Bersyukur dengan Kepedulian

102
Mgr Ignatius Suharyo.

HIDUPKATOLIK.com – Banyak hal telah dibuat pada 2014. Harapan selalu muncul menyambut tahun yang baru. Tindakan peduli terhadap sesama, terutama yang miskin, menjadi cara umat untuk mensyukuri rahmat Allah.

Ketakpedulian terhadap sesama menjadi budaya yang mengglobal. Gereja ditantang untuk senantiasa hadir dalam duka dan kecemasan dunia. “Paus Fransiskus selalu mengkritik “globalisasi ketidakpedulian”. Tindakan kenabian yang ditunjukkan Paus tentu menimbulkan pengaruh yang amat besar,” tegas Uskup Agung Jakarta yang juga Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Ignatius Suharyo.

Berikut ini petikannya:

Selama 2014, umat Keuskupan Agung Jakarta merayakan Tahun Pelayanan. Buah-buah rohani apa yang bisa dipetik selama Tahun Pelayanan ini?

Tidak mudah menggambarkan yang disebut buah-buah rohani, karena memang tidak terlihat. Namanya saja rohani ya…. Tetapi buah-buah rohani itu tampak dalam ungkapan dan dalam perwujudan. Misal yang sangat sederhana, ungkapan rohani itu amat terasa kalau mendengar umat, baik anak-anak maupun umat dewasa, menyanyikan lagu yang diciptakan khusus untuk memotivasi pelayanan. Lagunya mars, menyanyikannya pun penuh semangat.

Buah-buah rohani yang sama diwujudkan dalam berbagai macam pelayanan nyata, misal pengembangan program Ayo Sekolah, Ayo Kuliah, Ayo Bekerja, ada pula program Bedah Rumah, Gerakan Belarasa Berkhat Santo Yusup (BKSY), serta sekian banyak hal lain yang dilakukan komisi-komisi dari Dewan Karya Pastoral, paroki-paroki, dan lembaga-lembaga serta berbagai komunitas. Daftarnya tentu bisa sangat panjang.

Tahun 2014, bangsa Indonesia berpesta demokrasi. Beberapa kali, KWI menyerukan agar umat terlibat aktif dan turut mengawasi Pemilu 2014. Hal apa yang bisa dipetik dari peristiwa ini? Pada masa mendatang, apa yang sebaiknya umat lakukan sebagai warga bangsa?

Tema yang dirumuskan untuk menjalani Tahun Pelayanan adalah “Dipilih Untuk Melayani”. Sengaja dirumuskan demikian, karena dalam Tahun Pelayanan ini ada peristiwa pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden/ wakil presiden (Pilpres). Harapannya, agar siapapun yang terpilih, sadar benar bahwa mereka ini dipilih untuk melayani masyarakat, bangsa, dan negara. Tidak tampil sebagai pejabat, tetapi pelayanan.

Tema ini juga diharapkan dapat mendorong umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta untuk menggunakan hak pilih mereka. Dan rasanya yang ini ada hasil. Kesadaran politik umat Katolik tampak kuat. Meskipun, terutama yang berkaitan dengan pemilihan anggota DPR, para wakil rakyat yang terpilih, sampai sekarang ini pada umumnya tidak atau belum menjalankan amanat rakyat yang memilih mereka.

Amat tampak jelas bahwa politik yang dianut adalah politik kekuasaan yang sangat tidak terpuji. Namun, dalam bagian pilihan presiden rasanya umat Katolik mempunyai peranan yang besar bagi terpilihnya tokoh politik yang sungguh sungguh dapat diharapkan memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Paus Fransiskus berkali-kali menyerukan perihal perdamaian dan penghargaan terhadap martabat manusia. Bagaimana hal ini dibumikan dalam pastoral pada masa kini dan mendatang?

Satu hal yang amat menarik dari Paus Fransiskus adalah yang sering disebut “tindakan kenabian”-nya. Misal ketika Paus mengadakan perjalanan pertama ke luar Kota Roma, yang Paus tuju adalah pulau kecil di bagian selatan Italia, namanya Pulau Lampedusa. Pulau ini adalah tempat tujuan para imigran yang menyeberangi laut dari Afrika Utara. Tidak semua imigran berhasil mencapai pulau itu, banyak yang mati.

Dalam rangka itu Paus Fransiskus sering berbicara, kalau indeks harga saham turun satu poin saja, semua ribut. Tetapi kalau ada sekian banyak kaum imigran yang mati tenggelam di laut, tidak ada yang bersuara. Paus mengkritik “globalisasi ketidakpedulian”.

Tindakan kenabian seperti ini tentu menimbulkan pengaruh yang amat besar. Dengan berbagai macam cara, Keuskupan Agung Jakarta -maksudnya sekian banyak paroki, sekian banyak komunitas dan lembaga- berusaha mewujudkan kepedulian. Misalnya bekerja sama dengan komunitas biarawati yang memberi perhatian kepada masalah perdagangan manusia; bermitra dengan lembaga advokasi yang sudah jelas memperjuangkan masyarakat miskin. Dalam rangka kepedulian inilah, tema Tahun Syukur 2015 dirumuskan “Tiada Syukur Tanpa Peduli”. Saya yakin, tema inipun akan menjadi kekuatan yang menggerakkan seluruh umat Keuskupan Agung Jakarta.

Pada 2015 nanti, umat Keuskupan Agung Jakarta akan merayakan Tahun Syukur. Semangat apa yang hendak dicapai melalui Tahun Syukur ini? Hal apa yang sebaiknya dilakukan umat?

Saya pribadi dan Dewan Karya Pastoral KAJ pastilah akan menawarkan berbagai gerakan kepedulian sebagai bentuk syukur. Yang diharapkan lebih-lebih adalah setiap komisi, paroki, komunitas, lingkungan, dan bahkan keluarga serta pribadi-pribadi mengembangkan kreativitas kepedulian itu dengan menjawab pertanyaan yang selalu sama, “Apa yang harus kita lakukan agar lingkungan (bisa sempit, bisa juga luas) kita menjadi semakin manusiawi? Pertanyaannya sama, jawabannya bisa sangat kreatif dan berbeda-beda. Sengaja dipakai kata “kita”, karena kreativitas kepedulian mengandaikan kerjasama.

Y. Prayogo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini