HIDUPKATOLIK.com – KABAR duka datang menghentak Thailand, Kamis petang, 13/10. Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej menghembuskan napas terakhir pada usia hampir 89 tahun. Ia merupakan raja kesembilan dari Dinasti Chacri yang menetap di Bangkok sejak akhir abad VIII. Raja kelahiran Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, 5 Desember 1927 ini memerintah dengan kebijaksanaannya selama 70 tahun. Ketika ia naik takhta, usianya masih relatif muda. Ia dikenal sebagai figur pemimpin yang dekat di hati rakyat Thailand.
Mangkatnya Raja yang hobi fotografi ini segera tersiar ke seantero Thailand. Seluruh stasiun televisi tak henti menyiarkan berita dua dari kerajaan. Banyak rakyat langsung berteriak histeris, menangisi pemimpin mereka yang telah berpulang ke rahmat Allah. Mereka meratapi kepergian bukan hanya “seorang rajaâ€, melainkan kepergian “sang raja†untuk selamanya. Di tangan Raja Bhumibol inilah persatuan Negeri Gajah Putih dapat dijamin meski dengan jatuh bangun.
Suasana duka itu juga merayap di kalangan umat Katolik Thailand. Seolah ratapan kedukaan itu mampu menembus tembok-tembok gereja yang berdiri kokoh. Konferensi Waligereja Thailand pun segera mengeluarkan pernyataan resmi, ungkapan bela sungkawa kepada keluarga kerajaan. Surat Gembala Konferensi Waligereja Thailand juga dengan cepat terdistribusi di seluruh Gereja Katolik Thailand. Surat tersebut dibacakan di seluruh Gereja Katolik Thailand pada Minggu, 16/10. Para uskup mengundang seluruh umat Katolik untuk berdoa selama setahun penuh bagi kebahagiaan abadi sang raja dan kekuatan bagi penggantinya. Diinstruksikan juga agar lonceng gereja dibunyikan selama sembilan hari berturut-turut di setiap paroki, seperti dilansir Agenzia Fides (18/10). Selain itu, gambar Raja Bhumibol dipasang di tempat-tempat ibadah dan sekolah-sekolah Katolik. Selama setahun penuh sejak mangkatnya sang raja, seluruh rakyat Thailand dalam kondisi berduka. Setelah setahun penuh, rencananya jenazah Raja Bhumibol baru akan dikremasi.
Apa yang dilaksanakan oleh Gereja Katolik juga dibuat oleh tradisi kepercayaan lain dan institusi-institusi sipil. Bioskop dan tempat pertunjukan diliburkan. Sementara itu, siara televisi hanya akan ditayangkan dalam versi hitam putih selama sebulan. Semua ini menjadi simbol penghormatan bagi raja yang dianggap mampu menjadi teladan kebaikan hati dan belas kasih bagi rakyatnya. Tak heran jika seluruh rakyat Thailand memajang foto sang raja di setiap rumah.
Kehadiran Gereja Katolik di Thailand mampu menyesuaikan diri dengan budaya Thai sehingga dalam kondisi negara yang sedang berduka, Gereja pun mampu hadir dalam kedukaan itu dengan tetap membawa harapan. Hal ini senada dengan amanat Konstusi Pastoral hasil Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes, GS). “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga…†(GS art.1).
R.B.E. Agung Nugroho