Persaudaraan Mengakar di Marawi

117
Kardinal Tagle menyambut pengungsi dari Timur Tengah di Yunani 2015 silam.
[Leonardo Tranggono]

HIDUPKATOLIK.com - Serangan kelompok teroris di Marawi potensial memantik konflik agama. Tapi akar persaudaraan dan persatuan masyarakat Marawi begitu kuat. Gereja Katolik Filipina terus menyuarakan persaudaraan.

MAUTE, kelompok teroris yang berafiliasi dengan Islamic State (IS) masih bercokol di Marawi, Mindanao Selatan, Filipina. Mereka menyandera sekitar 100 orang karyawan dari Gereja Katolik, termasuk seorang pastor. Para sandera ini menjadi “kartu As” bagi gerombolan teroris dalam menghadapi kekuatan militer Filipina. Pasalnya, Presiden Filipina Rodrigue Duterte telah menyerahkan wilayah itu di bawah kekuasaan militer. Meski diberi kebebasan penuh, militer Filipina harus berpikir dua kali sebelum menembak, karena nasib para sandera dipertaruhkan.

Gereja Katolik Filipina, melalui para Uskup telah berkali-kali menyerukan kepada umat Filipina agar tidak membawa masalah Marawi dalam konteks perang agama. Jelang sidang tahunan Konferensi Uskup Filipina (The Catholic Bishops’ Conference of the Philippines/CBCP), Kardinal Luis Antonio Tagle kembali mengingatkan rakyat Filipina untuk tetap bersatu dalam menghadapi krisis Marawi. “Upaya teroris untuk membuat masalah ini seperti perang agama tidak akan berhasil, karena Kristen dan Muslim di Mindanao hidup dengan membantu
satu sama lain,” seru Kardinal Tagle dilansir situs resmi cbcpnews.net, 5/7.

Prahara Marawi akan menjadi isu sentral dalam sidang tahunan untuk evangelisasi yang baru. Narkoba dan ketidakadilan sosial juga akan dibahas para Uskup dalam sidang itu.

Kardinal Tagle merasa senang dengan lahirnya cerita-cerita harapan dari tanah Marawi. “Saya mendengar kisah
saudara-saudara Muslim menolong saudaranya yang Kristen untuk melarikan diri dari teroris, juga sebaliknya, di mana umat Kristen ikut membantu saudaranya yang Muslim.”

Persaudaraan dan persatuan semacam itu, lanjut Kardinal Tagle, adalah fondasi kuat bagi perubahan dan rekonstruksi masyarakat di Marawi. Kardinal Tagle yang juga menjabat sebagai Presiden Caritas Internasional mengajak semua rakyat Filipina untuk menjadi tanda cahaya, cinta, dan harapan dengan
saling menolong di tengah konflik. “Mari kita bergandengan tangan, merobohkan tembok yang memisahkan kita, karena kita satu keluarga manusia.”

Dua hari berselang, menyambut ajakan Kardinal Tagle, umat lintas agama berdoa bersama di teater Amoranto, Quezon city. Sekitar seribu orang, serentak mengucapkan doa dengan tangan memegang dada masing-masing. Doa perdamaian ini diinisiasi gerakan Pasa Lord, sebuah organisasi lintas agama untuk dialog dan perdamaian. “Doa mengubah sesuatu. Jika kita semua berdoa satu menit sehari, terlepas apa pun agama yang kita anut, damai akan memerintah di negara kita,” kata Lourdes Bing Pimentel, pendiri gerakan itu.

Pimentel meminta semua peserta doa bersama untuk meluangkan waktu selama satu menit setiap jam 12, berdoa bagi perdamaian Filipina. “Ini juga serentak diadakan di seluruh negeri, tak hanya di Quezon,” jelasnya.

Bukan hanya Pasa Lord yang menabur damai dalam prahara Marawi. Sebulan silam, Kalinaw Mindanao, sebuah persekutuan kelompok berbasis agama dan hak asasi manusia, meluncurkan misi kemanusiaan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak konflik. Relawan Muslim dan Kristen Kalinaw Mindanao mengunjungi para pengungsi, memberikan paket bantuan dan bahkan melakukan intervensi psikososial.

Edward Wirawan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini