HIDUPKATOLIK.com – Pastor ini sungguh-sungguh menjadi pemulung. Mengais sampah demi pembangunan gereja paroki tempatnya berkarya.
Kunjungan stasi merupakan salah satu tugas pelayanan dari seorang pastor. Hal itu disadari oleh Romo Agustinus Suyadi OCarm. Maka, sebagai gembala Paroki Maria Bunda Karmel (MBK) Kasongan, Keuskupan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ia kerap berkunjung ke stasi-stasi. Bahkan, lebih dari itu, Romo Agus menambah jam perjalanannya. Ketika melakukan kunjungan stasi, sebelum tiba di tempat tujuan, Romo Agus mengenakan kaos dan caping. Lalu, ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk memulung, alias mengais barang bekas, seperti kaleng dan botol plastik.
Kadang, Romo Agus diusir dan dilarang memulung. Jika demikian, ia pun pergi dari tempat itu dan mencari barang bekas di tempat lain. Warga masyarakat, juga umat Katolik yang ia jumpai kerap tak mengenalinya.
Setelah beberapa waktu memulung, Romo Agus biasanya istirahat sejenak: melepas lelah dan ganti pakaian. Lalu, ia menuju tempat di mana pelayanan sakramen akan diadakan. “Kolekte umat di paroki rata- rata 150 ribu. Dengan memulung, saya bisa membawa pulang barang bekas seharga 500 ribu,” ungkapnya.
Sejak 2009, Romo Agus melayani sebagai Pastor Paroki MBK Kasongan, yang belum punya gereja. Selain sebagai pastor paroki, ia juga didapuk untuk mengkoordinir pembangunan gereja dengan anggaran 2,9 milyar. Sementara uang yang sudah dikumpulkan Panitia Pembangunan Gereja sebesar Rp 515 juta. Namun dari alur kas, sejak Juni 2009, tak ada pemasukan yang memadai dan cenderung macet. Sekitar 80 persen umatnya adalah buruh perkebunan yang kondisi perekonomiannya di bawah standar.
“Dengan kondisi seperti itu, apa yang bisa saya lakukan? Saya bukan orang yang piawai menggalang dana. Relasi saya juga sangat terbatas. Pada saat bingung dan terjepit, terlintas ide untuk mengumpulkan barang bekas dan langsung mencoba melaksanakannya,” tutur imam kelahiran Malang, Jawa Timur, 18 Mei 1971 ini.
Menurut Romo Agus, apa yang ia lakukan bagian dari panggilan yang ia hayati. Ia menjalaninya dengan kesadaran dan kegembiraan.
Tak Kenal Lelah
Kasongan adalah Ibukota Kabupaten Katingan. Jarak Kasongan dari Palangkaraya sekitar 90 kilometer. Paroki MBK Kasongan berada di jalan poros Palangkaraya-Pangkalan Bun. Dengan mengendarai mobil atau sepeda motor, Paroki MBK Kasongan bisa ditempuh selama satu setengah jam dari Palangkaraya. Paroki ini diresmikan pada 2006, tanpa sarana dan prasarana permanen. Perayaan Ekaristi Hari Minggu berlangsung berpindah-pindah tempat: di ruangan sekolah (selama satu tahun), di rumah umat (selama satu tahun), dan di ruang Kantor Kejari (selama dua tahun).
Pada 2008, Gereja sudah memiliki tanah seluas kurang lebih dua hektar. Dua tahun berselang, Uskup Palangkaraya Mgr A.M. Sutrisnaatmaka MSF memberkati gedung pastoran. Wilayah pelayanan paroki ini dibagi menjadi 14 stasi. Stasi paling dekat berjarak 25 kilometer dari gedung pastoran. Stasi terjauh berjarak 180 kilometer. Bersama seorang imam, seorang bruder, empat suster, dan beberapa sukarelawan awam, Romo Agus melayani umat.
Keputusan Romo Agus menjadi pemulung tak membuatnya melalaikan tugas sebagai imam. “Sebagai imam, tugas utama adalah melayani umat. Itu pasti! Saya tidak mengurangi waktu perjumpaan dengan umat dalam pelayanan sakramen,” tegas Romo yang pernah melayani di Zumalai, Timor Leste pada 2007.
Romo Agus melontarkan ide memulung sampah dan barang bekas demi pembangunan gereja kepada dewan paroki dan umat. Sebagian besar umat setuju dan mendukung. Mereka pun bergerak. Barang- barang bekas dan rusak di rumah, mereka bawa ke pastoran. Mereka juga mencari dan mengumpulkan barang bekas.
Romo Agus rupanya konsekuen dengan ucapannya, menjadi pemulung. “Pada hari-hari biasa yang kosong, saya pergi ke kampung-kampung untuk membeli barang bekas, seperti kardus, botol, besi, kaleng, dan sejenisnya. Sesampai di rumah, barang-barang itu dipilah-pilah dan dijual untuk mendapatkan laba,” katanya.
Awalnya, di setiap stasi, dibuat pos-pos pengumpulan sampah. Namun, antusiasme umat tidak berlangsung lama. Dalam kurun waktu satu tahun, hingga September 2011, peminat dan pengumpul barang bekas susut. Romo Agus menyadari, cara seperti itu memang tidak bisa menghasilkan sesuatu dengan cepat. Pembangunan gereja pun berjalan pelan seiring kondisi keuangan. Sehingga, wajar jika semangat umat pun meredup. Di tengah situasi seperti itu, masih ada beberapa orang yang setia mengumpulkan barang bekas. “Bahkan, ada seorang nenek tua yang menantang saya: saya siap jadi pasukan pemulung Romo sampai kapanpun. Ia pergi ke mana-mana membawa pisau kecil. Dengan alat itu, ia membuka penutup aqua gelas dan menyusunnya dengan rapi,” ujar imam yang pernah menjalani cara hidup eremit di Pertapaan Karmel Sedaeng, Bromo, dan di Lembah Karmel Cikanyere, Jawa Barat pada 2008 ini.
Rasa Memiliki
Pembangunan gereja MBK Kasongan masih terus diupayakan, Romo Agus tetap bersemangat menjadi pemulung. Ia memeluk keyakinan bahwa suatu mimpi akan terealisasi manakala ada gerakan untuk memulai. Tantangan selalu ada, tetapi bagaimana tetap sabar, tekun, dan tahan uji menghadapi semua demi tercapainya mimpi itu. Ia juga percaya, kemuliaan hanya mungkin dicapai melalui Salib. Hasil yang bagus selalu berjalan seiring dengan kerja keras.
Baginya, memulung sampah hanyalah salah satu cara untuk menumbuhkan sikap peduli dan rasa memiliki. “Dengan sampah, semua orang bisa menyumbang Gereja. Ketika semua orang ikut andil di situ, meski hanya memberikan sepotong kardus, tumbuhlah rasa di hati: Ini gerejaku…,” tandas Romo yang pernah melayani di Percetakan dan Penerbitan Karmelindo di Malang, pada 2006 ini. Romo Agus memaknai panggilan gembala seperti seorang bapak yang menjamin kehidupan rohani dan jasmani anak-anaknya. “Ia harus berani merentangkan tangan untuk memberkati, melindungi, dan menerima anak-anaknya dengan belas kasih dan murah hati.
Romo Agus tidak tahu apakah pilihannya menjadi pemulung akan menjamin masuk surga atau tidak. “Pada penghakiman terakhir, Tuhan memberi tempat kepada mereka yang melihat Yesus dalam diri orang yang telanjang, lapar, di penjara, sakit, dan seterusnya. Padahal, sekarang saya baru melihat Yesus dalam kardus, botol, gelas aqua, besi, omplong, plastik, dan barang bekas lainnya. Semoga Tuhan mengampuni saya.”
Maria Pertiwi