Nunung, Penjahit Kasula Asal Cipanas

10572
Nunung Siti Aminah di ruang paramen Biara Santa Claris Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat (HIDUP/Yanuari Marwanto)

Hampir seperempat abad Nunung menjahit kasula dan perlengkapan liturgi di Biara St Clara Pacet, Cipanas, . Para suster memuji keahliaan dan totalitas karyanya.

Nunung Siti Aminah merapihkan kasula
(HIDUP/Yanuari Marwanto)

JEMARI Nunung Siti Aminah begitu cekatan memasukan jarum ke selembar kasula berkelir hijau. Pandangannya begitu awas, meski telah berusia 63 tahun. Entah, sudah berapa banyak pakaian imam yang sudah ia hasilkan. Nunung tak pernah menghitung. Ia hanya mengerjakan pesanan umat yang diterima Biara St Clara Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat, Keuskupan Bogor.

Di ruang paramen, Nunung bekerja bersama tiga suster OSC. Tak hanya mengerjakan kasula dan stola, mereka juga membuat busana lain imam, misdinar, dan beraneka kain perlengkapan liturgi.

Tahun depan, tepatnya 23 Mei, istri Ridwan Tirmizi ini mengukir karyanya selama 25 tahun di ruang paramen milik Ordo St Clara (Ordo Sanctae Clarae/OSC).

Nunung memasukan jarum ke kasula
(HIDUP/Yanuari Marwanto)

“Kerja di sini enak. Saya tak perlu menunggu berbulan-bulan atau bahkan tahunan untuk bertemu keluarga. Rumah saya dekat dengan biara ini. Sehingga saya bisa bersama keluarga setiap hari,” ujar Nunung, saat ditemui di ruang kerjanyanya, Rabu, 31/5.

Waktu tempuh dari kediaman Nunung ke Biara St Clara hanya lima menit. Biaya transportasi pulang-pergi cuman Rp 5000. Sejak pukul 07.30 WIB, ibu dengan delapan anak ini, telah menyelam dalam karya hariannya. Ia takkan beranjak dari tempat duduknya hingga pukul 10.00 untuk rehat dan menyantap kudapan.

Tapi selama bulan Ramadhan, Nunung memilih berada di ruang paramen. Perempuan kelahiran Cipanas, Jawa barat, tetap menjalankan puasanya. Ia baru keluar ruangan sekitar pukul 12.00 untuk shalat dhuzur bersama karyawati lain, di sebuah ruangan yang disiapkan suster.

Nunung dan Suster Elfrida OSC (HIDUP/Yanuari Marwanto)

Usai sholat, Nunung kembali ke ruang paramen, dan melanjutkan pekerjaannya hingga pukul 14.00. “Ibu Nunung tak banyak bicara. Dia hanya datang dan bekerja. Orangnya amat rajin,” puji Sr Elfrida, yang sudah tiga tahun bersama Nunung ngepos di ruang paramen.

“Saya juga sering meminta pertimbangan Bu Nunung untuk motif dan padanan warna jubah yang akan kami buat. Karena lama bekerja di sini, Bu Nunung sudah mengetahui banyak istilah liturgi,” lanjut Sr Elfirida.

Semua keluarga dan tetangganya tahu Nunung bekerja di biara. Tak ada seorang pun yang keberatan dengan profesi yang dilakoni istri pendiri Madrasah Diniyah Al- Hikamus Salapiah ini. “Semua tahu saya bekerja di biara. Tak ada seorang pun yang keberatan, karena mereka tahu saya tetap menjalankan sholat dan ajaran agama Islam,” ujar Nunung.

Tiga suster Klaris di ruang paramen (HIDUP/Yanuari Marwanto)

“Setiap agama punya cara menyembah Tuhan, hanya jalannya berbeda-beda,” imbuh Nunung.

Sebelum bekerja di ruang paramen, sembilan tahun ia mengurus tamu dan membersihkan gereja di biara OSC. Pada 1975, ia berhenti bekerja di biara lantaran menikah dengan Ridwan. Kata Nunung, ia ingin fokus membesarkan dan mengurus anak-anak dan keluarganya.

Demi mencukupi kebutuhan keluarga, terutama pendidikan anak-anaknya, Nunung kembali bekerja di biara OSC pada 23 Mei 1993. Kebetulan pada tahun itu juga, Sr Angelina OSC meminta bentuan tenaga dan keahliaan menjahitnya. Nunung segera menyambut permintaan biarawati itu. Sejak tahun itu sampai sekarang, Nunung berada di ruang paramen.

Beberapa kasula karya Nunung dan suster Klaris di paramen Biara OCS (HIDUP/Yanuari Marwanto)

Nunung bersyukur, dengan gaji yang ia terima, serta pendapatan suami sebagai guru agama, bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. “Tiga orang kuliah, tiga masuk SMA, dan masing-masing satu orang hanya sampai SMP dan SD,” imbuh nenek yang memiliki delapan cucu ini.

 

Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini