HIDUPKATOLIK.com – Umat Katolik diharapkan menjadi pelopor untuk menghargai martabat pembantu rumah tangga (PRT) sebagai makhluk ciptaan Allah.
Tidak seperti Minggu biasanya, pada Minggu, 14/12, bau harum masakan tercium dari dalam aula Paroki St Maria Regina (Sanmare) Bintaro, Tangerang Selatan. Beberapa perempuan berkelompok mengelilingi meja dengan kesibukan masing-masing. Ada yang terlihat asyik memotong sayuran, ada yang menggoreng telur, ada pula yang menyiapkan bumbu untuk nasi goreng.
Mereka adalah para Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang melayani di rumah beberapa umat Sanmare. Mereka tengah mengikuti pelatihan hospitality yang diselenggarakan oleh Seksi Sosial Kemasyarakatan bekerja sama dengan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Paroki Sanmare. Pelatihan itu menjadi salah satu program paroki dalam memeriahkan Tahun Pelayanan yang dicanangkan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).
Selain memasak makanan sehat, para PRT juga mendapatkan pelatihan keramah- tamahan. Para PRT diajak untuk mengembangkan bakat keramahtamahan dalam diri mereka. Dalam kesempatan itu, para PRT mendapat tips cara berpakaian yang sopan, serta diajari menjaga dan merawat peralatan rumah tangga dengan bahan-bahan yang aman untuk kesehatan dan lain-lain.
Pada kesempatan itu, para Ibu Rumah Tangga (IRT) juga turut hadir dan mendapat pelatihan di ruang pertemuan 302 Gereja Sanmare. Para IRT ini mendapat wawasan mengenai cara membangun hubungan yang harmonis dengan para PRT atau pembantunya, cara memperlakukan mereka, dan lain-lain.
Dengan kegiatan bagi PRT dan IRT itu, diharapkan bisa menjadi suatu gerakan untuk memperhatikan, memberdayakan dan mendampingi para PRT. Selain itu, juga di harapkan secara bersama-sama ada penghargaan terhadap martabat manusia sebagai citra Allah bisa diupayakan dan diwujudkan.
Melayani penuh kasih
Menurut Ketua Seksi Sosial dan Kemasyarakatan Paroki Sanmare (2014-2017), Ignatius Wahyu Indriyo kegiatan bertajuk “Melayani Mereka yang Melayani Kita” ini, menjadi upaya untuk menyadari bahwa buruh dan PRT menjadi bagian dari paroki. Hal ini selaras dengan himbauan dari KAJ.
“Kemudian kita pikirkan untuk mengajak user atau khususnya para ibu rumah tangga untuk sadar atau aware pada masalah PRT. Tahap awal, kita lakukan sosialisasi kepada para ibu rumah tangga mengenai berbagai hal menyangkut pembantu rumah tangga melalui kegiatan sarasehan pada Minggu, 30/11 lalu. Kita paparkan apa itu PRT, masalah dan tantangan mereka, perundang-undangan yang akan diberlakukan dan lain-lain,” tutur Yoyok, sapaannya.
Yoyok mengatakan bahwa dalam kegiatan sarasehan dan pelatihan itu, para ibu mendapat wawasan baru untuk membangun relasi yang lebih fair dengan PRT, memposisikan diri setara dengan PRT. “Banyak miss mengenai cara memperlakukan PRT yang baik. Itu wawasan baru bagi para ibu. Dalam kesempatan itu juga dijelaskan tentang manfaat makanan sehat. Makan di rumah lebih sehat untuk anggota keluarga. Makan di rumah secara sehat itu baik untuk jiwa dan raga. Para ibu dan pembantunya memiliki peran di situ,” ujar Yoyok.
Kegiatan seperti itu, menurut Yoyok, menjadi salah satu bentuk pelayanan pastoral untuk menyapa para pembantu atau PRT, yang bekerja untuk keluarga Katolik. “Harapannya ini bisa menumbuhkan semangat bagaimana Gereja menyadari setiap pekerja itu bermartabat. Para ibu rumah tangga dan PRT juga harus menjadikan pekerjaan mereka sebagai bermartabat. Itu yang menjadi misi kita,” katanya. Dari situ kegiatan diturunkan dengan menciptakan relasi yang baik antara para ibu rumah tangga dan PRT. “Bagaimana menyiapkan makanan sehat di rumah. Untuk itu semua, perlu peran bersama antara ibu rumah tangga dan PRT,” katanya.
