai di dalam pondok pesantren di mana mereka “nyantri”.
Setiap pondok pesantren minimal harus memenuhi lima ketentuan pokok sehingga layak disebut pondok pesantren, yakni ada kyai sebagai pengasuh pondok pesantren, ada santri yang belajar mengikuti jejak sang kyai, ada proses belajar Kitab Kuning, ada mushola atau masjid yang digunakan sebagai aktivitas keagamaan sehari-hari, dan ada pondok pesantren yang menjadi tempat tinggal para santri.
Nampak para peserta AYD menikmati dengan intens penjelasan dari Kyai Roqib. Mereka menunjukkan minat mau belajar dan mengenal tradisi kepercayaan lain. Selain itu, interaksi di antara para peserta AYD dan santriwan-santriwati juga menorehkan kesan tersendiri. Diharapkan perjumpaan kali ini akan berguna bagi kelanjutan tali silaturahmi Islam-Katolik di mana pun para peserta AYD ini akan berkarya.
R.B.E. Agung Nugroho