Anugerah Anak Berkebutuhan Khusus

447
Anugerah Tuhan: Pasutri Diah dan Bargias bersama lima buah hati mereka.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Pasutri ini sempat kaget saat mengetahui anak bungsunya berkebutuhan khusus. Dari anak tersebut, mereka belajar sabar dan mensyukuri anugerah Tuhan.

Setelah mendapat empat anak perempuan, batin Maria Diah Prasetyaningsih melonjak kegirangan kala mengetahui bayi yang dikandungnya berjenis kelamin laki-laki. Diah bersepakat dengan suaminya, Fransiskus Bargias Sudarwanto untuk mempersembahkan anak itu menjadi imam.

Benedictus Angelo Daniswara, demikian nama yang diberikan oleh Diah dan Bargias untuk putra bungsu mereka yang lahir pada 12 Januari 2008. Kegembiraan kian melingkupi keluarga Diah dan Bargias dengan kelahiran Elo, sapaannya.

Ketika usia Elo empat bulan, Diah merasa heran. Biasanya bayi empat bulan sudah bisa tengkurap. Namun Elo belum bisa apa-apa. Diah dan Bargias pun membawa Elo ke dokter spesialis anak di RS dr Sardjito Yogyakarta. Dari pemeriksaan yang dilakukan, diketahui bahwa Elo menderita Down Syndrome.

Down Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini, pertama kali dikenal tahun 1866 oleh Dr John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid, maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Tahun 1970-an, para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi istilah dari kelainan itu dengan merujuk penemu pertama sindrom tersebut: sindrom Down. Dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.

Awalnya Diah dan Bargias merasa kaget dan tak percaya jika anak laki-lakinya mengalami Down Syndrome. “Namun setelah mendapat penjelasan dari dokter ahli anak, perlahan saya mulai bangkit dan menerima anugerah dari Tuhan itu. Saya berusaha untuk memberikan pengertian kepada istri saya yang awalnya juga belum percaya dan belum bisa menerima. Saya juga memberi pengertian kepada kakak-kakak Elo,” ungkap Bargias.

Sejak itu, atas saran dokter, Elo menjalani terapi setiap minggu. Seiring waktu Elo mengalami perkembangan cukup baik, hingga akhirnya pada usia delapan bulan Elo bisa tengkurap. Meskipuntumbuh kembang Elo tak seperti anak seusianya, Diah dan Bargias tak henti bersyukur. Apalagi ketika Elo bisa berjalan, itu laksana kado terindah bagi mereka.

Diah dan Bargias menerima keadaan putra bungsunya. Bagi mereka, Elo adalah anugerah Tuhan yang harus tetap disyukuri. Mereka merawat, mendampingi, dan mengasihi Elo seperti empat buah hati yang lain.

Menerima dan Mendampingi
Diah mengenal Bargias ketika sama-sama mengikuti kegiatan Muda-mudi Katolik (Mudika) di Gereja St Yohanes Rasul Pringwulung, Yogyakarta. Waktu itu, Diah tengah menempuh pendidikan di Akademi Kesejahteraan Sosial(AKS) Tarakanita Yogyakarta, jurusan Tataboga. Seringnya bertemu dalam kegiatan Mudika, menautkan hati Diah dan Bargias. Pada 21 April 1996, mereka menikah di Gereja Kristus Raja Baciro, Yogyakarta.

Setelah menikah, mereka masih tinggal di rumah orang tua Bargias. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, mereka berjualan snack dan menerima pesanan snack serta nasi boks. Seiring waktu, Bargias diterima bekerja sebagai salah satu karyawan di Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY). Kemudian mereka bisa mengontrak rumah sendiri.

“Saya dan suami memulai segalanya dari bawah. Ketika mengingat kembali masa itu, kami tak henti-hentinya bersyukur. Kesusahan itu mendewasakan kami. Kami bersyukur bisa melalui semua kesulitan tersebut,” kisah Diah.