Salah satu ibu rumah tangga yang ikut dalam acara tersebut, Maria S. Irawan mengatakan bahwa dengan adanya kegiatan seperti itu dapat memperluas wawasan dan pengetahuan para ibu dan PRT. “Ini baik juga buat bekal mereka dalam melayani kita. Dan saya tahu juga seperti apa saya mesti memperlakukan mereka dan berkomunikasi lebih baik dengan mereka,” ujar perempuan yang mengikutsertakan empat PRT-nya untuk mengikuti pelatihan hospitality.
Sementara Pastor Paroki Sanmare Alphonsus Setya Gunawan, yang juga menjadi salah satu pembicara dalam sarasehan mengungkapkan bahwa melayani itu berat, dan melayani itu menderita. “Para pekerja itu memikul salib, seperti Yesus yang dengan rendah hati memikul salib umatnya,” ujar Romo Gunawan. Ia berharap umat Katolik mempunyai kerendahan hati untuk selalu melayani karena Kristus datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.
Yustina Rostiawati, Ketua DPP WKRI dan Komisioner Komnas Perempuan yang hadir sebagai pembicara dalam sarasehan Minggu, 30/11, mengungkapkan Komnas Perempuan sejak 2006 -2008 membuat jaringan untuk menangani PRT dan membuat Rancangan Undang-undang (RUU) PRT. “RUU itu belum terealisasi hingga sekarang karena masih terganjal di DPR. RUU itu berisikan tentang upah bagi para pekerja, bebas berserikat dan bebas beribadah. Intinya adalah perlindungan terhadap pekerja rumah tangga,” katanya.
Yustina juga mengatakan nilai kekatolikan ada dalam diri para pekerja sebab di dalamnya ada warna memanusiakan manusia. “Menghormati martabat manusia artinya saling menghargai dan tidak mendiskriminasi. Pada dasarnya, bekerja itu untuk mengembangkan potensi yang kita miliki dan akhirnya memuliakan Allah,” katanya.
Di Paroki St Antonius Padua Bidaracina, Jakarta Timur, Seksi Pengembangan Sosial Ekonomi (SPSE) memiliki program pelatihan ketrampilan untuk umum dan para PRT. Hal itu menjadi bentuk kepeduliaan dan pemberdayaan untuk para PRT.
Menghargai Martabat Manusia
Pemberdayaan dan pendampingan terhadap para PRT, menurut Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran –Perantau, Konferensi Wali gereja Indonesia (KWI), Romo PC. Siswantoko, belum ada yang memperhatikan secara khusus di KWI. Namun wacana untuk mendampingi dan memberdayakan PRT sudah mulai muncul.
Menurut Romo Koko, sapaannya, selama ini komisinya yang menggarap soal kekerasan migran, tapi sering juga menyinggung soal PRT. “Kami memandang ada dua kelompok PRT. Pertama,PRT yang diperhatikan. Mereka mendapatkan hak-haknya seperti gaji, hari libur dan lain-lain. Kedua, PRT yang bisa dikatakan sebagai korban perdagangan manusia. Mereka kerja overtime,tanpa ada kompensasi dan jaminan. Mereka dieksploitasi demi mendapatkan keuntungan pihak tertentu. Terjadi human trafficking,” katanya.
“Saya melihat PRT dari perspektif trafficking. Jika keuskupan memperhatikan PRT, peduli kepada anak-anak muda, memberi ketrampilan, menurut saya human trafficking bisa dihindari,” ujar Romo Koko. Dengan begitu, Gereja ambil bagian membantu menyiapkan para PRT bekerja dengan ketrampilan dan mendapat pekerjaan.
“Kami berharap keuskupan-keuskupan bisa membuat domestic skill. Saya juga berharap struktur atau hirarki memperhatikan para PRT. Ini selaras dengan pesan Paus Fransiskus dalam Evangeli Gaudium. Gereja menjalankan misi untuk mulai melihat persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, terlibat lebih nyata untuk menyelamatkan anak-anak yang bekerja sebagai PRT. Selain itu, umat Katolik yang banyak menggunakan jasa PRT bisa lebih memanusiakan PRT,” katanya.
Harapannya umat Katolik bisa menjadi pelopor untuk menghargai martabat manusia. Jika Gereja dan umat bisa bergerak bersama, hal itu akan mengangkat martabat PRT sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah yang bermartabat.
Maria Pertiwi