Mereka tak henti bersyukur ketika mendapat anugerah anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam keluarga mereka. Melihat kelima anaknya tumbuh dan bisa saling mengasihi menjadi berkat terindah dalam keluarga Diah dan Bargias.

Kehadiran Elo menambah kebahagiaan tersendiri bagi keluarga Diah dan Bargias. Pasutri ini tidak menganggap Elo sebagai beban. Mereka juga memperlakukan Elo seperti empat kakaknya. Misalnya Elo diajari untuk bisa membuang sampah di tempat sampah. Juga diajari untuk mengucapkan “maaf dan terima kasih”.

“Kami sebagai orangtua juga mengajak kakak-kakaknya untuk bisa menerima, saling menguatkan dalam mendampingi Elo. Sehingga dalam kesehariannya, sebagai orangtua, kami mengharapkan tidak ada rasa malu atau minder dalam diri mereka mempunyai adik ABK,” kata Bargias.

Setiap bertemu orang baru, Diah dan Bargias juga memperkenalkan Elo dan mengatakan kondisi Elo. Mereka tidak malu mengakui bahwa putra bungsu mereka menderita Down Syndrome.Setiap Minggu, Diah dan Bargias mengajak Elo mengikuti Misa di gereja, bersama dengan kakak-kakaknya. “Pernah pula kami mengajak Elo ke Sekolah Minggu di Gereja Pringwulung. Tapi lama kelamaan tidak nyaman, karena Elo tidak bisa diam, sering jalan-jalan atau main sendiri,” ujar laki-laki kelahiran Yogyakarta, 8 Juni 1972 ini.

Selain mendampingi Elo dan empat putrinya, Diah dan Bargias tetap berusaha untuk ambil bagian dalam kegiatan di lingkungan dan paroki. Diah bergabung dalam kegiatan Wanita Lingkungan dan mendapat tugas sebagai Wakil Ketua. Sementara Bargias terlibat dalam Seksi Keamanan Gereja Pringwulung.

Berserah
Dalam mendampingi dan merawat Elo, Diah dan Bargias menyerahkan semua pada kehendak Tuhan. Teladan Bunda Maria yang pasrah pada kehendak Allah dengan berseru, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” turut menguatkan iman Diah dan Bargias.

Diah pun mendapat kekuatan baru ketika bertemu dengan para orangtua lain yang mempunyai ABK saat Misa anak berkebutuhan khusus pada Januari 2014 lalu. “Tidak hanya saya yang punya anak ABK. Saya diberi Tuhan tugas istimewa untuk menjadi orangtua ABK. Dan saya percaya, Tuhan punya rencana sendiri. Anak ABK pun memiliki kelebihan,” tutur perempuan kelahiran Jakarta, 17 September 1973 ini. Kini Elo bersekolah di TK SLBN 2 Sayidan, Yogyakarta.

“Saya berharap Elo mandiri. Elo tidak harus jadi orang hebat. Tapi Elo harus bisa apa-apa sendiri sehingga saat orangtuanya tidak ada, Elo tidak merepotkan kakak-kakaknya,” imbuh anak ketiga dari lima bersaudara ini. Diah pun beharap, para orangtua yang dianugerahi ABK bisa tetap sabar serta tak mudah putus asa dalam merawat dan menjaga ABK karena ABK lebih membutuhkan kasih dan perhatian. “Jangan malu dan teruslah mencari kelebihan dari anak ABK itu,” demikian pesan Diah.

“Memang tidak mudah untuk menerima anugerah anak ABK. Namun saya percaya, Tuhan sangat mencintai kami. Saya yakin pasti ada rencana lain yang Tuhan berikan bagi keluarga saya. Untuk itu, saya menamai anak saya Anjelo yang adalah kepanjangan dari “anugerah Jesus lho”. Dengan dianugerahi Elo, kami belajar menjadi orangtua yang sabar, perhatian, mampu memahami dan peduli kepada orangtua yang dianugerahi ABK,” tandas Bargias.

Ivonne Suryanto/Maria Pertiwi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini